Di antara hujan sore yang tak selesai sejak siang, aroma tanah basah menyusup dari balik jendela kecil kamar kontrakan Senjani. Sudah enam bulan sejak Sejiwa pergi. Tapi ruang di dalam dirinya masih sesak. Ada tempat yang dikhususkan untuk suara tawa lelaki itu, untuk martabak manis dua rasa yang selalu mereka beli sepulang kuliah. Setengah keju, setengah cokelat. Reksa menyebutnya: “Simbol kompromi kita.”
Sejiwa Reksa, lelaki yang ia temui saat awal tahun kuliah di Universitas Sastra Jogja. Ia tak ingat pasti, apakah yang lebih dulu membuatnya jatuh—cara lelaki itu membaca puisi Chairil dengan suara retak, atau senyumnya yang terlalu jujur saat membahas luka. Hubungan mereka tumbuh seperti pohon kecil di antara puing-puing—pelan, tapi yakin. Dua tahun mereka berjalan berdampingan, saling menjadi saksi atas sunyi dan kebisingan masing-masing.
Dan pada suatu malam, dalam obrolan ringan di kantin kampus, Senjani pernah berkata dengan tawa kecil, “Dulu waktu kecil, aku punya teman main di panti. Namanya Satria. Kami janji mau nikah kalau gede nanti. Tapi ya, mana mungkin.”
Sejiwa hanya mengangguk, menyisakan senyum tipis, “Kalau jodoh, Tuhan lucu cara mainnya.”
Malam itu, tak satu pun dari mereka tahu bahwa waktu akan mengambil Sejiwa lebih cepat dari yang seharusnya. Bahwa tawa itu akan menjadi kenangan yang paling pahit.
Hari itu, Sejiwa sedang dalam perjalanan menjemput Senjani di kampus. Tapi ia tak pernah sampai. Sebuah truk besar yang melaju terlalu cepat di tikungan ring road barat menghantam motor yang dikendarainya. Dunia Senjani runtuh. Ia merasa, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia adalah penyebab dari kematian seseorang yang paling ia cintai.
Hingga enam bulan setelah kepergian itu, ia masih belum bisa bermain piano. Jemarinya membeku setiap kali duduk di depan tuts.
Tapi hari ini, ia memaksakan diri.
Panti asuhan tempat ia dibesarkan mengundangnya untuk mengisi acara kecil. Dan entah bagaimana, dorongan itu datang begitu saja. Ia ingin berdamai. Mungkin dengan bermain piano lagi, mungkin dengan kembali ke tempat semua hal dimulai.
Dan di sanalah ia melihatnya.
Lelaki itu berdiri di dekat rak buku tua, sedang berbincang dengan pengurus panti. Punggungnya tegap, wajahnya dewasa… tapi tidak asing.
Jantung Senjani berdetak cepat. Rasanya seperti melompat mundur bertahun-tahun.