"Aku nggak pernah melakukan itu lagi sejak sepuluh tahun yang lalu. Atau lebih tepatnya---belum. Membunuh orang, kan?" Ferdinan bahkan terkekeh saat membicarakan tentang pembunuhan.
Jantung Billy berdebar-debar, dia bingung dengan apa yang sedang dibicarakan Ferdinan. Sementara video di ponselnya masih terus merekam pembicaraan itu. Dia menggigit bibir bawahnya, mengusahakan tidak bergerak sedikitpun atau mengeluarkan suara sekecil apapun yang akan membuat Ferdinan menyadari ada yang menguping.
"Anak itu? Pasti akan segera aku bereskan setelah aku mendapatkan apa yang selama ini aku mau." Ferdinan tampak tertawa mendengar suara lawan bicaranya, seolah pembicaraan ini adalah semacam lelucon. "Radit dan Agatha. Mereka sudah mati. Dan nggak akan pernah ada yang tahu kalau kita yang membunuh mereka."
Ponsel yang dipegang Billy hampir terjatuh dari genggaman. Tapi beruntung Billy masih sempat menahannya. Dia semakin erat mencengkeram ponsel itu yang masih terus merekam. Apa yang dia dengar barusan? Billy merasa sedang bermimpi buruk sekarang. Dia berharap pendengarannya salah. Papanya yang membunuh orang tua Marvin? Itu tidak mungkin.
"Semua bukti sudah aku lenyapkan waktu itu. Nggak akan ada yang tahu kalau kamu yang menyabotase mobil dan menyebabkan mereka semua jatuh ke jurang. Kamu nggak perlu khawatir. Nggak ada orang yang tahu." Ferdinan menggaruk-garuk hidungnya sambil berpikir. "Tenang sajalah. Kalau aku sudah berhasil mendapatkan Sehan Group, kamu pasti akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan perjanjian kita dulu."
Billy membulatkan kedua matanya, dia sama sekali tidak pernah tahu bahwa ternyata papanya lah yang sudah merencanakan kecelakaan sepuluh tahun yang lalu. Ferdinan bermaksud mau merebut Sehan Group---perusahaan milik Radit yang ada di Sydney, karena itu dia membunuhnya? Merusak mobil? Melenyapkan bukti? Billy ingat saat kecelakaan terjadi, Ferdinan yang datang ke lokasi kejadian. Dan ada kemungkinan dia sengaja memanipulasi keadaan supaya polisi tidak lagi menyelidiki tentang penyebab kecelakaan, supaya semua itu terlihat seperti kecelakaan murni.
"Anak itu ... Marvin. Dia juga akan segera menyusul kedua orangtuanya ke Surga. Mereka akan hidup bahagia di sana." Ferdinan tertawa menakutkan.
Nggak mungkin. Nggak mungkin.
Billy memegang kepalanya dan mencengkeram rambutnya. Mengingat hal itu benar-benar membuatnya gila. Itu adalah satu-satunya alasan kenapa Billy mendadak memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Dia ingin melihat Marvin dan melindunginya dari papanya yang ingin menyingkirkannya. Billy bermaksud akan menyembunyikan kebenaran ini dari semua orang sampai dia mati. Billy jidak akan sanggup membayangkan bagaimana reaksi Nadia dan Cindy kalau ternyata Ferdinan adalah orang jahat. Dia tidak mau keluarganya menderita karena itu.
Tapi sekarang? Begitu tahu ternyata Nara juga ikut terseret ke dalam masalah ini, apa dia akan diam saja? Di dunia ini ada dua kebetulan---yaitu kebetulan yang menyenangkan dan kebetulan yang menyakitkan. Billy sangat suka kebetulan yang manis, tapi paling membenci kebetulan pahit seperti ini. Kenapa harus Nara? Melihat penderitaan Marvin dan Nara, apa Billy akan tetap diam untuk mengungkap kebenaran ini? Dia dilema. Antara memilih mama dan kakaknya atau Marvin dan Nara?
***
Nara dan Thalita berada di teras sekolah. Mereka jalan bersama seperti niasa. Tapi yang membuat hari ini tidak biasa adalah Thalita tidak sebawel dan secerewet biasanya. Meskipun sudah ditakdirkan bawel sejak lahir, tapi Thalita juga sadar situasi dan kondisi. Saat ini bukanlah saat yang tepat untuk dia cerewet di saat Nara sedang sedih.
Hari ini juga, Nara masih terlihat murung sejak beberapa hari yang lalu Thalita mendengar kabar kalau Nara baru putus dari Marvin dari mulut sahabatnya itu sendiri. Sontak kabar itu sangat mengejutkan Thalita mengingat bagaimana perasaan Nara terhadap Marvin. Mendengar Nara putus dengan Marvin adalah sebuah hal yang sulit untuk dipercayai oleh Thalita.
"Ra ..." ujar Thalita. "Udah dong, lo jangan murung terus kayak gini. Kalo lo sedih terus, gue juga ikutan sedih, nih."
"..."