Hujan turun pelan-pelan malam itu. Tidak deras, tidak pula terlalu sunyi. Seperti rintik yang tahu diri—cukup hadir untuk menemani kenangan, tapi tidak mengusik langkah.
Senjani berdiri di depan jendela kamarnya, memandangi butiran air yang menari di kaca. Di meja kecil di sampingnya, sebuah kotak kecil dari kayu jati tergeletak. Di dalamnya, tertata rapi surat-surat lama dari Sejiwa, kertas konser piano pertamanya, dan selembar foto panti asuhan tempat ia dan Satria pernah menghabiskan masa kecil mereka yang diam-diam saling melihat, saling menunggu, tanpa benar-benar mengerti makna dari rasa yang mulai tumbuh.
Kini, waktu telah menyambung semua yang pernah patah.
Sejiwa telah menjadi bagian dari langit. Lelaki yang mencintainya dengan tenang, yang membuatnya mengenal kehilangan tanpa kebencian. Namanya tetap hidup dalam senyap, dalam iringan tuts piano yang kadang dimainkan Senjani dengan mata basah. Sejiwa adalah cinta yang pernah tumbuh dan pergi dengan indah.
Tapi Satria adalah cinta yang datang setelah semua yang Senjani kira telah selesai. Satria, yang muncul ketika ia masih belum siap, ketika ia masih berbalut duka. Lelaki itu datang bukan sebagai pengganti, tapi sebagai lanjutan—sebagai halaman berikutnya yang tidak menghapus yang sebelumnya.
Hari mereka kembali bertemu di panti asuhan adalah hari yang mengubah segalanya. Satria yang berdiri di antara anak-anak kecil dengan senyum yang sama seperti masa kecilnya—dan Senjani yang menatap dari balik piano, mengenali mata itu lebih dulu daripada suara, lebih dulu dari sapaan. Dunia seperti menyusun ulang takdir.