Bumi terus berputar. Langit yang gelap pun berganti menjadi terang. Ucapkan selamat tinggal sementara pada bulan dan malam hari, lalu sambut senyuman matahari di pagi hari.
Nara berjalan dengan santainya di teras sekolah sambil menebar senyuman ceria seceria senyuman matahari pagi. Kedua tangannya memegang sebuah kotak bekal dengan hiasan gambar kelinci yang lucu di atasnya. Setelah memikirkan masak-masak akhirnya Nara memutuskan untuk mengikuti saran mamanya dengan membuatkan bekal makan siang untuk Marvin.
"Pagi, Ra." Billy yang datang langsung menyapa Nara sambil menebarkan senyuman manisnya.
"Eh? Hai, Bil," sahut Nara yang tadi sempat kaget dengan kedatangan Billy.
Billy melihat kotak bekal yang ada di tangan Nara. "Wuih ... kamu bawa bekal ke sekolah, Ra? Tumben banget? Biasanya makannya selalu di kantin langganan?"
"Enggak kok. Ini bukan buat aku."
"Bukan buat kamu, berarti buat aku, kan?" Meskipun sengaja iseng, tapi Billy berharap bekal itu memang untuknya. "Kebetulan aku belum sempet sarapan pagi ini. Mana? Mana?"
"Eit. Apaan sih, kamu?" Nara menyembunyikan bekal di belakang punggungnya saat tangan Billy mau mengambil kotak itu dari tangannya.
"Lho? Kenapa?"
"Ini tuh bukan buat kamu, Billy. Jangan asal nyerobot aja, dong." Nara sambil tersenyum mendorong kepala Billy dengan jari tangannya.
"Terus buat siapa kalo bukan buat aku?"
"Buat adik kamu---Marvin," jawab Nara.
Billy cemburu mendengarnya. Dia juga kecewa berat. "Oh ... jadi bekal itu buat Marvin?"
Nara mengangguk ringan sambil memandangi kotak bekalnya. Kelihatan sekali kalau Nara senang sekali membuatkan bekal itu. "Iya, ini buat Marvin."
"Kamu masih belum nyerah juga buat minta maaf?"
"Ya belum lah," kata Nara. "Kan aku udah bertekat mau ngelakuin apa aja demi hal itu."
"Sampe bikinin bekal segala?"
"Iya."
Kekecewaan terlihat jelas di wajah Billy. Jujur saja dia baru kali ini merasa iri dengan seseorang. Dia sangat berharap kalau dirinya yang mendapatkan seluruh perhatian Nara itu. Tapi sampai sekarang semuanya masih tetap menjadi harapan, tanpa dia tahu kapan harapan itu akan menjadi kenyataan.
Kalau saja yang terkena lemparan batu waktu itu adalah dirinya dan bukan Marvin, Billy sempat berpikir apa dia juga akan mendapatkan perhatian seperti itu dari Nara? Marvin sangat beruntung. Kalau saja Billy menjadi Marvin, sudah bisa dipastikan dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa dekat dengan Nara.
"Oh iya ...." Nara celingak-celinguk. "Marvin mana? Dia nggak bareng sama kamu?"