Masa Lalu

Diano Eko
Chapter #8

BAB 8: HI, B**CHES! INGAT GW?

Dinding putih pucat mendominasi ruangan rawat sederhana di Rumah Sakit kelas B itu. Beberapa goresan, bekas kepala ranjang, atau jejak tangan basah yang menempel jelas, membuat warna itu terlihat kusam. Cukup untuk membuat penghuninya merasa makin depresi untuk berbaring seharian, atau berhari-hari di sana. 

Di salah satu ranjang, dari tiga yang tersedia, Maury terbaring lemah, dengan infus di tangan dan tonjolan perban di bahu kiri. Siang itu dia satu-satunya pasien yang ada di sana, setelah semalam satu pasien lain meninggal dunia, tak lama setelah Maury dipindahkan ke kamar itu dari UGD. Dia tidak bisa mempercayai siapa pun saat ini. Rasa paranoid inilah yang membuat dia memutuskan untuk memilih dirawat di RSUD di Tangerang Selatan, alih-alih RS swasta besar di tengah Jakarta, seperti biasanya. Satu-satunya orang yang dia hubungi adalah Renny. Untuk alasan yang tak dia pahami, dia merasa saat ini hanya anak itu yang bisa dipercaya. Setidaknya itulah yang dikatakan oleh instingnya di saat kritis ini.

Renny memasuki kamar itu, mengendap-endap. Matanya celingukan, melihat ke semua lorong panjang yang terasa dingin dan membuat bergidik di kiri kanannya, sebelum menutup rapat pintu kamar. Wajah lelahnya makin tegang melihat Maury yang terbaring lemah. Kakinya dilangkahkan sepelan mungkin, tidak mau membangunkan Maury. Namun ternyata tak cukup pelan, karena Maury tetap terbangun. Wajah perempuan itu langsung bergidik, mulutnya ternganga, siap berteriak keras.

“Hei, hei. Ini gw Mbak, Renny,” ucapnya menenangkan. 

Renny bisa memahami keparnoan Maury. Dia tak sanggup membayangkan trauma yang masih menggelayuti pikiran perempuan itu. Sambil menahan nyeri, Maury berusaha mengangkat badan, duduk perlahan.

“Lu gak bilang siapa-siapa kan? Gw sengaja ke RS jelek ini biar gak ada yang tau. Gw gak percaya siapa pun sekarang, kecuali lu. Dan lu jangan percaya siapa pun juga. Tidak SEORANG PUN,” tekan Maury dnegan suara lemah.

“Pembunuh itu pasti orang Absola. Bisa siapa aja. Gw even belum lapor ke Winda. Takut bocor ke pembunuh psycho itu kalau gw selamat,” sambungnya dengan mata berlinang.

“Gak. Gak ada yang tau gw ke sini,” balas Renny.

Maury mengangkat tangannya perlahan, sambil meringis menahan sakit. Tangan itu menunjuk laci di samping kanan ranjang. 

“ Ambil di situ. Ada foto, jatuh dari kantong jubah si psycho.”

Renny pun bergegas membuka laci tersebut. Tampak sebuah foto; Chyntia, dan Tania yang sedang hamil besar.

“Ternyata Tania hamil. Kemungkinan dikeluarkan dari Absola gara-gara itu,” lanjut Maury.

“Masa gak boleh hamil?” respon Renny sewot.

“Boleh. Kecuali lu dihamilin sama petinggi Absola yang udah punya anak istri,” sambar Maury, tak kalah sewot.

Keduanya pun saling bertatapan, lama. Banyak hal berkecamuk di pikiran mereka masing-masing, yang tidak bisa mereka ungkapkan saat itu.

*****

Gedung Absola berdiri anggun di tengah gedung-gedung pencakar langit Jakarta lain di sekelilingnya. Relatif rendah, namun menonjol karena arsitekturnya yang unik. Jendela-jendela kaca gedung itu memantulkan cahaya terang matahari siang yang terik. Di salah satu ruangan lantai bawah, dua orang terdengar berdebat sengit. Sementara satu orang lainnya cuma duduk terdiam mendengarkan dengan wajah tegang.

“Seperti biasa, masalah terbesar kamu itu masalah komunikasi!” Bentak Mana ke arah perempuan di hadapannya.

“Komunikasi?! Saya lulusan John Robert Powell cabang Beverly Hills! Expertnya komunikasi langsung yang ngajar saya. Komunikasi adalah my forte!” Balas perempuan itu, Chyntia, sengit.

“O, ya? Kenapa saya gak dengar langsung dari kamu ada karyawan dibantai di kamar mandi di GEDUNG ini? Saya malah dengarnya dari Melia,” balas laki-laki itu, sambil melirik Melia yang masih hanya bisa terduduk diam di sofa di tengah ruangan.

“Sekarang ada karyawan lain yang terbunuh. Dan saya taunya dari TIKTOK! Kayaknya kamu harus buka lagi modul John Robert Powell Beverly Hills kamu,” nyinyirnya sinis.

“ Saya belum kasih tau karena polisi bilang video Dania gak bisa dijamin keasliannya, bisa jadi hoax! Untuk kejadian lainnya, saya juga taunya barengan sama Bapak, dari polisi atau media! Jadi semuanya ada alasannya, kenapa beberapa hal gak saya share dulu, sampai saya punya info lebih lengkap!”

“Tapi tetap aja, kamu gagal mengkomunikasikan hal sepenting ini, sehingga merembet ke mana-mana. Saya gak mau berdebat lagi. Fix it!”

Pak Mana pun berjalan meninggalkan ruangan itu, disusul Melia, yang tak berani membalas tatapan dingin penuh amarah Chyntia.

“Yeah, kayak semua masalah-masalah lain di hidup Bapak. Saya yang harus benerin!” Teriak perempuan itu.

Lihat selengkapnya