Marvin untuk Nara

Larasatiameera
Chapter #48

48. Ketakutan Billy

Billy pergi ke kantor Ferdinan sambil membawa sebuah tas kerja milik papanya. Sepanjang perjalanan menuju ruangan Ferdinan, Billy terus menggerutu panjang-pendek sambil sesekali tersenyum ramah dan menganggukkan kepalanya kepada para staf perusahaan yang menyapanya. Mereka semua tahu Billy adalah anak dari pimpinan mereka, selain itu Billy juga sudah sering datang ke kantor itu untuk bertemu mamanya atau orang-orang kepercayaan.

"Papa nih, kebiasaan buruk nggak ilang-ilang? Udah tahu bakalan ada meeting penting sama klien nanti malam, eh tas masih ditinggal-tinggal aja di rumah? Jadi gini kan, gue juga yang harus repot-repot buat nganter ke kantor?"

Billy sampai di depan ruangan pribadi Ferdinan, tapi dia tidak mengetuk pintu melainkan langsung membuka pintunya. Namun saat pintu masih berhasil dibuka sadikit, Billy mendengar Ferdinan sedang mengobrol dengan seseorang. Sekarang bukan lewat telepon lagi melainkan secara langsung. Billy diam-diam mengintip lewat celah pintu yang sedikit terbuka, ada seorang pria yang duduk berhadapan dengan Ferdinan dengan posisi membelakangi pintu sehingga dia tidak bisa melihat wajahnya.

Papa lagi ada tamu, ya?

"Lalu di mana surat itu sekarang?" tanya pria itu pada Ferdinan.

Billy terkejut mendengar suara orang tersebut. Suara yang sangat familier. Itu kayak suara Om Erland---adik sepupu Papa? Mau ngapain dia di sini?

"Aku nggak tahu," jawab Ferdinan. "Selama ini aku juga masih berusaha untuk menemukannya. Tapi sampai sekarang aku belum tahu keberadaan surat itu."

"Terus? Rencana kamu selanjutnya apa?"

Billy bingung mendengar pembicaraan mereka. Surat? Surat apa, sih?

"Anak itu ..."

Jantung Billy tiba-tiba berdebar-debar. Anak? Jangan-jangan ....

"Kapan kamu akan melanjutkan rencana kita?"

"Rencana kita?" Ferdinan meninggikan alisnya setengah mengejek. "Ini semua rencana aku, kamu ingat? Aku yang merencanakan semuanya sejak awal."

Pria yang diketahui bernama Erland itu tertawa. Sebuah tawa terkesan yang seolah meledek. "Oke, oke. Lalu apa yang akan kamu lakukan pada anak itu? Kapan kita akan membunuhnya?"

Tangan Billy yang memegang knop pintu terlepas saat dia merasakan tangannya gemetar, bahkan sekujur tubuhnya. Papanya benar-benar akan membunuh Marvin? Dan ternyata selama ini papanya bersekongkol dengan saudaranya untuk menghabisi keluarga Marvin? Billy sama sekali tidak menyangka, dia akan berada di tengah-tengah orang-orang kejam seperti mereka.

Ferdinan berdiri dari kursi empuknya dan berjalan ke arah jendela sambil memasukkan kedua tangan ke saku celananya. "Setelah aku mendapatkan tanda tangan dia, kita akan melenyapkan anak itu."

"..."

"Sebenarnya aku nggak perlu menunggu selama sepuluh tahun saat anak itu berumur 18 tahun, kalau saja waktu itu dia ikut mati saat kecelakaan. Tapi karena dia hidup, hak waris Sehan Group akhirnya jatuh ke tangan dia." Ferdinan tampak marah mengingat kekurangsempurnaan dalam rencananya sepuluh tahun yang lalu.

"Kenapa anak itu susah sekali matinya? Padahal dulu aku sudah memberikan Agatha obat pengguggur kandungan, tapi anak itu tetap saja lahir selamat meskipun prematur. Dan saat kecelakaan parah itu pun dia juga selamat. Punya berapa nyawa sih, bocah ingusan itu? Benar-benar menyebalkan."

Billy yang mendengarnya hanya bisa berdiri mematung tak bergerak. Rupanya Ferdinan sudah sejak lama merencanakan semuanya, bahkan dia tidak menginginkan Marvin lahir ke dunia karena mau menguasai seluruh harta Radit. Billy semakin merasa takut pada papanya sendiri.

"Ini semua gara-gara Radit berengsek itu. Dia sudah mempersiapkan semuanya dan seolah tahu akan ada yang mencelakai keluarganya, karena itu dia sengaja membuat surat wasiat sialan itu."

Erland tampak mendengarkan apa yang rekannya katakan sambil santai menikmati tehnya. Tak peduli melihat betapa marah dan geramnya Ferdinan yang hampir saja kehilangan semuanya jika Marvin ikut meninggal dalam kecelakaan itu.

"Sudahlah. Nggak perlu mengingat masa lalu. Anggap saja itu merupakan keberuntungan buat kita," kata Erland dengan santainya. "Coba saja pikirkan, kalau Marvin meninggal sepuluh tahun yang lalu, semua aset perusahaan beserta semua harta Radit akan jatuh ke yayasan sosial. Dan kita? Nggak akan dapat apa-apa, kan? Setidaknya karena anak itu hidup, kita masih punya kesempatan untuk merebutnya. Bukan hal yang sulit, kok."

Ferdinan memutar tubuhnya dan bertatap muka dengan saudaranya itu. Wajahnya tampak marah karena mengingat hal yang menurutnya sangat menghina harga dirinya. "Si Radit berengsek itu memang pantas mati. Bisa-bisanya dia lebih memilih menyumbangkan semua hartanya ke yayasan sosial. Sehan Grup sebesar itu dia berikan ke yayasan sosial daripada membiarkannya jatuh ke tangan keluargaku. Kurang ajar!"

Brak!

Ferdinan meninju meja kayu yang ada di hadapannya. Dia benar-benar sangat membenci Radit sampai ingin membunuhnya berkali-kali. "Tapi di mana pun keberadaan surat wasiat itu, nggak akan jadi masalah asalkan Marvin mau menandatangani surat pernyataan yang mengatasnamakan Sehan Group atas namaku. Dia harus memberikan semuanya dulu sebelum mati. Aku sudah lama menunggunya sampai dia berumur 18 tahun. Dan aku nggak boleh gagal lagi kali ini. Anggap saja waktu sepuluh tahun ini adalah kesempatan hidup yang aku berikan untuk anak itu."

Lihat selengkapnya