Semua perasaan sepi yang menyerang Maryam pada malam-malam awal ketika ia tiba di Timor tak bisa diluruh dengan mudah. Malam adalah sekelabat kenangan yang terus menjadi hujan di dadanya. Benar bahwa ia kembali ke tanah kelahirannya, tetapi tanah Jawa adalah seluruh pengalaman hidupnya. Meski demikian, Maryam tetap berusaha menghidupkan ingatannya pada rumah masa kecilnya, tempat ia bersama bapaknya melewati siang-malam tanpa mama. Tempat tidur tua yang memikul tubuh perempuan gelisah itu terus berderit menghantam malam setiap kali Maryam membalik tubuhnya.
Pulangnya Maryam yang tiba-tiba tanpa kabar berita dan tidurnya yang gelisah pada akhirnya membuat mama besarnya curiga juga. Maka di suatu pagi, setelah mereka berberes makan dan bapak besarnya pergi ke kebun. Maryam sengaja diajak bicara oleh Ma Gaya—begitu ia menyapa mama besarnya.
“Maryam, kamu punya laki kenapa tidak ikut datang?” Mama Gaya mulai membuka percakapan. Sebagaimana yang sudah dipikirkan Maryam, pertanyaan itu lambat laun akan datang juga. Ia tak kaget.
“Mungkin nanti Ma. Bulan-bulan begini pondok sibuk sekali, musim ujian dan pemulangan santri,” Maryam menjawab mantap. Seolah-olah jawaban itu sudah disiapkannya sejak lama. Ia bahkan tak menyangka bersikap tak jujur mengenai masalah rumah tangganya.
“Nah. Kalau begitu habis libur bisa datang. Biar bisa kenal dengan kami.”
“Nanti saya telpon beliau dulu Ma,” Maryam menjawab pendek. Ia tahu jika semakin lama bercakap-cakap mengenai masalah itu, bisa saja ia harus menyusun kebohongan yang lain.
“Nanti kalau telpon kasih tahu bilang keluarga di sini mau ketemu,” Mama Gaya melirik Maryam sebelum matanya tertuju tempat sirih di pangkuannya.
Maryam mengangguk setuju dan mulai sibuk mengeluarkan sisa pakaian kotornya ke ember. Semetara Mama Gaya memujinya karena bisa menikah dengan seorang Gus, anak seorang kiai.
“Eh, kamu punya suami nama siapa lagi? Mama ini sering lupa namanya.”
“Gus Nawi, Ma.”
Maryam tertegun sebentar setelah mengucap nama suaminya. Beruntung saat itu ponakannya, Lila sudah berdiri di depan pintu menunggunya berangkat ke kali. Ia buru-buru membereskan pakaiannya ke ember dan mengangkatnya keluar sambil berpamitan pada Mama Gaya yang baru saja selesai aktivitas makan sirihnya.
Ketika pagi beranjak dan matahari sudah mulai terasa membakar kulit. Maryam dan Lila sampai juga di kali Noebunu. Hamparan bebatuan putih mengkilat-kilat diterpa panas. Dari kejauhan angin membawa bunyi ‘ngiung, ngiung’ daun kasuari yang pohonnya berderet di sepanjang pinggiran kali. Maryam berdiri sejenak di tepian kali sbelum menuju sebuah mata air yang digali sedikit dalam. Bulan Juni di Timor adalah ucapan selamat tinggal pada derasnya air kali. Penduduk mesti menggali sedikit dalam karena kali berhenti mengalir dan air mulai sulit didapat. Maryam berdiri sebentar, ia memandangi sebuah bukit kecil tempat berteduh sebuah madrasah bersejarah di kampungnya. Sebuah menara masjid yang tampaknya mulai berkarat menjulang lebih tinggi dari rerimbun pohon asam yang mengitari komplesk madrasah. Mungkinkan ini adalah tempat dakwahku yang sesungguhnya, tanyanya dalam hati.
Bip. Bip. Bip. Telpon genggamnya bergetar. Maryam kaget bukan main. Bukankah daerah ini sulit signal? Ia melihat layar, nama Gus Nawi muncul.
Allahu Akbar! Pekiknya dalam hati. Maryam menjadi begitu kikuk. Sejujurnya, ia pun belum tahu pasti seperti apa langkah yang harus ditempuhnya. Ketika kembali ia memang meminta talak, ia ingin bercerai saja. Tetapi ia pun tak tahu bagaimana kelanjutan hidupnya. Apa yang mesti ia kerjakan selanjutnya. Ia harus memberikan alasan-alasan logis pada Gus Nawi, sementara pikirannya sedang kacau untuk menjawab. Penggilan pertama dibiarkan berakhir. Maryam sedikit lega ketika ia melihat telpon genggamnya, tak ada panggilan susulan untuk beberapa menit berikut. Ia menarik napas panjang dan meletakkan benda itu di atas batu bersama beberapa potong pakaian. Ia mesti mencuci segera, sebab sejak datang seminggu yang lalu baru hari itu ia turun ke kali untuk mencuci.
“Lila, tolong bantu tanta ambil air!”
Ketika Maryam mulai mencuci, sedikit demi sedikit wajahnya menajdi tenang. Ia seperti kembali ke masa kecil, ketika bapaknya masih ada dan mereka turun ke kali untuk mandi dan mencuci. Ia melihat jauh ke hilir, pohon jambu tua tempat bapaknya biasa mengikat kuda merah mereka pun masih tumbuh di sana.
“Tanta... Tanta punya hape bunyi lagi,” Lila berinisiatif mengangkat telpon genggam itu dan memberinya pada Maryam.
Dua puluh tujuh panggilan tak terjawab.
Maryam tahu kali ini ia tak bisa mengelak lagi. Bukan karena Gus Nawi menelponnya berkali-kali, tetapi karena Lila tahu bahwa yang menelpon adalah Gus Nawi—pamannya. Maryam akhirnya memilih menepi di bawah pohon kasuari. Ia yang akan menelpon kembali jika Gus Nawi tak lagi menelpon.
Assalamualaikum. Ucapan salam lelaki yang begitu dihormatinya di ujung telpon membuat perasaan Maryam tak menentu. Ia masih merindukan Gus Nawi.