Marvin untuk Nara

Larasatiameera
Chapter #44

44. Rahasia Billy

Marvin bermain basket di halaman belakang rumahnya siang itu. Dia berlari mengelilingi halaman dengan mendrible bolanya dengan gesit. Tidak mempedulikan sinar matahari yang menyengat kulit dan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya---ataupun tangan kanannya yang luka dan dibalut perban, dia tetap bersemangat bermain basket.

Sendirian.

Langkah Marvin mendadak pelan karena dia merasakan dadanya sakit. Sakit sehingga mengakibatkan dia sulit bernapas dengan normal, apalagi ditambah dengan kondisi tubuhnya yang kelelahan bermain basket. Dengan sebelah tangannya menekan dadanya kuat-kuat, Marvin kembali berlari mendrible bolanya. Meskipun larinya sudah tidak segesit sebelumnya, tapi Marvin tetap tidak ada niat untuk berhenti atau berteduh.

Marvin terus teringat pertemuannya dengan Nara di Pantai Mutiara. Saat Marvin memohon pada Nara untuk tidak meninggalkannya, sampai saat Nara tetap bersikeras untuk meninggalkannya. Nara mengingkari janjinya dan menyakiti Marvin.

Apa mau kamu? Aku udah maafin kamu tapi kamu tetap ninggalin aku? Semua janji kamu itu bohong! Omong kosong semua yang pernah kamu bilang!

"Akhhh ....." Sakit di dada Marvin semakin menjadi, dan seolah rasa nyerinya sudah hampir menjalar ke seluruh tubuhnya. Marvin paling tidak suka dengan keadaan seperti itu. Dia tidak mau menyerah sekarang dan kembali berlari sambil mendrible bolanya meskipun dia sudah merasa kedua kakinya hampir tak menapak lagi di tanah. Kepalanya mulai pusing.

"Marvin!" Billy berlari ke tengah halaman dan menghampiri Marvin yang kesakitan. "Vin, lo nggak apa-apa?" Billy tampak cemas. "Lo ngapain sih? Udah gue bilang jangan main basket. Kayak gini kan jadinya?"

Marvin menampik tangan Billy yang menyentuh tubuhnya. "Pergi lo! Nggak usah ikut campur!" ujarnya sambil mengatur napasnya yang sesak---seolah ada benda berat yang menghimpit dadanya, membuatnya sulit bernapas.

Billy mulai jengkel. "Vin, lo jangan nyiksa diri lo sendiri kayak gini! Lo tahu, cara lo ini bakalan bikin orang lain ngerasa bersalah! Marvin!" Billy menarik kaos bagian belakang kaos Marvin saat sepupunya itu nekat mau melanjutkan main basketnya dalam keadaan sekarat dan hampir pingsan itu. "Lo jangan keras kepala, ya! Lo tuh lagi sakit. Berhenti sekarang!"

"Gue nggak sakit!" Marvin marah, dia paling tidak suka dibilang sakit atau diperlakukan seperti orang sakit. "Emangnya kenapa kalo gue mati? Gue mau mati apa enggak, apa peduli lo?" Marvin terbatuk-batuk karena dadanya semakin sesak dan sudah sulit untuk menghirup oksigen dengan bebas.

Billy semakin khawatir. Dia memegang tubuh Marvin, tanpa peduli Marvin mau marah atau tidak. "Lo kalo lagi ada masalah boleh marah. Lo boleh ngamuk-ngamuk atau mecahin apapun, tapi jangan nyiksa diri lo kayak gini. Lo lagi sakit jadi nggak usah keras kepala. Ayo masuk."

Marvin semakin marah karena Billy masih saja memaksanya. Dia mendorong Billy dengan sisa tenaga yang dimilikinya. "Minggir lo!"

Billy mundur beberapa langkah akibat dorongan Marvin. Tapi melihat kondisi Marvin yang sudah sangat mengkhawatirkan itu, dia tidak mungkin pergi. Billy kembali meraih pundak Marvin. "Vin, masuk gue bilang! Ayo masuk!" ujar Billy setengah memaksa.

Sebelum sempat marah-marah dan mendorong Billy lagi, tubuh Marvin lemas dan dia benar-benar kehilangan kesadaran sepenuhnya.

"MARVIN!" Billy kaget melihat Marvin pingsan. Dia menopang tubuh lemah Marvin dengan kedua tangannya disertai kepanikan yang semakin besar. "Marvin bangun, Marvin! Marvin!"

"...."

"MAMA! KAK CINDY!!!" Billy berteriak ke arah rumah. "Ck. Dasar anak keras kepala," maki Billy saat melihat wajah pucat Marvin.

***

Dokter keluar dari kamar Marvin dengan diikuti Nadia di belakangnya. Setelah menutup pintu kamar, mereka berjalan santai sambil membicarakan tentang keadaan Marvin.

Lihat selengkapnya