Marvin untuk Nara

Larasatiameera
Chapter #18

18. Kami Tak Sedekat Itu

"Kayaknya di rumah ini emang cuma gue satu-satunya orang yang waras."

Sindiran Marvin barusan membuat Billy dan Cindy terpaksa mengarahkan pandangannya ke seseorang yang sejak tadi duduk santai di sofa, yang sebenarnya ingin mereka abaikan kehadirannya di tengah kebahagiaan mereka.

"Apa maksud lo?" semprot Cindy sewot. "Lo ngatain gue sama Billy gila?"

Marvin menutup buku musiknya dan menurunkan kedua kakinya dari atas meja. Memandang Cindy dan Billy dengan ekspresi tanpa dosa. "Iya. Lo berdua gila. Nggak waras. Ngapain senyum-senyum sendiri kayak gitu?"

Cindy kesal sekali dikata-katain Marvin. Tidak tahu apa alasannya, belakangan ini sikap Marvin jauh lebih menyebalkan dari biasanya. Tapi Cindy menahan dirinya untuk tidak sampai berdebat dengan sepupunya itu. Janji kencan dengan Irgi jauh lebih penting daripada mengurusi Marvin yang menyebalkan.

"Bil, gue pergi dulu." pamit Cindy.

"Iya. Hati-hati, ya?"

Cindy segera melenggang pergi sebelum sampai terpancing amarah dengan sikap Marvin itu.

"Lo bilang kalo gue sama Kak Cindy nggak waras?" Billy menghadap ke Marvin yang duduk bersedekap. "Bukannya kebalik? Masih mending gue bisa senyum, daripada lo. Lo itu kayak manusia robot, Vin. Nggak pernah senyum atau ketawa."

"Terus kenapa? Apa itu masalah buat lo?" Marvin berkata santai sambil berdiri lalu pergi meninggalkan Billy.

Melihat sikap Marvin yang memang bikin darah tinggi kumat itu, Billy lagi-lagi hanya bisa geleng-geleng kepala.

***

Di siang hari yang panas, Marvin berlari kecil sambil mendribel bola basketnya mengelilingi lapangan basket yang berada di halaman belakang rumah. Sesekali dia lemparkan bolanya ke ring dan bola masuk dengan sempurna. Terlihat rona bahagia di wajahnya meskipun dia hanya mendribel dan memasukkan bola saja---tanpa benar-benar bermain basket seperti orang-orang pada umumnya. Angin semilir dan sengatan matahari menerpa kulitnya. Dia tidak peduli dan terus bermain sendirian.

Mendadak Marvin berjalan pelan dan akhirnya berhenti, bola basketnya yang terlepas dari tangannya dia biarkan menggelinding entah ke mana. Marvin memegangi dadanya yang terasa sakit. Napasnya tersengal-sengal, selain karena kelelahan bermain basket, juga ada sebab lain.

Karena tidak tahan dengan rasa sakit itu, Marvin terpaksa berjalan dengan gontai ke pinggir halaman. Duduk di teras dengan menyandarkan punggungnya di pilar besar rumahnya. Dengan pernapasan yang berat seperti itu, yang bisa Marvin lakukan hanya duduk diam, menenangkan dirinya, menarik dan membuang napasnya perlahan untuk bisa kembali bernapas normal. Dan usaha Marvin berhasil. Dia mulai bisa bernapas normal sekarang meskipun dadanya masih terasa nyeri.

Billy muncul dari dalam. Begitu melihat Marvin rebahan di teras sambil memegangi dadanya, dia langsung mengkhawatirkannya.

"Vin, lo kenapa? Lo nggak apa-apa, kan?" Dengan wajah panik, Billy jongkok di dekat Marvin. "Ayo gue anter ke kamar." Billy meraih pundak Marvin untuk membantunya mengantar ke kamar tapi Marvin menampiknya.

Lihat selengkapnya