MARYA

Xchalant
Chapter #1

Kisah Sang Pemanah Dari Pulau Jawa

Laut Jawa

Duapuluh kilometer lepas pantai laut selatan, terlihat sebuah sampan kecil yang terombang-ambing ombak laut yang tidak begitu besar.

Hari saat itu sudah menjelang sore, namun riak air di permukaan laut masih tampak jelas memantulkan bayangan seorang pemuda berusia 18 tahun berperawakan tegap dan berkulit gelap yang sedang duduk termangu di atas sampan sambil terus menundukkan wajahnya yang murung.

"Ya Dewa— Ya Gusti, apa yang harus kulakukan? Aku sudah tidak sanggup lagi hidup di desa karena selalu dikata-katai mereka. Duh, kenapa nasibku harus selalu buruk begini? Oh, Rasti, teganya kau bermesraan dengan pemuda lain padahal aku sudah mengincarmu sejak kita masih SD ... dan ... dan Wulan, kau juga cuma ketawa saja saat kuajak menikah. Aku— aku ini apakah sangat jauh dari yang kalian harapkan? Aku memang tidak kaya namun aku yakin bisa membahagiakan kalian. Kenapa setiap gadis yang kudekati selalu menolak? Mereka pemuda-pemuda desa juga mulai mentertawakanku dibilangnya aku ini banci kaleng takut perempuan. Duh Gusti, aku sampai marah sama emak bapak yang selalu saja membanding-bandingkan dengan Kakak. Dia yang yang sudah jadi orang, punya istri cantik dan disegani, sedangkan aku ini apa?" pikiran pemuda di atas sampan itu melayang-layang mengingat kejadian-kejadian menyakitkan di desa nelayan tempat tinggalnya di pinggir pantai.

Wajahnya semakin menunduk terkena terpaan cahaya kuning mentari sore yang perlahan mulai tenggelam, pelan-pelan ke dua matanya mulai basah dan dalam sepi pemuda itu pun menangis.

Pemuda berkulit gelap itu kemudian berdiri sempoyongan di atas sampannya, usai menumpahkan air mata sedihnya dia kemudian menghirup udara laut yang sedikit terasa amis. Pemuda itu memiliki tubuh yang tegap dan kukuh dengan kedua lengan yang berotot kekar menyiratkan hasil tempaan dari kerja kerasnya sebagai seorang nelayan. Rambutnya lumayan lebat tidak dipotong sehingga menjuntai sebahu dan berwarna kemerahan akibat seringnya menantang terik mentari. Sebenarnya walaupun berkulit gelap pemuda itu memiliki wajah cukup tampan dengan sorot mata tajam menyiratkan kecerdasan.

"Duhaiii Sri Baruna! Dewa Sang Penguasa Lautan! Kumohon ijinkanku bergabung denganmu. Hamba sudah tidak sudi lagi hidup di daratan, berilah hambamu ini kesempatan tunjukkan belas kasihmu! Jika sampai esok hari tiada tanda darimu, hamba akan rela menerjunkan diri ini ke dalamnya lautan dan berjanji tidak akan kembali lagi ke atas!" Selesai meneriakkan kata itu pemuda itu kemudian duduk bersila di atas sampan sambil melipat kedua lengannya seakan sedang bertapa.

Dalam pikirannya dia sudah bertekat pasrah membiarkan apa pun yang akan terjadi padanya di lautan lepas itu di atas sampan kecil yang puluhan kilometer jauhnya dari daratan.

Angin bertiup lembut menyisakan riak kecil ombak yang tersapu warna lembayung kemerahan tanda sang mentari tinggal sesaat lagi akan menghilang dan akan digantikan oleh kerlipan bintang dan redupnya cahaya rembulan malam.

Pukul 08.00 malam.

Sang pemuda itu masih tetap terdiam pada posisinya semula, bersedekap sambil sesekali matanya terbuka menyapu permukaan air laut yang berkilau-kilau keperakan efek pantulan cahaya bintang.

Pukul 10.00 malam.

Dia masih tetap pada posisinya, namun sedikit gelisah karena terpaan angin mulai terasa dingin menusuk ke tulang.

Pukul 12.00 malam.

Lihat selengkapnya