Fadira memijat-mijat kedua kaki Nara yang ada di pangkuannya. Sementara mama memijat, Nara mengoceh terus dari tadi, seperti tidak pernah lelah.
"Si Randy tuh emang bener-bener kurang ajar banget, Ma. Masa dia ngajak aku pergi dan ninggalin aku gitu aja di tempat yang sepi, nggak ada angkot, nggak ada orang. Mama tahu nggak, aku tuh harus jalan kaki berkilo-kilo buat bisa dapetin taksi. Itu aja aku nunggunya juga berjam-jam. Mama lihat nih sekarang, tuh betis aku, Ma. Udah segede kaki gajah kayak gini." Nara mengoceh sambil makan cemilan dan meminum susunya.
Fadira tidak bisa berkata apa-apa kecuali gelengan kepala mendengar celotehan anaknya. Kakinya mungkin lelah karena berjalan jauh, tapi mulut Nara kelihatan baik-baik saja.
"Awas aja ya, tuh cowok. Kalo sampe aku ketemu lagi sama dia, bakal aku potong lehernya."
Fadira ngeri mendengar ancaman Nara untuk Randy. "Aduh, Nara. Kamu itu kalo ngomong jangan asal, dong. Mama kan jadi ngeri sendiri."
"Mama nggak tahu sih, gimana nyebelinnya tuh cowok? Udah selingkuh, nggak ngaku salah, plin plan, nyebelin, bikin eneg, bikin gondok, ngeselin, ngebetein, EGOIS--"
"Udah, udah." Fadira yang sudah tidak tahan mendengar celotehan Nara, terpaksa menghentikan kemarahan Nara. "Udah, ah. Kamu itu jangan ngoceh terus. Mama pusing nih, dengernya."
Sadar kalau amarahnya terlalu berlebihan, Nara mulai bersikap sedikit tenang sekarang. "Maaf, Ma."
Alvin muncul dari dapur dengan mengenakan celemek masak bergambar Hello Kitty. Di beberapa bagian wajahnya terdapat beberapa kotoran yang merupakan bumbu-bumbu dapur yang secara tidak sengaja menempel dan belepotan di wajah tampannya, saat dia mengusap wajahnya sendiri dengan tangan kotor.
"Ma, bantuin Papa masak, dong," pinta Alvin dengan memasang wajah memelas terbaiknya.
Fadira melirik sinis ke arah suaminya. "Papa gimana, sih? Itu kan tugas Papa kalo bibi lagi pulang kampung, masak itu adalah salah satu tugas Papa selain nyapu sama bersih-bersih rumah."