Hampir semua orang selalu menganggap remeh Maury jika mereka belum terlalu mengenalnya. Bagi mereka Maury hanyalah seorang sosok cantik, seksi, yang kepalanya kosong melompong. Selalu ketinggalan berita, dan hampir tidak nyambung di setiap pembicaraan yang melibatkan hal-hal serius, sains, dan hal-hal logis lainnya. Namun, Maury mempunyai selera tinggi, mata jeli, dan intuisi tajam dalam melihat tren fashion terbaru, terutama yang menyangkut aksesoris. Hal tersebutlah yang membuat dia diterima di Absola, menjadi salah satu anggota penting di tim Stefan.
Bagi Maury, Stefan bukan hanya sekedar atasan, tapi juga seorang teman baik. Seseorang yang selalu fokus ke kelebihan, alih-alih menertawakan kekurangannya. Stefan memang bermulut tajam, tidak mudah bagi banyak orang untuk memahami sense of humor sarkastiknya. Namun dia selalu membuat Maury merasa penting, bisa diandalkan, dan sangat pintar. Tidak heran awalnya dia sempat menaruh hati, sebelum sadar kalau Stefan punya selera yang berbeda.
Tidak heran juga kalau saat ini Maury adalah orang yang paling terpukul dengan kematian pria itu. Belum hilang duka dan shocked atas dibantainya Ritzy, lalu video pembunuhan Dania, dan terbunuhnya Farah di pesta 10.10. Stefan adalah korban ke empat dalam 2 minggu terakhir. Mereka semua karyawan, atau berhubungan dengan Absola. Mereka semua dibunuh oleh sosok bertopeng dengan jubah serba putih.
Maury masih terlihat sibuk di depan laptop, tanpa menyadari kalau satu lantai 6 itu sudah kosong. Beberapa lampu sudah dipadamkan. Dari balik kaca tampak petugas cleaning service (CS) sedang mengepel lantai bagian luar. Merasa ada yang aneh di tengah keheningan dan kesunyian lantai itu, Maury buru-buru mematikan laptop, memasukkan beberapa barang ke tas, menyambar kunci mobil, dan bergegas menuju lift.
Beberapa langkah hampir sampai di lift, Maury berhenti sejenak, memandangi sekelilingnya. Dia merasa ada yang mengawasi. Buru-buru dia pun menekan tombol lift. Perasaannya semakin tidak tenang. Sambil menunggu, matanya sibuk mencari petugas CS tadi, atau satpam yang seharusnya standby di lantai ini. Sejak terjadinya rangkaian pembunuhan di beberapa minggu terakhir, perusahaan memperketat keamanan di setiap lantai. Namun saat ini Maury tidak melihat siapa-siapa, dan ini membuatnya sangat kesal, bergidik di saat bersamaan.
Ting!
Pintu lift terbuka. Maury terlonjak kaget, hampir menjerit. Dengan wajah pucat dia bergegas masuk, langsung menekan tombol B1. Namun tombol itu tidak merespon. Maury kembali menekan sekerasnya. Masih tidak menyala.
SHIT! umpatnya dalam hati.
Maury baru sadar kalau dia memasuki lift yang memang diatur tidak berhenti sampai B1. Panik, dia pun buru-buru keluar, lalu kembali bergegas memencet panah turun, berharap lift kedua akan terbuka. Dengan gelisah dia memperhatikan layar penunjuk posisi lantai, yang masih tidak bergerak sama sekali. Panik bercampur marah, Maury kembali memencet tombol itu berkali-kali. Namun masih sama, lift itu tidak merespon.
Screw it! umpatnya.
Dia pun kembali memasuki lift sebelumnya, memencet tombol G, satu lantai di atas B1. Artinya dia harus turun tangga dari lobi ke parkiran. Perjalanan dari lantai 6 ke G yang harusnya biasa saja terasa sangat lama bagi Maury. Dia makin kesal, bercampur takut, karena tidak ada siapa pun yang berjaga di lantai 6, saat jelas-jelas dia sudah melapor kalau malam itu akan lembur. Kematian Stefan membuat Maury harus menyelesaikan banyak hal sendirian. Dengan emosi dia mengirim WA ke Renny, komplain kenapa tidak ada satu petugas pun yang jaga saat ini. Renny bertanggung jawab mengkoordinir semua jadwal lembur beserta akomodasi yang dibutuhkan.
Tak lama, WA balasan dari Renny pun masuk. Dia minta maaf, kaget kenapa tidak ada siapa-siapa, karena dia sangat yakin sudah meng-input jadwal lembur Maury di sistem. Maury cuma memutar bola mata membaca balasan itu. Makin kesal.
Ting!
Pintu lift terbuka di lantai 3. Wajah tegang Maury perlahan berubah menjadi sedikit lega, berpikir akan ada orang lain bersamanya. Namun lantai tersebut terlihat gelap gulita. Dan setelah beberapa lama terbuka, tidak ada seorang pun memasuki lift, atau yang tampak di sana.
“Halo! Ada yang mau turun?! Halo…!” Maury menahan pintu lift yang kembali tertutup, sambil setengah teriak. Namun tak ada siapa-siapa. Hening. Kosong.
Maury makin bergidik, buru-buru menarik tangan dari pintu lift, lalu menekan tombol close dengan tangan gemetar. Saat hampir tertutup, dari samping kiri muncul tangan menghalangi, membuat Maury hampir saja berteriak sekerasnya. Teriakan itu urung keluar dari mulutnya, saat wajah petugas CS yang tadi di lantai 6 muncul di hadapannya. Meski kesal setengah mati, namun Maury juga lega saat petugas itu memasuki lift, dan ikut turun bersamanya.
Lift berjalan dengan normal, namun terasa sangat lama bagi Maury. Keduanya tidak saling berkata apa-apa, hanya diam dengan pikiran masing-masing. Akhirnya lift tersebut berhenti di lantai lobi, keduanya pun keluar. Sesaat Maury menghentikan langkah, mengamati sekeliling, terlihat beberapa petugas keamanan berjaga di lobi itu, sebelum bergegas jalan menuju tangga ke B1.
Masih dengan perasaan tidak tenang, setengah berlari Maury menghampiri mobilnya. Dia melirik jam di hape, 12.37 tengah malam. Seperti biasa, dia menyalakan mobil dari luar, buru-buru masuk, sambil melempar tas ke bangku penumpang. Sekali lagi matanya melihat sekeliling sekilas, sebelum menancap gas, tak sabar ingin meninggalkan gedung itu.
Perjalanan ke rumah Maury dari kantor biasanya memakan waktu hampir 2 jam. Namun tengah malam begini, hanya butuh waktu kurang lebih 30 menit. Maury memilih untuk tidak menggunakan tol, karena jalanan biasa lengang anyway. Dia pun menyalakan radio, mencoba mengalihkan pikiran cemasnya yang tak kunjung hilang. Beberapa lagu dengan melodi sendu terdengar, tipikal playlist radio di tengah malam begini. Tangannya mengganti frekuensi beberapa kali, namun tidak menemukan lagu yang sesuai.
“Hi, Siri. Play Maroon 5,” teriaknya ke arah hape yang tergeletak di bangku penumpang sebelah kiri.
Tidak ada respon.
“Hi, Siri! PLAY MAROON 5!”