“Bilang pada papamu, aku atau dia yang minggat dari rumah ini, otak pikirannya nglayap melulu, hobi saja yang diurusi. Rumah berantakan, jarang pulang.Mamamu sudah tidak kuat lagi mending cerai saja.”
Aku tercenung, bingung dan kecewa dengan papa dan mama yang tidak pernah akur. Sakit hati bila melihat setiap hari barang- barang hancur oleh keegoisan papa dan mama yang tidak mau saling mengalah. Mamaku ingin selalu mengatur, sedangkan papa maunya bebas dan tidak mau terlalu di atur.
Aku masih duabelas tahun tapi sudah dihadapkan para perselisihan keluarga sejak kecil. Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara kakakku perempuan bernama Kunti, lebih suka kelayapan dan sering gonta ganti pacar, Adikku, Dini sangat pendiam dan sering minder dalam berteman. Aku sendiri merasa tidak puas dan sering keluar bersama teman – teman se gank. Aku sering ikut tawuran bersama teman – temanku dan pernah hampir mati kalau saja teman temanku tidak segera menolongku.
Aku sudah coba – coba merokok saat usiaku masih belum cukup dewasa untuk mengkonsumsi mainannya orang dewasa itu. Hari – hariku jadi kacau. Di rumah tidak ada ketenangan sama sekali karena papa dan mamaku lebih sering bertengkar.
Mamaku sangat galak, kalau ketahuan pulang telat tidak segan – segan menghajarku. Papa sendiri sebetulnya orangnya tidak tegaan, maka ketika mamaku sedang menghajarku atau kakakku ia lebih sering kabur dan keluar rumah. Papaku sebetulnya baik tetapi orangnya kurang tegas sehingga sering menjadi sasaran sindiran mamaku yang super duper galak.
Kalau sudah di rumah rasanya seperti di neraka.
“Dito, katakan pada papamu, Kalau tidak mau mau diatur lebih baik minggat dari rumah.”
“Mengapa Mama begitu?Salah Papa apa?”
“Banyak. Pokoknya mama pengin cerai. Kamu semua ikut mama, titik”
Puncak kemarahan mama waktu itu, ketika mama ingin pergi dari rumah dan menghindari pertengkaran yang tidak pernah selesai. Aku bingung dan diam saja di dalam kamar. Sebagai laki – laki susah untuk menangis tapi saya merasa kecewa mengapa keluarganya selalu mendapat ujian – ujian yang tidak pernah selesai. Ada saja masalahnya. akhirnya aku hanya memeluk bantal, membenamkan kepala dalam bantal dan berteriak keras- keras.
“Baiklah ma, saya sudah tidak kuat lagi dengan kelakuan Mama lebih baik Papa pergi. Capek setiap hari begini terus, diatur, disindir, diomeli.”