Sampai larut malam, Nara tidak bisa tidur. Dia hanya duduk bersandar di ranjangnya. Matanya masih merah karena menangis terus hari ini. Nara tidak bisa melupakan Marvin dan bagaimana reaksi Marvin saat dia memutuskan hubungan mereka. Dia tahu Marvin pasti hancur. Sama seperti apa yang dia rasakan sekarang.
"Berjanjilah kalau kamu nggak akan menggoreskan luka di hati Marvin."
"Tolong jaga Marvin baik-baik dan jangan pernah menyakiti hatinya."
Teringat kata-kata Dina membuat Nara kembali bersedih. Air matanya tak tertahankan lagi. Dia sudah pernah berjanji untuk menjaga Marvin dan tidak akan pernah menyakitinya, tapi apa yang Nara lakukan sekarang? Nara menyakiti Marvin dan bahkan meninggalkannya.
Namun, Nara punya alasan kuat mengapa dia bersikeras melakukannya. Dia hanya berusaha meyakini bahwa ini semua demi kebaikan semua orang. Hanya itu.
"Tante Dina, saya minta maaf. Maaf karena saya tidak bisa menepati janji saya. Dulu saya pernah berjanji untuk tidak akan pernah menyakiti Marvin, tapi pada kenyataannya saya sudah menyakitinya bahkan jauh sebelum saya mengenalnya. Saya melakukan ini karena saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya tidak mau melihat semua orang menderita lagi karena kesalahan saya di masa lalu. Meskipun menyakitkan, tapi perpisahan ini yang terbaik. Tolong maafkan saya, Tante."
***
Di belahan bumi yang lain ....
Cindy berjalan dengan langkah pelan menuju lantai dua rumahnya. Tempat tujuannya adalah kamar Marvin. Sejak Marvin mengamuk tadi, sampai sekarang Cindy tidak bisa berhenti memikirkannya. Dia khawatir. Selama ini semarah-marahnya Marvin, dia tidak pernah sampai mengamuk seperti itu. Sekarang kenapa tiba-tiba Marvin berubah menjadi menakutkan seperti itu? Meskipun belum tahu ada masalah apa, tapi Cindy yakin bukan masalah kecil. Apalagi kalau menyangkut tentang Nara.
Langkah pelan Cindy berhenti di depan kamar Marvin. Suasana kamar hening. Marvin sudah tidak terdengar mengamuk lagi sekarang. Suara-suara benda dilempar juga sudah tidak terdengar lagi. Lalu apa Marvin sudah tidur?
Tangan kiri Cindy meraih knop pintu dan dengan sangat perlahan, dia membuka pintu itu. Pintu terbuka dengan perlahan. Cindy mulai bisa melihat suasana kamar yang sangat berantakan. Dia melangkah masuk dan melihat Marvin terbaring di ranjangnya dengan kedua kakinya masih memakai sepatu. Posisi tidurnya berantakan dengan kondisi ranjang tanpa sprei, bantal, dan selimut, karena semuanya berserakan di lantai. Saat mengamati Marvin yang sedang tertidur, Cindy melihat sesuatu yang mengejutkannya.
Tangan kanan Marvin berdarah. Cindy bergegas mendekatinya. Dia jongkok di tepi ranjang untuk bisa lebih jelas melihat luka di punggung tangan Marvin dan di jari-jarinya. Cindy tampak panik dan khawatir. Saat dia menengok ke suatu arah, dia melihat cermin di tembok pecah. Mungkinkah Marvin yang memecahkannya dengan menggunakan tangannya? Lalu suara benda pecah yang tadi sempat mereka dengar itu adalah suara cermin yang dipecahkan oleh Marvin?
"Marvin ... kok bisa kayak gini, sih?" gumam Cindy dengan panik, apalagi setelah dia melihat ada beberapa serpihan kaca yang masih tertancap di jari-jari tangan Marvin yang berdarah. Cindy segera bangkit pergi keluar untuk mengambil kotak P3K.
Tidak butuh waktu sampai lima menit, Cindy datang dengan membawa sebuah kotak P3K. Dia kembali jongkok di tepi ranjang dan mengobati luka di tangan Marvin. Cindy melakukannya dengan sangat perlahan supaya tidak sampai mengganggu tidur Marvin. Saat Cindy mulai membersihkan serpihan kaca itu, dia sempat melihat Marvin bergerak tak nyaman dalam tidurnya. Cindy tahu pasti Marvin merasakan perih di tangannya saat dia mensterilkan luka itu.
Setelah beberapa saat, Cindy selesai mengobati tangan Marvin dengan membalutnya dengan perban putih. Cindy melepas sepatu Marvin, mengambil selimut yang berserakan di lantai, lalu menyelimutkannya ke tubuh Marvin. Dia juga memungut bantal dan meletakkannya di bawah kepala Marvin dengan perlahan. Sekali lagi takut kalau Marvin terbangun.