Marvin untuk Nara

Larasatiameera
Chapter #50

50. Turut Berdukacita

Billy garuk-garuk kepala, dia tidak merasa pernah mengenal dengan orang yang bernama Dina itu. Tapi kalau memang orang itu adalah teman Agatha, berarti Marvin mengenalnya. Atau mungkin orang itu bisa dikatakan sangat dekat dengan Marvin mengingat reaksi Marvin yang buru-buru pergi setelah mendengar kabar duka itu. Billy mulai khawatir lagi dengan keadaan Marvin.

"Lo kenal?"

"Nggak."

"Kayaknya lo harus susul Marvin deh, Bil. Gue khawatir sama dia. Tahu sendiri kan lo, belakangan ini dia lagi labil."

"Tapi gue nggak tahu harus nyari Marvin ke mana," ujar Billy bingung.

"Lo bisa tanya sama orang yang tadi telepon." Cindy mengangkat ponsel Marvin---menunjukkan ke Billy.

Billy mengangguk-angguk. "Lo bener, Kak. Nara pasti tahu sesuatu. Atau gue telepon Nara aja, ya?"

"Itu malah lebih bagus. Siapa tahu aja dia tahu alamatnya."

***

Billy langsung memberitahu Nara kalau orang yang bernama Dina meninggal dunia dan Marvin sedang pergi ke sana. Nara benar-benar terkejut mendengarnya. Dina adalah salah satu orang terdekat Marvin. Pasti Marvin sedih sekali mendapat kabar itu. Saat Billy mengatakan akan menyusul Marvin ke Puncak, Nara ingin ikut, karena dia juga mengenal Dina.

Hari itu juga Billy dan Nara segera berangkat ke Puncak menggunakan mobil Billy. Mereka berdua sama-sama gelisah. Di sepanjang perjalanan, Nara terus menangis sedih atas kepergian Dina dan juga memikirkan Marvin. Marvin pasti sangat terpukul karena sekali lagi dia kehilangan orang yang dia sayang. Nara juga tidak menyangka, Dina akan pergi secepat itu di saat Marvin mungkin sedang membutuhkannya.

Nara semakin sedih saat teringat pertemuannya dengan Dina sekitar dua bulan yang lalu. Pertemuan pertama dan terakhir Nara dengan Dina. Waktu itu Nara tidak pernah berpikir sedikitpun bahwa dia tidak akan pernah melihat wajah teduh dan ramah seorang Dina. Seseorang yang sudah menjadi pengganti ibu untuk Marvin sekarang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Sekali lagi Marvin kehilangan. Baru kali ini Nara merasa bahwa dunia ini sangat jahat.

"Bil, kita bisa nggak, lebih cepet lagi?" tanya Nara dengan suara serak.

"Iya, Ra. Ini juga udah cepet. Kamu harus sabar." Billy berkata sambil berkonsentrasi menyetir dan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Dia tahu Nara pasti ingin cepat sampai di Puncak dan melihat keadaan Marvin. Begitu juga dengan dia.

Tante Dina, saya minta maaf. Saya belum bisa menepati janji saya. Tolong tante jangan marah. Saya berjanji, akan berusaha memperbaiki kesalahan saya.

Marvin, aku minta maaf. Kalo sampe terjadi apa-apa sama kamu, aku nggak akan bisa maafin diri aku sendiri.

***

Di Puncak, acara pemakaman sudah selesai. Marvin dengan mengenakan kemeja hitamnya merenung sendirian di kamar Dina yang kini kosong. Dia duduk di lantai bersandar pada tempat tidur sambil memandangi pigura berisi foto Dina dengan mata merahnya yang berair. Hari ini Marvin kembali merasakan bagaimana rasa sakitnya kehilangan. Semakin banyak dia kehilangan sesuatu, rasa sakit itu semakin parah.

Belum genap sebulan saat Nara meninggalkan luka di hatinya, luka itu belum sembuh, sekarang ditambah lagi dia harus menerima kenyataan pahit bahwa dia kehilangan lagi. Semakin bertambah luka di hatinya, semakin sakit yang dia rasakan. Lalu akan ada berapa banyak lagi luka yang harus diterima Marvin setelah ini? Marvin merasa kalau kehidupan sedang mempermainkannya sekarang. Tak bisakah dia memiliki satu orang saja dalam hidupnya? Hanya satu orang saja.

"Kenapa semua orang ingkar janji?" Marvin bersuara lirih, masih tidak melepaskan pandangannya pada foto Dina yang ada di tangannya. "Kenapa semua orang pembohong? Kenapa?"

Suasana kamar hening. Hanya ada embusan angin yang masuk lewat jendela kamar dan mengibar-ngibarkan korden putih di jendela itu.

"Kenapa semuanya ninggalin aku? Kenapa aku nggak diberi kesempatan untuk memiliki seseorang sedikit lebih lama dalam hidup aku? Kenapa aku harus selalu kehilangan? Kenapa Tante? Tolong jawab aku."

Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan Marvin, hanya embusan angin yang terus datang mengibar-ngibarkan korden jendela kamar itu. Satu-satunya teman Marvin.

"KALIAN SEMUA JAHAT!" Marvin telah sampai pada puncak emosinya. Dia membanting pigura itu dan seperti yang sudah digariskan---pigura pecah. Marvin tertawa perih. Tawa yang penuh luka dan kesedihan.

Dia menekuk lututnya dan menenggelamkan wajahnya di antara lipatan kedua lengannya di atas lututnya. Kekuatan Marvin menghilang. Seluruh tubuhnya berguncang keras. Dia membiarkan seluruh air matanya tumpah. Hanya berharap rasa sakit dan perih di hatinya akan berkurang, meskipun itu mustahil.

***

Lihat selengkapnya