Marwah

Wardatul Jannah
Chapter #3

Biang Kerok

"Ibu pernah dikasih resep oleh pamanmu, katanya, jika ingin jantungnya sehat dan tidak mudah berdebar-debar, setiap bangun tidur harus dibiasakan minum air putih sekuat-kuatnya." Ujar ibu Marwah dari dapur, beliau sedang mencuci piring.

Marwah tengah menikmati sarapan paginya seorang diri di meja makan. Masih bersebelahan dengan dapur. Ayahnya sudah pergi ke sawah sejak jam enam pagi tadi, beliau sudah sarapan terlebih dahulu. Ibunya sendiri yang menyiapkannya. Sedangkan Adiknya yang masih bayi, tidur pulas di dalam kamar. 

Marwah memang sengaja tidak menceritakan kejadian Senin kemarin secara gamblang. Ia hanya bertanya bagaimana caranya agar tidak mudah berdebar, terutama waktu berada dihadapan banyak orang. Ia malu untuk menceritakan hal yang sebenarnya, orangtuanya bisa kecewa jika tahu kemampuan dan kepercayaan diri anaknya yang dulu hilang dan malah memalukan.

Selesai sarapan. Marwah pamit pada ibunya. Perjalanan menuju sekolah bisa memakan waktu seperempat jam. Mungkin berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. 

Tak ada teman yang menemani. Teman lain yang sekolahnya sama, kebetulan banyak yang menggunakan sepeda. Marwah masih bertahan dengan jalan kaki, melewati jalan setapak di sawah. 

Sesekali ia menyapa para petani yang sedang memanen tembakau. Di desa ini pertanian yang dihasilkan tidak melulu padi. Biasanya setiap musim selalu berganti. Ada kalanya menanam padi, tembakau ataupun cabe rawit. Hasil dari menanam akan dibeli oleh tengkulak dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pasar. Karena mereka juga membeli dengan skala besar. 

Marwah juga punya sawah. Milik ayahnya. saat ini sedang ditumbuhi tembakau. Iya, tembakau yang merupakan bahan dasar dari rokok. 

Untuk menjadi rokok, masih harus melalui beberapa tahapan. Setelah panen, daun tembakau yang masih hijau kekuningan itu akan dilipat menjadi beberapa lapis. Kalau kalian tahu cara melipat terang bulan. Kira-kira seperti itulah caranya. Jika sudah selesai mereka akan menutupinya dengan terpal. Agar udara hangat dan cepat mematangkan daun tembakau. Nah, setelah dua hari tembakau biasanya sudah menguning dan siap di rajang. Ini masih belum selesai. Hasil rajangan akan dijajar rapi di anyaman bambu. Biasanya mereka melakukannya malam hari. Bapak-bapak bagian mengiris, ibu-ibu bagian menata.

Pagi harinya. Matahari terik sangat cocok untuk mengeringkan hasil tembakau yang sudah di rajang. 

Terhitung sekitar dua hari proses pengeringan, tergantung dengan panasnya sinar juga. 

Adapun tahap yang terakhir adalah, hasil dari pengeringan itu dilipat dijadikan satu untuk selanjutnya ditimbang. Plastik besar akan menjadi pembungkus. Nanti akan ada tengkulak yang mengambilnya. Tentu saja dengan uang yang akan diserahkannya pada hasil para petani.

Hasil dari tembakau biasanya cukup lumayan. Kakek Marwah bisa mendapatkan uang dua sampai tiga jutaan dalam sekali panen. Tergantung luas sawahnya atau berapa banyak sawahnya. 

Kalau milik pak Haji Qadir sudah tak perlu ditanya lagi hasilnya. Penghasilan dari tembakau, sudah mampu memberangkatkan beliau dan keluarganya ke tanah suci Mekah. Hasil panennya memang melimpah ruah. Sawahnya luas dan tersebar dimana-mana.

Sepanjang jalan Marwah melihat tembakau. Sekarang memang musimnya. Sekolah sudah tampak dari dekat. Mula-mula ingatan hari kemarin singgah kembali. Jujur ia malu untuk berhadapan dengan orang lain terutama kakak-kakak kelasnya.

Mungkin akan ada yang berbisik 'oh itu anak kemarin yang gemetar itu ya'. Tak bisa ia bayangkan betapa memalukannya hal demikian. Namun hidup terus berjalan. Belajar tetap berlanjut. Marwah terus menyibak langkah.

Pukul 06.52 akhirnya ia sampai juga di sekolah. Gerbang belum di tutup, bel mungkin sebentar lagi berbunyi. 

Lihat selengkapnya