Martabak Manis Dua Rasa

Rio Nhana
Chapter #24

Bab 24.Yang Sudah Lama Tertulis

Sudah dua minggu sejak Senjani kembali ke rumah yang pernah ia rancang tanpa tahu akan ditinggali dalam keadaan seperti ini. Tiap sudut ruang masih seperti baru baginya, namun kini ia mulai mengenali baunya, memorinya, dan sisa-sisa dirinya yang pernah menetap di situ. Tangannya mulai gesit memainkan sendok untuk Aluna, putrinya, meski kadang-kadang gemetar kecil menyelinap tanpa peringatan.

Satria selalu di sana, sigap menangkap gelas yang nyaris jatuh, atau sekadar duduk diam di sisi meja makan sambil memperhatikan keduanya. Bagi orang luar, mungkin tampak seperti keluarga muda biasa. Tapi mereka tahu, ini lebih dari sekadar membangun kembali rumah tangga. Ini seperti menyusun kembali waktu yang pernah runtuh.

Di ruang tengah, Senjani membuka buku harian lama yang ditemukan Satria—buku dengan sampul biru tua dan ujung halaman yang mulai menguning. Jarinya menyusuri baris-baris tulisan dari dirinya yang dulu. Sebagian besar catatan tentang Aluna, makanan kesukaan Satria, hingga tentang pekerjaan Satria yang tak pernah bisa ia ikuti sepenuhnya—dunia teknologi yang terlalu canggih untuknya yang lebih akrab dengan tuts piano.

Satria, suaminya, adalah seorang pengusaha teknologi, salah satu pionir dalam pengembangan kecerdasan buatan berbasis ingatan manusia. Ia membangun perusahaannya dari nol, menciptakan sistem neuro-AI yang kini mulai dilirik dunia medis. Tapi ia tak pernah benar-benar membicarakan pekerjaannya di rumah—hanya secukupnya, seperti ingin menyisakan ruang yang tetap tenang bagi Senjani.

Senjani sendiri memilih kehidupan yang lebih sunyi. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang sesekali mengajar piano di sebuah panti asuhan. Tempat itu—Rumah Lindung Anak—adalah tempat ia tumbuh sejak usia lima tahun. Ia dibesarkan di sana setelah ditinggal kedua orang tuanya dalam kecelakaan, dan di sanalah juga ia pertama kali bertemu Satria.

“Aku ingat hari itu,” ucap Senjani sore itu, ketika mereka duduk berdampingan di beranda. “Kamu anak baru. Kurus, pendiam, dan sering duduk sendirian di ayunan belakang.”

Satria terkekeh. “Waktu itu aku pikir kamu hantu kecil. Kamu terlalu tenang untuk anak lima tahun.”

Senjani ikut tertawa kecil. “Kita sama-sama sunyi. Tapi kamu selalu berani menatap mata siapa pun, bahkan saat kamu takut.”

Satria mengangguk pelan. “Aku hanya di sana sebulan. Setelah ibuku meninggal, tetangga membawaku ke panti karena tak tahu harus ke mana. Ayahku sudah tiada sejak aku dua tahun. Tapi tak lama kemudian, tantenya mama datang dari Australia dan mengambilku.”

Senjani menoleh, matanya menatap jauh pada masa itu. “Tapi sebelum kamu pergi, kamu bilang sesuatu.”

Satria tersenyum, menatap langit senja. “Kita janji menikah, ‘kan?”

Lihat selengkapnya