Marvin untuk Nara

Larasatiameera
Chapter #49

49. Tak Pantas Mengucapkan Maaf

"Kamu mau ngomong apa sih, Bil?" tanya Nara..

Hari ini mendadak pulang sekolah Billy mengajak Nara pergi ke taman, katanya ada sesuatu yang mau dibicarakan dengannya. Karena sepertinya penting sekali, itu membuat Nara sangat penasaran.

"Billy!" Nara memanggil Billy yang dari tadi duduk melamun. "Kamu kenapa sih, hari ini? Katanya mau ngomong sesuatu sama aku? Ada apa?"

Billy menatap Nara lekat-lekat. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana? Aku bingung."

Nara heran, Billy saja bingung apalagi dia yang tidak tahu apa masalahnya. Tapi Nara juga menyadari, Billy bukan tipe orang yang pandai bercerita. Kalau sedang gugup atau gelisah, Billy akan bersikap seperti itu. Masalahnya, apa yang membuatnya gugup dan gelisah?

"Alasan kamu ninggalin Marvin ..." Billy menggantung kalimatnya," ... bukan karena kamu udah nggak cinta lagi sama dia, kan?"

"Hah?" Nara kaget plus bingung mendengar nama itu disebut. Apa jangan-jangan ini ada hubungannya dengan Marvin lagi? Kenapa sama dia? Atau Nadia sudah menceritakan semuanya?

"Kamu ninggalin Marvin cuma karena rasa bersalah kamu ke dia, kan? Bukan karena kamu nggak cinta lagi sama dia? Kamu masih cinta Marvin, kan?"

Meskipun bingung dengan arah pembicaraan ini, tapi Nara tahu Billy memahami perasaannya. Alasan Nara memutuskan hubungannya dengan Marvin memang gara-gara kecelakaan itu dan rasa bersalahnya terhadap Marvin. Walaupun itu bukan satu-satunya alasan. Sementara hatinya masih sangat mencintai Marvin.

"Iya kan, Ra? Cuma gara-gara rasa bersalah itu, kan?" Billy masih terus bertanya karena belum mendapatkan jawaban dari Nara.

Nara tidak bisa memberikan jawaban apa-apa kecuali diam. Hanya diam. Dia lega sepertinya Billy belum tahu tentang Nadia yang pernah mendatangi rumahnya dan mengancam mamanya.

Diamnya seseorang dianggap jawaban 'iya'. Paling tidak itu yang selalu dipahami semua orang dan sudah terbukti tepat. Begitu juga dengan Billy. Dia melihat Nara diam yang artinya Nara mengiyakan apa yang dikatakan Billy. Semua ini hanya karena rasa bersalah itu.

"Seandainya, rasa bersalah itu nggak pernah ada, kamu nggak akan pernah ninggalin Marvin, kan?"

"Bil, kamu kenapa sih, sebenernya?" Nara bingung dengan sikap Billy hari ini. "Kamu aneh, tahu nggak?"

Seolah tidak mempedulikan kebingungan Nara, Billy terus berbicara. Bicara sekarang juga, atau tidak sama sekali. Billy menghadap ke arah Nara dengan memasang wajah serius, jantungnya mulai berdebar-debar. "Nara ... kamu dengerin aku baik-baik, ya? Kecelakaan itu ... kecelakaan sepuluh tahun lalu yang mengakibatkan Om Radit dan Tante Agatha meninggal itu bukan karena kesalahan kamu."

Ucapan itu sudah berkali-kali didengar oleh Nara. Baik Billy, Fadira, atau bahkan Marvin yang mengatakannya, Nara sudah sering mendengarnya. Ini bukan hal baru lagi untuknya. Tapi semuanya itu hanya dianggap Nara kalau mereka hanyalah berusaha menghiburnya. Menghibur supaya Nara tidak terus-terusan merasa bersalah.

"Udah, Bil. Udah," ujar Nara dengan sabar. "Kamu nggak perlu terus berusaha menghibur aku. Aku sekarang udah nggak sedih lagi, kok. Aku baik-baik aja. Semuanya udah berlalu jadi udahlah, nggak usah dibahas lagi, ya," pinta Nara.

"Aku serius, Nara." Billy menekankan. "Aku sekarang nggak lagi menghibur kamu, aku ngomong yang sebenernya."

Ekspresi Nara sedikit berbeda dari sebelumnya. Kali ini dia terlihat mulai menganggap serius apa yang dikatakan Billy, meskipun masih diliputi tanda tanya besar. Nara berpikir, ada sesuatu yang diketahui Billy dan ingin dia sampaikan sekarang ini.

"Papa aku ..." lagi-lagi Billy menggantungkan kalimatnya, dia butuh tenaga ekstra untuk melanjutkannya, "Papa aku yang udah merecanakan kecelakaan itu, Ra."

Debaran jantung Nara hampir saja berhenti seketika. "Apa???"

"Mobil mereka sudah dirusak sebelumnya. Orang suruhan Papa yang yang melakukannya, karena dia ingin merebut Sehan Group di Sydney milik Om Radit. Dia sudah merencanakan semuanya. Jadi malam itu meskipun kamu nggak melintas di depan mobil itu, mobil mereka akan tetap mengalami kecelakaan. Itu bukan salah kamu, Nara. Itu cuma kebetulan aja. Kebetulan yang memberatkan kamu."

Mendengar cerita Billy seperti sedang bermimpi. Nara paling tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Antara percaya dan tidak percaya. Nara masih bingung.

Billy menarik napasnya, mengusir segala ketegangan di dalam hatinya. Dia menyandarkan punggungnya di batang pohon besar di belakangnya. "Kamu pasti kaget, kan? Aku juga sama kayak kamu waktu aku tahu yang sebenernya. Kaget, bingung, ngerasa seperti mimpi buruk. Itu juga yang aku rasain. Dan itu juga yang menjadi satu-satunya alasan kenapa aku mutusin buat pulang ke Jakarta waktu itu. Aku bener-bener nggak tahu apa yang harus aku lakuin sekarang? Semuanya berat buat aku. Keputusan apapun yang akan aku ambil, pasti akan ada yang terluka. Dan sekarang, kamu dan Marvin adalah korbannya. Mama dan kakak aku, juga bisa jadi korban selanjutnya."

"..."

Lihat selengkapnya