Tahun 2021
Lavana terus memutar bolpoin, matanya fokus menatap layar proyektor yang menampilkan grafik penonton untuk episode kemarin. Ia merasa puas dengan angka yang diperoleh untuk drama series pertamanya, bahkan ia sangat tidak menyangka bisa menyentuh angka satu juta penonton disetiap episodenya.
"5 episode lagi drama ini akan selesai, gue harap angka itu masih bisa bertahan sampai ending." Ungkap Desi sebagai produser dalam drama series ini. Semua tim merasa puas dengan pencapaian mereka.
"Ga sia-sia lo nangis di pantry." Bisik Nadya sebagai rekan sesama scriptwriter. Lava menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia merasa malu mengingat dia sering menangis karena sudah buntu mencari jalan cerita untuk dramanya.
Desi menatap Lava yang sedang tersipu malu, "Sebulan lagi drama lo abis. Lo ada ide untuk drama selanjutnya? Kalau bisa kayak gini, soalnya lagi laku." Lava berpikir sejenak, ada beberapa ide mentah yang sempat ia tulis.
Lava memberi ide dasar untuk drama selanjutnya, namun Desi masih mempertimbangkan karena masih mentah dan kurang kuat.
"Nanti gue pikirin mba, kemungkinan tentang kasus pembunuhan yang ga pernah selesai." Ujar Lava.
"Oke kalau gitu, gue tunggu ide lo. Rapat kelar, pada balik deh lo." Desi mulai membenahi barang-barangnya sebelum keluar ruangan untuk pulang ke rumah.
Nadya berbisik kepada Lava, "Gue kemarin riset beberapa kasus, siapa tau bisa lo pake. Nanti gue kirim e-mail aja." Lava tersenyum senang dengan Nadya, temannya ini sangat baik dan pengertian.
Mungkin jika orang lain tidak akan memberikan bahan risetnya kepada rekan satu profesi, beda lagi dengan Nadya yang begitu baik padanya. Ingatkan Lava untuk mentraktir makan siang perempuan itu.
Nadya mengirimkan berkas berisi kasus-kasus pembunuhan yang tidak pernah terpecahkan di Indonesia. Lava mulai membacanya satu persatu dengan serius, kasus-kasus pembunuhan ini bagaikan novel yang tidak memiliki ending.
Dari sekian banyak kasus, Lava sangat tertarik dengan kasus salah satu wartawan yang temukan terbunuh pada tahun 1996.
Perempuan itu teringat satu kasus yang pernah ia baca di aplikasi burung biru, kasus pembunuhan yang sempat viral kembali karena dibuat utas oleh seseorang. Ia membuka aplikasi twitter dan mulai mencari kasus yang dimaksud.
Sebuah pesan dari seseorang bernama Raga mengalihkan fokusnya, pesan tersebut bertuliskan bahwa pria itu sudah sampai di depan gedung kantor Lava. Ia segera beranjak dari mejanya untuk menemui Raga yang sudah menjemputnya.
Sepanjang perjalanannya menuju lift ia sempat menyapa dan memberi semangat kepada rekan-rekannya yang masih bekerja disaat jam pulang kantor.
Lava melanjutkan mencari kasus yang sama dengan kasus pembunuhan wartawan tahun 1996. Ia sangat ingat pernah membacanya beberapa waktu lalu, namun ia lupa untuk menyimpannya.
"Ah ini dia!" Serunya. Setelah ia mencari dengan berbagai kata yang ia ingat tentang utas tersebut. "Lebih baik love dulu sebelum lupa." Menekan tombol hati untuk menyimpan utas.
Lava memasuki mobil Raga dengan senyuman terpaut di wajahnya, hari ini ia sangat bahagia karena filmnya mendapatkan rating cukup tinggi. Ia tidak sabar untuk berbagi cerita hari dengan Ragangga, kekasihnya.
"Seneng banget kamu," Raga mengacak rambut Lava karena gemas. "Makan dulu ya sebelum pulang, aku belum makan dari siang." Masih dengan senyuman, perempuan itu memberikan ibu jarinya tanda menyetujui ajakan Raga.
Dalam perjalanan Lava terus bercerita tentang respon penonton untuk drama series pertamanya yang sudah berjalan 11 episode, tinggal 5 episode lagi dramanya mendapatkan ending.
Sepanjang penayangan drama pertama Lava ini selalu mendapatkan respon positif dari para penonton, walau ada beberapa yang mencela karena terlalu mereka bingung dengan alur ceritanya yang maju-mundur.
"Aku seneng dengernya, pacar aku pinter nulis drama. Asalkan kamu jangan drama sama aku."
"Oh ya, bu Desi minta aku memikirkan untuk drama selanjutnya. Tadi aku udah baca-baca sedikit." Raga antusias dengan pembicaraan ini, pasalnya Lava akan menceritakan idenya yang diluar perkiraan dan Raga dengan senang hati menjadi pendengar pertama.
Lampu lalu lintas berganti warna menjadi merah, mobil yang Raga kedarai berhenti seperti yang lainnya. "Aku mulu yang cerita. How was your day? Yay or nah?"
"Sedikit masalah tadi, tapi aku langsung selesaikan saat itu juga." Jelas Raga. Lava tersenyum lalu memberikan ibu jarinya untuk Raga. "That's my man, pacar aku hebat!" Raga tertawa melihat tingkah kekasihnya yang dapat dikatanya sangat aktif dan unik, bahkan sekarang perempuan itu sedang bertepuk tangan merayakan kehebatan Raga dalam menyelesaikan masalah.
Lampu sudah berganti kembali menjadi hijau, Raga menjalankan mobilnya menuju tempat makan langganan mereka. Dalam perjalanan sebuah mobil di depan mereka terlihat keluar dari jalur, mobil tersebut berjalan zig-zag.
"Serem banget, kamu bawanya jauh-jauh aja dari mobil itu." Lava merasa takut dengan mobil yang berada di depan mereka, bahkan ia meminta Raga untuk menepi sebentar agar tidak bertemu dengan mobil tersebut. Namun Raga menolak, pria itu berusaha mendahului mobil di depannya.
"Ban dia kempes, liat deh." Raga menunjuk ban bagian depan mobil tersebut saat mobil mereka berjalan bersisian. Raga menambah kecepatan laju mobilnya demi mendahului, setidaknya mereka bisa berjalan terlebih dahulu tanpa menemui pengendara mobil tersebut.
"Jangan ah, bahaya." Lava sudah mengeluarkan peringatan pada Raga untuk mengalah.
Hal yang Lava takutkan akhirnya terjadi.
Suara ledakan terdengar dari mobil di samping mereka, saat keduanya menoleh bersamaan mobil tersebut membanting kemudinya kearah mobil yang Lava dan Raga kendarai.
Mobil mereka terbanting hingga memasuki jalur berlawanan, Raga berhasil menghentikan mobilnya.
Saat mobil mereka berhenti, Lava melihat kearah Raga yang memiliki detak jantung yang sama dengannya, wajah mereka sudah pucat karena panik. Ia memberikan senyuman pada Raga yang berhasil mengendalikan mobil yang mereka naiki.
Masih dengan napas yang terengah-engah, Raga mulai menjalankan mobilnya kembali. Tidak sampai dua meter mereka berjalan, sebuah mobil dengan kecepatan penuh menabrak bagian belakang mobil mereka hingga hilang kendali dan akhirnya menabrak pohon besar di samping trotoar.
Suara klason yang sangat nyaring menandakan adanya sebuah hantaman yang sangat keras. Pandangan Lava hitam, ia tidak bisa mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Raga..." Panggil Lava. Ia terus memanggil kekasihnya dalam keadaan gelap.
Lava meraba tubuh Raga, ia menyadari bahwa kekasihnya tidak sadarkan diri karena hantaman yang sangat keras. Ia memindahkan kepala kekasihnya agar tidak bertumpu pada kemudi mobil.
Suara langkah kaki terdengar mendekati mobil mereka, "Tolong." Ucap Lava, ia tidak dapat berteriak karena tenggorokannya sangat sakit.
Suara siulan sangat jelas masuk kedalam indra pendengar Lava, namun netranya tidak dapat melihat siapa orang yang datang menhampiri mereka Lava kehilangan tenaganya untuk bertahan, bahkan ia tidak sanggup untuk tetap sadar. Akhirnya ia memilih menyerah dan hanyut dalam kegelapan.
Kegelapan menyambutnya, tetapi telinganya mendengar jelas banyak suara telpon serta suara sepatu yang menghantam lantai. Perempuan itu bingung, mengapa netranya masih gelap bahkan tidak dapat melihat setitik cahaya.
"Raga?" Panggilnya.
Lava mendengar seseorang mendekatinya, "Kamu udah sadar?" Suara yang tidak asing tertangkap oleh indra pendengarannya.
"Papa?" Lava membalas genggaman tangan orang tersebut.
"Ini papa, kamu jangan takut." Genggaman tangan itu semakin kuat.