Sinar matahari belum sepenuhnya menghangat. Angin sejuk bertiup lembut, mengibaskan kerudung sang hawa. Ada pohon mangga yang tumbuh, jika di perhatikan lurus dengan tempat salah satu petugas upacara itu berdiri, mungkin berjarak sekitar 10 meter. Sebelah kirinya menjadi tempat para guru berbaris, mengikuti kegiatan rutin. Upacara bendera.
Udara memang cenderung lebih sejuk di musim hujan, sangat bersahabat sebenarnya. Namun sayang, kakinya terasa tak kuat lagi menopang, ada yang hilang dari semua keyakinan yang sebelumnya tertanam.
" Pembacaan UUD 1945 oleh petugas upacara."
Tidak tahu bagaimana menghadapinya, terpaksa derap langkah harus berjalan. Dihimpitnya teks UUD dibawah ketiak kiri sesuai dengan latihan semula, sementara tangan kanan terangkat kemudian turun persis seperti pasukan paskibra. Semua mata memandang dengan seksama, namun tak ada yang tahu, jika orang yang hendak membaca teks UUD 1945 ini sedang kalut setengah mati.
Kepercayaan dirinya sudah pergi entah kemana, yang tersisa hanya ketakutan dan kekhawatiran berlebih. Lututnya gemetar, tangannya berusaha membuka Teks UUD '45 di tengah heningnya ratusan peserta upacara.
Hening, namun pikirannya bergemuruh seorang diri, ialah Marwah gadis manis dengan prestasi akademik yang baik namun sepertinya mengalami masalah dalam dirinya. Perlahan, ia mulai mengangkat teks UUD, bersiap membacanya dengan lantang di hadapan orang-orang. Rok panjangnya mungkin masih bisa menyembunyikan gemetar di lututnya yang sudah tak karuan, namun tidak dengan tangannya yang terpampang jelas. Ia ingin menangis, namun keterpaksaan mengharuskan dirinya untuk membaca.
"Undang-undang dasar seribu sembilan ratus empat puluh lima, pembukaan."
Suara lirih dan gemetar yang terdengar. Beberapa siswa siswi mulai cekikikan, menyaksikan penampilan temannya yang menggetarkan teks secara tidak sengaja sekedar untuk membaca. Gemetarnya sangat ketara. Tak ada yang tahu betapa kalutnya gadis itu membacakan teks UUD, bukan karena ia tak mampu, ia gadis pintar, di semester ganjil ia langsung mendapatkan predikat juara satu. Hanya saja, ada hal yang tidak semua orang tahu.
Kata demi kata mengalir, meski terdengar seperti nenek-nenek yang kesulitan bernafas, ada yang menggedor-gedor dibalik dadanya, ya jantungnya berpacu cepat, suara pun tak bisa dikompromi. Mau tidak mau, Marwah tetap harus menyelesaikan tugasnya. Akhirnya meski dengan menanggung malu, meski rasanya ingin lari, perlahan, Marwah kembali ke tempatnya semula, di samping protokol.
Marwah menghirup nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya pelan. Walau bagaimanapun tugas itu sudah di jalaninya, tidak sukses memang, sangat tidak sukses. Lagi-lagi penyesalan menyapa, namun satu hal yang membuatnya kembali kuat atau hanya pura-pura kuat, di sanubarinya selalu tertanam harapan jika suatu hari nanti, entah kapan ia akan sembuh dan bisa mengatasi semuanya.
Ia tak berani menatap siapapun, ingin sekali membenamkan dirinya di dasar bumi, berharap semua itu hanya mimpi, atau jika memang terjadi, seharusnya adalah kepuasan dan kesuksesan yang diraih. Sayangnya, hanya tersisa rasa malu, lagi dan lagi, yang kesekian kali.