Suasana lautan di pagi hari sangat tenang, meskipun ombak selalu datang. Tapi ketenangan itu tetap ada. Matahari pagi yang hangat bersinar terik menjadikan pasir-pasir pantai itu terlihat berkilauan seperti mutiara.
Pantai Mutiara.
Di gazebo tepi pantai, seseorang tertidur lelap dengan pakaian serba hitamnya. Marvin semalam berada di sana untuk menyendiri. Tidur di gazebo tanpa bantal dan selimut di tengah-tengah cuaca dingin dan tiupan angin. Tubuh lelahnya tampak menggigil meskipun sinar matahari mulai menyinari tubuhnya. Tempat itu memang lebih sering sepi, karenanya sangat cocok untuk dijadikan tempat merenung sendirian. Mungkin itu yang menjadi alasan Marvin memilih pergi ke sana daripada pulang ke rumahnya.
Jarak berkilo-kilo dari Pantai Mutiara, Nara sedang ada di dalam sebuah taksi yang melaju di jalan raya tanpa tujuan. Nara pergi dari sekolahnya demi mencari Marvin. Sepanjang jalan, Nara tidak bisa berhenti memikirkan Marvin. Dalam keadaan apapun, Daffindra Marvin Pradana selalu memenuhi pikirannya. Nara benar-benar takut terjadi apa-apa dengan laki-laki itu.
Marvin kamu di mana? Kalau kamu emang marah sama aku, kamu nggak perlu sampe pergi dari rumah kayak gini. Aku bener-bener khawatir sama kamu.
"Non, kita mau ke mana?" tanya sopir taksi yang mungkin sudah berkali-kali menanyakan hal yang sama pada Nara.
"Jalan aja terus, Pak," kata Nara.
***
"Tiap kali lagi sedih dan teringat sama mereka, cuma tempat ini yang selalu gue kunjungi. Gue selalu menyendiri di sini."
Nara teringat Marvin pernah mengatakan kalau taman bunga adalah satu-satunya tujuan dia di saat sedang sedih. Marvin akan selalu pergi ke sana. Tapi entah kenapa bukannya pergi ke taman bunga, dia justru pergi ke Pantai Mutiara seolah hatinya yang membawanya ke sana.
Nara berjalan di atas pasir-pasir pantai yang halus dan berkilauan terkena sinar matahari---mirip mutiara. Suara ombak pantai menyambut kedatangannya. Nara bingung kenapa dia bisa datang ke Pantai Mutiara, dia hanya mengikuti ke mana kedua kakinya membawa tubuhnya pergi.
Langkahnya terhenti sesaat, saat kedua bola matanya menangkap sesuatu di kejauhan. Nara melihat Marvin duduk di atas pasir sambil memeluk lututnya, menatap lautan berombak. Hati Nara sedikit merasa lega setelah berhasil menemukan sosok itu. Lega karena Marvin ternyata baik-baik saja dan ternyata memang ada di tempat itu, paling tidak hal itu yang sekarang bisa dilihat sekilas oleh indera penglihatannya. Nara tidak mau terlalu banyak berpikir sejak kapan Marvin ada di situ, yang terpenting adalah sekarang dia sudah menemukannya. Menemukan Marvin yang dia cari-cari.
Marvin sepertinya belum menyadari ada orang lain di pantai itu selain dirinya. Dia masih menyibukkan dirinya menatap ombak di lautan dan merasakan hangatnya sinar matahari yang mulai menyengat kulit karena hari juga semakin siang.
Butuh waktu sekitar beberapa menit untuk Nara bisa sampai di dekat Marvin. Langkah pelannya yang penuh keraguan akhirnya bisa membawanya berdiri tepat di sebelah Marvin. Tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Marvin tidak butuh waktu lama untuk merasakan ada orang yang sengaja datang mendekatinya. Dengan malas dia mendongakkan kepalanya, seakan tahu siapa orang yang berdiri di sebelahnya itu. Dia melihat Nara yang masih mengenakan seragam sekolah lengkap. Marvin berdiri. Pandangannya kembali tertuju menatap lautan. Suka tidak suka, Marvin tidak akan menghindar kali ini.
Suasana hening. Hanya terdengar suara ombak laut yang menghantam batu karang.
"Marvin ..." Nara dengan perlahan sekali membuka mulutnya untuk mengawali pembicaraan mereka. "Aku minta maaf."
Ucapan maaf Nara sudah bukan hal baru lagi untuk Marvin. Dia sudah sering mendengar 'maaf' itu dari mulut Nara. Ya, memang Nara sangat mudah mengucapkan maaf pada orang lain.