Masa Lalu

Diano Eko
Chapter #2

BAB 2: GO AND FIX IT!

Dania, Maury, Ritzy, dan Stefan, yang tampak chic dan flawless seperti biasa, sedang antri di Starbucks yang ada di lobi gedung Absola. Meski baru bertemu cukup lama semalam di pesta Melia, mereka terlihat tak henti sahut-sahutan, saling berbagi gosip pagi, kecuali Dania yang masih tak lepas dari layar hape. Setelah mendapatkan kopi pesanan, mereka berjalan cepat, memasuki lobi yang dijaga dua orang satpam. Di ujung lobi terdapat pintu kaca, yang hanya bisa di buka dengan tapping id card Absola. 

Setiap yang melewati pintu kaca itu akan langsung disambut oleh area resepsionis, minimalis dan chic. Kontras dengan yang sedang jaga di sana pagi itu, Renny, gadis 22 tahun, asli Jogja, seorang fresh graduated. Tanpa make up berlebih, sebernarnya dia cukup cantik dan menarik. Namun masih kentara lugu dan malu-malu, dengan gaya berpakaian standar, jauh dibandingkan dengan karyawan lain. Ini adalah pekerjaan pertama dia sejak lulus UGM, dan ini hari pertama.

“Pagi… Anak baru ya? Gw Dania, PA-nya Bu Chyntia. Buruan touch up, sebelum dia datang. Jangan sampai lu cuma sehari doank di sini karena dia gak suka liat… muka lu,” sapanya, berusaha santai.

Kaget, Renny menatap Dania, wajahnya langsung memucat.

“Buruan,” lanjut Dania.

Renny menyambar pouch kecil dari dalam tasnya yang tergeletak di lantai. Dania hanya bisa menarik napas pendek melihat kondisi tas itu.

“Tas lu… Jangan sampai keliatan siapa-siapa. Dan pakai ini. Balikin lagi kalau udah selesai,” lanjutnya, sambil menyerahkan pouch berisi make up miliknya. Dia yakin apa pun yang ada dalam pouch Renny gak akan cukup untuk membuat dia keliatan berbeda dari sekarang. 

Dania meninggalkan Renny yang masih berdiri terpaku, menaiki tangga ke lantai 2. Bagian kiri lantai itu, setengah lantai penuh, dijadikan kantor Chyntia. Sementara bagian kanan, sebagian besar dijadikan conference room. Semua ruangan di sana berdinding kaca, dengan desain minimalis, didominasi warna hitam dan putih. Meja Dania berada persis di sebelah kanan pintu masuk ke ruangan Chyntia. Jaraknya cukup untuk dia bisa mendengar apa pun yang sedang dibicarakan di ruangan tersebut.

Seperti biasa, pagi ini pagi yang super sibuk di Absola, dua hari menjelang Sale 10.10. Akan ada pesta besar untuk merayakannya. Semua orang dalam panic mode.

 

Land Rover hitam memasuki halaman gedung. Semua satpam langsung sibuk mengosongkan area masuk lobi, dan membuka pintu masuk.

Pintu kiri bagian penumpang mobil mewah itu dibukain oleh salah satu satpam tegap. Tampak kaki mengenakan Malono Blahnik Hangisi biru keluar perlahan, Chyntia. Dia berjalan dengan langkah mantap. Kaki semampainya diayunkan seolah lantai lobi itu adalah panggung runway, menuju lobi, terus ke area resepsionis. Mengenakan celana panjang, kaos dan blazer Chanel, serba putih, dengan tas Chanel hitam di tangan kanan, dia memasuki lobi, setelah pintunya ditarik oleh satpam lain.

Melewati area resepsionis, sekilas dia melirik ke arah Renny dari balik kacamata hitam, Chanel juga. Anak baru itu bisa merasakan tatapan dingin dan judgmental Chyntia menembus lensa hitam pekat di matanya. Semua berasa lama bagi Renny, seperti adegan slowmo, meski pun tatap itu sebenarnya cuma berlangsung kurang dari 5 detik. Rennys berdiri gugup, sambil membenahi pakaian.

“Selamat pagi, Bu Chyntia. Saya Renny, resepsionis ba---”

Chyntia melengos jalan, seolah-olah tidak ada siapa pun di sana, menaiki tangga menuju kantornya. Di lantai dua dia disambut muka panik Dania di ujung tangga.

“Pagi, Bu. Aku udah order Chanel-nya, dari beberapa tempat. Mudah-mudahan sore ini atau paling lambat besok pagi sampai.”

“Mudah-mudahan? And I don’t think BESOK PAGI is an option,” balas Chyntia dengan suara dingin, sambil memasuki ruangannya.

Wajah Dania makin panik, mengikuti Chyntia dengan tergesa-gesa.

Mereka memasuki ruangan Chyntia, ruangan dengan interior yang clean, tapi mewah. Tidak banyak barang di mejanya, cuma sebuah foto dengan figura cantik. Di belakangnya ada kabinet putih, dengan deretan foto-foto Chyntia bersama selebritis, politikus dan piagam-piagam. Di samping kiri ruangan ada sofa, dan mini closet yang berisi item-item terbaru dan hot dari merek-merek ternama untuk Absola.

"Pak Mana nelpon lagi, udah marah nadanya. Katanya telpon ke hape Ibu gak diangkat-angkat.”

“Biar dia belajar, tanpa saya perusahaan ini gak ada apa-apanya. Dia gak bisa ngapa-ngapain,” jawab Chyntia ketus, sambil meletakkan tas di nakas samping kursi. 

Lalu menatap Dania.

“Kopi?”

Shit! teriak Dania dalam hati. Dia berlari panik ke arah mejanya, menyambar tumbler berisi Starbucks panas yang lupa ditaruh di meja Chyntia.

“Bilangin tim product, saya mau run through ulang semua koleksi yang masuk hot sales. Minta tim finance untuk standby, sekalian CFO suruh ikut. Kalau saya mau diskonnya nambah, langsung approve di tempat. Artinya tim website juga harus standby, langsung ubah di tempat, biar semua bisa bantu cek. Gak ada lagi kesalahan bodoh kayak bulan lalu, ada yang gak bisa bedain 6 sama 9. No wonder dalam sekejap stok abis, diskonnya muncul 90 alih- alih 60%. Yang salah udah jadi ganti?”

Dania selalu kagum akan kemampuan Chyntia bicara panjang dalam satu helaan nafas. 

“Udah gak di Absola orangnya. Sekarang legal lagi proses sita aset dia. Tapi kayaknya tetap gak bakalan cukup untuk nutup---”

Chyntia melambaikan tangan kanan, tanda kalau Dania sudah kebanyakan bicara.

“Tim foto dan desain juga minta standby. Saya yakin bakalan ADA aja layout yang ngaco,” keluhnya.

“Gak ada satu pun yang benar-benar bisa dilepas di sini. Semuanya harus diliatin satu-satu. Saya bingung, do I pay you guys a lot more than you deserve?

Dania yang dari tadi sibuk tak henti-henti menuliskan semua ucapan Chyntia di buku kecil mengangkat wajah, menatap Chyntia bingung. Apakah dia harus menjawab pertanyaan itu? 

“Minta semuanya ngumpul dalam 10 menit di lantai Butik. Dan… Saya mau liat topengnya SORE ini,” tekan Chyntia, sambil menatap tajam, tanda kalau Dania sudah boleh silam.

Jantung Dania terasa mau copot, kembali ke meja sambil sibuk memencet nomor di ponselnya. Dia bingung mana yang harus dikejarin duluan. Menghubungi semua peserta meeting, atau kembali mencari si Chanel sialan! Mukanya tiba-tiba memerah, dengan napas naik turun.


Kantor Pak Mana didominasi oleh warna kayu, dengan dinding didominasi kaca sekeliling, membentuk huruf L. Dinding yang beton dipenuhi piagam dan kalimat-kalimat bijak, gabungan visi, misi, dan nilai MAG. Di dekat pintu masuk, sebelah kanan tampak sofa kulit panjang dengan meja kaca di depannya. Di tengah ruangan ada meja lainnya, bundar, biasa digunakan untuk meeting kecil. Meja kerja Pak Mana di bagian kiri ruangan itu. Lumayan besar, tebal, dari kayu jati solid, dengan kursi kulit agak tinggi.

Siang itu, Melia terlihat sedang duduk di area meja bundar, sibuk dengan laptop, yang langsung ditutup saat Pak Mana memasuki ruangan.

“Papa beneran butuh asisten baru yang kompeten. Aku nanya kapan Papa balik ke kantor aja dia gak tau,” keluh gadis itu.

Lihat selengkapnya