Marvin untuk Nara

Larasatiameera
Chapter #19

19. Berkunjung

Marvin memang bolos sekolah hari ini. Dia berada di sebuah lapangan yang luas, duduk di antara tanaman bunga yang sedang bermekaran digoyang-goyangkan oleh angin. Meskipun udara panas karena siang ini matahari bersinar terik, namun Marvin tidak peduli. Sebelah tangannya memegang sebuah buku gambar dan tangan kanannya memegang pensil, menggores-goreskannya ke kertas itu. Marvin sedang menggambar.

Ternyata lukisan yang dibuat Marvin adalah lukisan kedua orangtuanya beserta dirinya sendiri waktu masih kecil. Kebersamaan yang mereka lalui hanya sampai saat Marvin berumur delapan tahun. Marvin hanya bisa mengingat wajah kedua orangtuanya delapan tahun yang lalu. Dia tidak akan pernah bisa melihat mereka mulai menua karena mereka sudah tiada.

Setelah cukup lama, Marvin menghentikan menggoreskan pensilnya ke buku gambarnya. Wajah tampannya yang selama ini selalu terlihat dingin dan kejam, kini terlihat sedih dan muram. Apalagi saat Marvin mengamati hasil lukisannya sendiri, dia sangat sedih.

"Mama ... Papa ... Marvin kangen," gumam Marvin sambil meraba wajah mama dan papanya yang dia lukis.

Hembusan aingin semilir masih terus bertiup dan menggoyang-goyangkan tanaman bunga bermekaran yang tumbuh memenuhi lapangan itu. Semilir aingin dan bunga-bunga itu yang kini menemani kesendirian Marvin. Kalau sedang ingat atau merindukan orangtuanya, Marvin selalu menyendiri dan pergi ke tempat itu. Di tempat di mana seorangpun tidak ada yang bisa menemukannya.

Ingatan Marvin kembali ke masa sepuluh tahun yang lalu. Di suatu malam saat Marvin dan mama-papanya keluar bersama dengan naik mobil. Mereka sangat bahagia karena papa menjanjikan sesuatu yang menarik pada Marvin, karena malam ini ulang tahun Marvin dan mereka akan pergi untuk merayakannya di suatu tempat. Papa yang menyetir mobil, mama duduk di sebelahnya, sedangkan Marvin duduk di bangku belakang sambil memainkan bola basketnya.

"Mama, Mama," seru Marvin ceria sambil tetap tidak bosan memainkan bola basket di tangannya.

Agatha---mamanya menoleh ke belakang. "Iya, Sayang. Ada apa?"

"Makasih ya, Ma. Bolanya bagus banget. Marvin seneng dapet hadiah bola," ujar Marvin dengan polosnya. Bola basket yang sedari tadi dipegangnya adalah hadiah ulang tahun dari Agatha, sementara Radit---papanya menjanjikan hadiah lain dan sekarang mereka sedang menuju ke tempat itu.

Agauha tersenyum, begitu juga dengan Radit yang mendengarkan ucapan anak laki-lakinya itu.

"Iya, Sayang. Sama-sama. Mama akan kasih apa aja yang kamu mau, kok."

Marvin tersenyum polos. "Kalo udah besar nanti, Marvin mau jadi pemain basket boleh nggak, Ma? Kayak yang di TV-TV itu lho, Ma."

Lagi-lagi Agatha hanya bisa tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk membelai lembut kepala Marvin. "Ya pasti boleh dong, Sayang. Kamu boleh jadi apa aja yang kamu mau."

"Marvin." Radit menyahut. "Perjalanan masih jauh, kamu boleh tidur dulu. Nnati kalo sudah sampai, Papa akan bangunin kamu."

"Iya, Pa." Marvin merebahkan tubuh mungilnya di bangku belakang dan mulai memejamkan matanya untuk tidur, tidak lupa sambil memeluk bola basket kesayangannya.

Tidak selang beberapa saat, entah ada kejadian apa setelah Marvin berhasil tidur, Marvin mendadak terbangun dengan suara teriakan Agatha dan guncangan hebat akibat mobil yang mereka tumpangi mendadak oleng seperti kehilangan kendali.

"Mama! Papa!" Marvin yang panik menangis ketakutan. Tubuhnya terlempar ke dinding-dinding mobil karena mobil yang dikendarai Radit berbelok-belok.

"Pa, awas, Pa!" teriak Agatha histeris yang kelihatannya melihat sesuatu yang menakutkan.

Hanya butuh waktu beberapa detik saat mobil benar-benar kehilangan kendali, mobil meluncur dan masuk ke dalam sebuah jurang yang sangat dalam. Mereka semua berteriak karena tidak ada yang bisa dilakukan lagi selain pasrah pada nasib mereka.

Meskipun dalam keadaan gelap dan ketakutan, Marvin masih bisa merasakan kalau mobil mereka terus meluncur ke bawah, entah di bawah ada apa dan mereka akan berhenti di mana. Marvin terus menangis sambil memanggil-manggil mama dan papanya. Mobil mereka terjatuh di dasar jurang, sedangkan Marvin terlempar keluar mobil dan tubuhnya berguiling ke arah sungai besar bersama dengan bola basketnya. Dia berteriak memanggil mama dan papanya.

Marvin melepaskan pensil dan buku gambar yang dia pegang, lalu menutup rapat kedua telinganya dengan telapak tangannya. Dia seolah masih bisa mendengar suara teriakannya sendiri waktu itu. Sebuah teriakan mengerikan di dasar jurang yang curam.

Lihat selengkapnya