Abah Kiai duduk di depan rumahnya di suatu sore. Kepergian Maryam membuatnya teringat akan sahabatnya, Bai Gun yang telah dipanggil Allah beberapa tahun setelah kunjungan keduanya ke Timor. Juli 1984 kala itu. Abah Kiai menemani rombongan Kiai Fuad ke Noebun—sebuah dusun kecil di Kecamatan Amanuban Timur. Mereka berempat, Kiai Fuad dari Cirebon, Kiai Anwar dari Banyuwangi, Kiai Abas dari Pekalongan.
“Assalamualaiukum. Saudara, senang bisa berjumpa lagi!” peluk Bai Gun ketika melihat Abah Kiai turun dari mobil jip. Laki-laki berkulit hitam mengkilat itu tampak gagah di usianya yang tak lagi muda.
“Bagaimana kabarmu, Bai?” Abah Kiai melepas pelukan sambil memperkenalkan Kiai Fuad dan rombongan yang lain, “Bai Gun, beliau-beliau ini yang mendidik anak-anak muda angkatan pertama yang dikirim ke Jawa.”
Bai Gun tersenyum lebar dan mempersilakan mereka naik lopo. Di sana, sudah digelar tikar daun lontar dan beberapa orang tua telah duduk bersila menunggu rombongan. Suasana menjelang sore di sebuah dusun kecil yang diapit bukit dan sungai. Hari belum benar-benar sore, tetapi matahari sudah samar-samar condong ke balik bukit. Anak-anak berkejar-kejaran, sementara para ibu hilir mudik menata makanan.
“Bai Gun, bagaimana perjuangan Islam di sini,” Kiai Fuad mulai membuka pembicaraan. Bai Gun diam sebentar. Ia mengamati langit-langit lopo besar tempat mereka duduk.
“Hampir lima belas ribu orang bersama-sama saya masuk Islam. Tepi saya hanya tahu syahadat dan alfatihah,” suara Bai Gun yang khawatir membuat rombongan yang hadir menajamkan indra mereka, “Pemuda-pemuda yang saya kirim ke Jawa belum juga pulang. Sementara kami hanya mengharap para dai dari ibu kota,” lanjut Bai Gun.
“Jangan khawatir saudaraku, Allah selalu bersamamu,” Kiai Anwar ikut bersuara, “Anak-anakmu yang sekarang ada di pondok tentu akan kami minta pulang segera setelah mereka selesai,” lanjutnya.
“Tahun 1967, ketika kami bersyahadat. Saya dipecat di kantor daerah tanpa kejelasan. Tak apa bagi saya. Bersyukur, para dai satu demi satu datang membantu dakwah ini. Sudah enam belas tahun. Sekolah-sekolah telah berdiri. Masjid pun demikian. Anak-anak muda yang sekolah PGA di Kupang pun telah kembali beberapa. Rasanya, saya tidak menyesali pemecatan itu lagi Kiai.”
“Semua kehendak Allah Bai Gun,” Kiai Anwar menimpali kegelisahan Bai Gun.
Bai Gun mengangguk, “Ya...Ya... Ini kehendak Allah,” balasnya.
Abah Kiai yang sebelumnya sudah pernah berjumpa dengan Bai Gun pada tahun-tahun awalnya menjadi mualaf mulai membari tahu maksud kedatangan rombongan Kiai Fuad. Mereka membawa informasi bahwa Bai Gun akan dimintai informasi terkait masuknya Islam di Amanuban.
“Pak Mentri ingin bertemu dengan Bai Gun di Jakarta,” Abah Kiai mulai memasuki tujuan inti. Bai Gun kaget, wajahnya berbinar. Ia bertanya beberapa hal untuk meyakinkan diri. Kepada para kiai ia berjanji akan memenuhi pertemuan itu.