Maryam

Sayyidati Hajar
Chapter #4

Aisyah dan Maryam #4


Kenapa Maryam tidur tidak tidur dikamarku saja Ummi? Pertanyaan itulah yang akhirnya mengantar Maryam menjadi sahabat Aisyah. Tepat ketika Maryam hampir setahun di pondok.

Pagi itu, sinar matahari masuk melalui jendela dan mengenai sebuah mesin jahit bertulisan singer di ruang makan. Berkat sinar matahari dan sebuah jendela besar yang terdapat di sisi kanan rumah itu, seisi ruang makan menjadi terang dan udara pagi terasa lebih jauh merayapi tubuh-tubuh yang kian sibuk di dalam sana. Para santri yang membantu di ndalem sibuk mengantar makanan ke meja, sementara Ummi menyiapkan alat makan untuk keluarga. Abah Kiai yang baru tiba usai solat subuh dan kajian kitab Arbain dengan para santri langsung menghadap gelas airnya. Setelah minum air putih, Abah Kiai memasukkan beberapa buah irisan jahe ke dalam gelas. Tak lama kemudian, air panas memenuhi gelas. Aroma jahe pelan-pelan tersebar di dekat meja. Wajah laki-laki berusia 40-an tahun itu tenang tetapi istrinya mendengar tarikan napasnya yang tak biasa. Ia tahu ada sesuatu yang mungkin menganggu pikiran suaminya.

“Aisyah, nanti setelah sarapan mau ke mana Ndok?” Ummi membuka percakapan pagi itu ketika Aisyah tiba di ruang makan.

Aisyah berpikir sebentar. Ia tahu hari di hari Minggu Mba Laila akan pergi ke pasar setelah sarapan. Rasanya ia ingin sekali ikut. Tetapi Ummi tidak selalu memberinya izin. Padahal pasar masih sangat dekat dengan pondok. Mereka hanya perlu berjalan kaki ke bawah bukit, sekitar lima ratus meter. Ada sebuah bekas pabrik gula yang terbengkalai di sana. Tepat di sebelah pabrik itu, ada pasar raya—pasar paling lengkap di Kecamatan Lawang.

“Aisyah mau ikut Mbak Laila. Sudah lama aku ingin main ke pasar, mau beli jajan kue buatan Simbok Min,” mata Aisyah bersemangat, “Boleh ya Mi?” tambahnya sambil melirik wajah ibunya.

Ibunya menarik napas sebentar, Aisyah sudah lama memang tak pergi keluar bersama Mbak Laila. Tak ada salahnya juga jika mereka pergi. Mbak Laila adalah santri dalem yang sudah selesai dan tak mau pulang kampung karena ia yatim piatu. Ia telah bersama keluarga Abah Kiai kurang lebih sepuluh tahun. Ia kemudian bertanggung jawab di dapur ndalem. Ia sangat amanah.

“Boleh, tapi harus selalu bersama Mbak Laila. Jangan sampai terpisah. Kalau sudah selesai, langsung pulang,” jawab Ummi yang disambut dengan senyum lebar Aisyah.

“Terima kasih Ummi...,” anak perempuan satu-satunya itu bahkan sampai turun dari kursi untuk memeluk ibunya.

“Ummi, kenapa Maryam tidur bersama Mbak Laila?” Aisyah bertanya sebelum naik ke kursi makan.

Abah Kiai dan istrinya tersenyum. Anak perempuan itu girangnya seperti tak pernah diajak main keluar pondok. Padahal satu atau dua minggu sekali mereka biasa pergi ke Kediri. Terkadang Aisyah dan Ummi ikut rombongan dakwah Abah Kiai. Tapi anak itu tetap senang bukan kepalang jika bisa ikut Mbak Laila ke pasar.

Lihat selengkapnya