Masa Lalu Itu...

Thoriq Hood
Chapter #1

Cinta Itu Rumit

Lelaki dengan jas tebal bermotif kotak kotak ber made ini skotlandia itu masih termengu. Garis-garis di wajahnya menyimpan banyak hal dan kisah tragis yang ia simpan dalam-dalam. Tak ingin mengingatnya jika tak benar benar siap untuk bersedih. sekian lama ia mencoba memendamnya, dan semakin terasa perih jika kegagalan tak pernah lepas. Klebatan-klebatan perih itu tak pernah kalah.

ia kembali menghirup teh panas di mejanya. Tatapannya kosong ke luar jendela. Hujan mulai mereda, namun ingatan pahitnya belum juga berhenti. Menari-nari menyesakkan hati yang masih menaruh besar sebuah harapan dan cinta. Sudah kesekian kali air matanya mengalir. Tapi belum juga hatinya terasa ringan. Ujung jasnya sudah terlalu basah karena beberapa kali ia buat untuk menghapus air mata. Namun, air mata itu belum juga terbendung. Ia rasa, semua kenangan itu tak akan pernah mampu untuk dilupakan. Mungkin hanya mati.

Mura bangkit dari duduknya setelah mendengar suara pintu diketuk. Sebelum melangkah, bekas-bekas kesedihan di raut wajahnya sudah benar-benar ia hapus. Menghapus anggapan-anggapan yang tak ia inginkan saat bertemu sahabat karibnya yang sudah begitu lama ia tak jumpa.

Perlahan mura menarik kanopi pintu, memastikan Benarkah sahabatnya yang datang. Seorang lelaki sepantaran dengannya telah berdiri kokoh di muka pintu, mengibas-ngibaskan jaket coklat lusuhnya yang tertimpa air hujan. Untuk beberapa detik mereka bersitatap, seperti melihat hal menakjubkan, tak berkedip. Lantas dengan saling menyapa, mereka berpelukan, menepuk bahu. Rindu memaksa mereka untuk saling mendekat, memberi kehangatan persahabatan dan melepas berat nya kesepian. Masing-masing pasang tangan saling mempererat pelukannya, meluruhkan segala rasa yang lama telah hilang. Mereka benar-benar Sahabat karib yang saling Merindu.

Hampir 35 tahun mereka berpisah. Semenjak tamat dari sekolah SMA, mereka harus menjalani hidup masing-masing. Sesuai dengan cita-cita ayah Mura, iya harus melanjutkan studinya di Inggris Raya titik-titik meneruskan jejak ayahnya yang dulu telah meraih prestasi Gemilang di Universitas ternama. Mura tak akan menolak hal itu. Meski harus meninggalkan semua kenangan, Ia tetap harus pergi ke Inggris.

" bagaimana keadaanmu, Mura?" Ando menatap mura dengan air mata yang masih mengalir. sesekali tangannya menepuk pundaknya.

" baik, Ando. keadaanku seperti yang kamu lihat sekarang ini. Tetap kuat dan selalu sehat." Mura tersenyum, berusaha menyeka air matanya.

"Ayo masuk, di luar dingin." setelah bercakap-cakap ringan, akhirnya Mura mengajak tamu Istimewa nya ke dalam rumah. Mengajaknya duduk di ruang tengah.

Puluhan tahun Mura tak pernah pulang ke negerinya sendiri.ia lelaki yang betah sekali menjalani hidupnya di negeri orang. Semenjak menyelesaikan kuliahnya, Mura berinisiatif untuk memulai usahanya di Inggris. Meminjam banyak modal ke ayahnya untuk mendirikan rumah makan pada awalnya, yang sekarang telah menjelma menjadi restaurant. di samping itu ia juga menjadi dosen. Mura menyibukkan diri, mengurus usahanya dengan penuh ketelatenan. hingga tak diragukan lagi, kini usahanya berkembang pesat beberapa tahun kedepan. ia benar-benar Mahir dalam hal perbisnisan. Mungkin karena itulah, hingga akhirnya, Mura enggan untuk pulang ke Indonesia. Ia memilih menetap di Inggris Raya. Sementara Ando setelah tamat SMA, ia melanjutkan studinya di Universitas tak jauh dari rumah. tak begitu semangat dengan kuliahnya. Hingga akhirnya, Iya tak mendapat prestasi Gemilang. Dan setelah kuliahnya selesai, dia meneruskan usahanya dengan mengurusi toko warisan Ayah. Cerita Ando sangat sederhana.

Memang mereka adalah Sahabat karib, namun jarang sekali mereka berjumpa lantaran jarak yang memisahkan. selama ini mereka hanya berkomunikasi melalui handphone. Hampir tiap hari mereka saling berkomunikasi. walau kadang tak ada pembicaraan penting di dalamnya. Dapat berbicara dengan sahabatnya, sudah membuat hati Mura sedikit terasa tak kesepian. Di negeri orang tak seakrab di negeri sendiri, ia sering kesepian. Sedangkan Ando hanya menghubungi Mura jika ia butuh bantuan. Seperti tahun lalu, saat ia sakit dan harus dioperasi, ia meminta pinjaman uang kepada Mura untuk membayar tagihan operasinya. Mura yang dipinjami malah mengirimkan uang dengan jumlah yang tak sedikit dan ia bilang, kalau itu semua tidak ia anggap sebagai hutang. Mura sangat baik sekali kepada Ando. Dan Ando pun sangat bersyukur sekali mendapat sahabat seperti dia. Kejadian seperti itu bukan hanya terjadi sekali dua kali. Namun Mura sering sekali membantu bahkan ia sering sekali menawarkan bantuan untuk sahabatnya itu. Untuk urusan harta, milik Mura lebih-lebih.

" Ada apa Mura? Kenapa kamu menyuruhku kemari?" Setelah mengobrol banyak hal, akhirnya Ando bertanya tentang mengapa ia diminta untuk datang ke rumah Mura.

"Jika aku bisa bantu masalahmu, akan aku bantu."

"O iya, kenapa rumah ini sepi? Di mana anak istrimu? Belum sempat Mur berbicara, Ando terus memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Itulah yang ingin kubicarakan kepadamu." Mura angkat bicara, Lalu kembali terdiam. Ia sungkan saat ingin mengatakannya. Ando menatap lekat raut wajah Mura yang mula berubah.

"Tentang apa Mura? Bilang saja kepadaku. Anggap aku ini saudaramu sendiri, biar kamu enggak merasa sungkan. Lagian kan kamu sering sekali membantuku. Masak kamu malah yang sungkan minta bantuan kepadaku. Apa yang terjadi dengan keluargamu, Mura?"

Suasana senyap sesaat. Mura menekuk kepalanya, terdiam, memikirkan banyak hal.

"Apa yang kau butuhkan?" Ando melanjutkan kalimatnya demi melihat Mura yang terlihat bersedih.

"Aku ingin melamar putrimu?" Berat sekali Mura mengatakannya. Namun, menurutnya ia harus mengatakan hal itu. Ando terdiam sejenak. Otaknya mulai berfikir keras. Jika Mura ingin melamar putrinya, tentu telah terjadi sesuatu dengan keluarganya. Namun, Ando tak akan bertanya masalah keluarga Mura. Ia hanya perlu menjawab, boleh atau tidak. Tak berlu berkata lebih. la takut salah bertanya. Itu akan membuat Mura bersedih. Sebenarnya ia tak keberatan dengan permintaan Mura. Namun, pastilah putri-putrinya yang akan keberatan. Karena putrinya masih terhitung muda semua. Pasti mereka akan menolak saat dilamar sahabatnya yang sudah menginjak usia 53 tahun. Ando mulai kebingungan. Jika ia tak mau membantu Mura, betapa ia ini orang yang tak tahu balas budi. Dan jika ia meng-iya-kannya, ia kasihan dengan putrinya yang pasti mereka lebih suka menikah dengan lelaki yang umurnya tak jauh dari mereka.

"Kamu keberatan?" Mura kembali bertanya, mendapati raut.wajah sahabatnya yang sedikit ragu.

"Enggak, Mura. Aku enggak keberatan. Nanti akan kusampaikan kepada putriku. Dan saya jamin, pasti mereka suka jika di persunting olehmu." Ando berusaha tersenyum. Walaupun sebenarnya otaknya berfikir keras sekali mengahadapi masalah ini. la khawatir jika putrinya menolak. Sementara Ando akan sangat merasa malu jika itu terjadi. Hujan kembali turun. Dingin membuat hatí terasa sejuk. hujan membuat mereka semakin semangat menceritakan semua hal dalam hidupnya, Berbicara tentang kehidupan Mura di Inggris. Usahanya, keadaan orang-orang di sana, dan banyak hal yang nikmat untuk diobrolkan. Ando juga bercerita tentang kehidupannya di sini-sini saja. Lihatlah, bahkan seolah mereka berdua telah melupakan pembicaraan tadi. Walau sebenarnya, Ando mulai banyak berfikir. Berfikir yang memang seharusnya la fikirkan sebagai seorang ayah. 

      

                   ***********

      Hujan turun lagi, setelah beberapa waktu yang lalu sempat reda. Bertahan hingga Jarum jam menunjukan pukul 08:00 malam dan akhirnya kembali turun beberapa menit setelah seorang gadis cantik keluar dari Mall. Semenjak sore tadi, rinai hujan sudah mulai berjatuhan, meski sering Juga berhenti. Lalu hujan lagi. Sepulang dari Mall, baru melangkah beberapa meter, Zahra harus mengamankan tubuhnya dari jutaan air hujan yang berjatuhan, di bawah tribun kecil di depan sebuah toko. Tak jauh dari Mall yang baru saja ia datangi. Hanya ia sendiri yang berada di bawah tribun itu. Tak ada orang lain yang ikut berteduh bersamanya. Tangannya mendekap erat tasnya, memerhatikan

sekitar. Angin malam sesekali bertiup, membuat tempias air hujan menerpa wajah cantik gadis itu. Entahlah, ia tak tahu kapan hujan akan mereda. Zahra menghela nafas. Lima menit sudah, Zahra berdiri menanti kapan hujan reda. Namun, sepertinya hujan tak menghiraukan harapan gadis cantik yang berteduh sendirian di bawah tribun itu. Lihatlah, bahkan hujan semakin deras. Persis ketika Zahra menekuk kepala, putus asa dengan harapannya, mobil Avanza putih berhenti tepat di depan tribun tempat berteduh Zahra. Seorang wanita keluar dengan membawa payung, berlari kecil menuju tempat Zahra berteduh. Zahra tersenyum ketika mengetahui siapa sebenarnya wanita yang membawà payung, Itu adalah Anya, teman karibnya. 

 "Kak Zahra." Seru Anya setibanya di bawah tribun.

    "Aduh! Kok Anya malah ke sini sih. Nanti kalau bajunya basah gimana?" Zahra malah balik bertanya. Karuan la bertanya begitu, karena sikap Anya yang sedemikian rupa.

      "Ayo ikut Anya ke rumah, kak. Ibu Anya ingin bicara sama kak Zahra. Penting katanya." Anya segera menarik lengan Zara.

      "Tapi " Kalimat Zahra tercekat. Mereka sudah berjalan di bawah payung, melawan jutaan rinai hujan. Di dalam mobil hanya ada dua orang saja. Anya dan ibu Andini, ibunya Anya. Bu Andini menyambut kedatangan Zara dengan pertanyaan-pertanyaan ringan. Itu membuat Zara tak canggung berada dalam mobil. Bu Andini sepertinya tahu bagaimana menghadapi yang semisal itu. Wajah Bu Andini ketika kedatangan

Zara tampak lebih cerah. Sepertinya ia bahagia jika Zara ada bersamanya. Anya yang duduk di sebelah Zara pun terus bercerita satu sama lain. la juga merasa gembira jika Zara ada bersamanya.

Zara mendengarkannya dengan antusiasnya. Meski usia mereka selisih dua tahun, namun mereka terlihat begitu akrab, seperti sedang berbicara dengan teman sepantaran. Sementara mobil terus melaju perlahan ke arah rumah Anya. Sesekali terdengar suara gelak tawa dari dalam mobil Avanza putih itu.

    Lima menit berjalan, akhirnya mobil Avanza putih sudah sampai di tempat tujuan. Mereka bertiga segera turun, bergantian. Payungnya hanya ada satu. Lantas, ketika semuanya sudah berada di beranda, Bu Andini mengajak Zara untuk masuk ke dalam rumah.

"Ibu Andini ingin bicara apa sama Zara?" Tanya Zara setelah Bu Andini meletakkan dua cangkir teh panas di meja. Bu Andini segera duduk berhadapan dengan Zara. Sementara Anya pergi ke belakang, ingin buang air. Suasana lengang. sejenak. Menyisakan gemuruh suara hujan yang masih deras. Bu Andini memperbaiki posisinya.

    "Jadi begini, Zara. Emm, to the point aja ya?" Bu Andini terlihat bingung bagaimana mengatakannya ke Zara.

    "Iya bu. Enggak papa, santai aja. Kok malah Zara yang jadi gerogi." Zara tersenyum.

 Bu Andini meneguhkan hatinya. Menatap ke Zara, lantas dengan hati yang belum seutuhnya tenang, ia menyampaikan isi hatinya. "Zara mau enggak nikah sama Angga?" Suara Bu Andini menggantung di langit-langit. Menyisakan rasa terkejut di hati Zara.

la tak menyangka kalau Bu Andini akan mengatakan itu. Sementara Bu Andini juga terlihat menyesal telah mengatakan sebuah kalimat yang terlalu to the point, tak ada basa-basinya sama sekali. Namun, disisi lain, ia juga merasa lega telah menyampaikan hal itu. Karena sudah lama sebenarnya Bu Andini ingin mengatakannya. la selalu berharap jika suatu ketika, Zara akan menjadi anggota keluarganya.

Bu Andini sangat terkesima dengan hati gadis cantik di hadapannya itu. Akhlaknya membuat Bu Andini terpesona. Alangkah beruntung jika ia mendapatkan menantu seperti Zara.

Suasana lengang sejenak. Zara terlihat berfikir. Pertanyaan ini sungguh berat baginya. Bukan berat karena tak setuju. Bahkan, di sisi lain hati Zara menjerit bahagia. Yang membuatnya berat adalah, ia merasa kalau keluarga Bu Andini dengan keluarganya tak sekufu. Bu Andini termasuk orang kaya di kampungnya. Sementara Zara hanya orang biasa. Zara takut jika putra Bu Andini menikahinya, membuatnya tidak nyaman bersama orang tak punya seperti dirinya. Tapi, sejujurnya, sudah lama Zara mengharapkan ini. Namun begitulah dia, selalu tertutup menyimpan banyak hal terlebih soal cinta. la wanita pendiam. Selama ini ia lebih memilih untuk menunggu. Menunggu siapa yang nantinya akan datang dan menjadikannya sebagai pendamping hidup. 

Sebenarnya, Zara sudah kenal dengan Angga sejak dulu. Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Zara tak mungkin tak kenal dengan lelaki yang selalu melindunginya dari teman yang ingin berbuat buruk kepadanya, ketika masih satu sekolahan dengan Angga. la ingat sekali saat Angga menolongnya dari tangan-tangan jail teman laki-laki Zara yang suka sekali menyentuh bahkan menarik rambut lurusnya. Mereka selalu gemas dengan rambut indah Zara kecil dulu.

Dan pada saat itu, Angga datang, mengusir semua yang ingin menjahili Zara. Kontan, karena Angga lebih tua kelasnya dari pada semuanya akhirnya mereka jeri. Tak berani mengganggu Zara lagi. Waktu itu Zara masih kelas dua SD. Masih terlalu kecil untuk dirinya memahami hal tentang perasaan. Dan bukan hanya waktu itu saja Angga menolongnya. Di lain waktu, tepatnya juga ketika masih di sekolah dasar, Angga sering menolong dan membantu Zara kecil. Zara kecil yang suka dijahili teman laki-laki bahkan teman perempuan, karena sering ditolong Angga, akhirnya terasa lebih aman. Hingga akhirnya, setelah lulus, SD Angga melanjutkan sekolahnya di luar kota. Semenjak itulah, teman-teman Zara yang suka menjahilinya kembali beraksi. Keamanan Zara sudah tak ada lagi. la harus berjuang sendiri sampai akhirnya Zara juga ikut sekolah di SMP Angga, setelah lulus sekolah. Dan setelah itu hingga sekarang, karena masing-masing sudah berpisah, mereka hanya sekedar bertegur sapa.

"Lo kok Malah bengong," Kalimat Bu Andini membuat Lamunan Zara berantakan.

"Oh, Maaf bu Andini. Zara enggak bermaksud mengabaikan pertanyaan ibu. Zara sangat setuju, Eh! Maksud Zara, Zara kasihjawabannya besok pagi aja ya, bu. Sekarang sepertinya Zara masih bingung. Zara pikir-pikir dulu malam ini." Zara menekuk kepalanya, jelas la malu dengan kalimat pertamanya yang bilang bahwa dia sangat setuju. Sebagai wanita mestinya ia tak mengatakan itu. Jika pun ia setuju, cukuplah diam. Semuanya akan mafhum, diamnya wanita bertanda setuju.

Bu Andini malah tersenyum melihat tingkah Zara yang terlihat aneh begitu. "Emm. lya deh, enggak papa. Tapi maaf ya, sebenarnya kan keluarga saya jika ingin melamar putri orang, harus datang ke orang tuanya langsung. Bukan malah ke putrinya. Tapi, niat ibu langsung bertanya ke Zara, supaya ibu tahu kalau calon menantuku benar-benar menyukai putraku." Bu Andini kembali mengulam senyum.

"Enggak papa kok bu. Apa yang ibu Andini lakukan ini bukanlah hal yang salah. Menurut Zara, yang seperti ini malah bagus." Zara mengutarakan apa yang ia rasakan dengan perbuatan Bu Andini.

Sementara di luar, hujan mulai mereda. Suara gemuruh atap rumah yang ditabrak jutaan rinai hujan sudah tak terdengar lagi. Beberapa saat setelah itu, Anya bergabung dengan mereka berdua. Dan hingga beberapa menit lagi, percakapan mereka masih berlanjut. Tepat pukul 09.02, Zara pamit pulang.

Sebenarnya, Anya ingin mengantarkan Zara pulang, namun Zara tak mau merepotkan. Bilang, itu tak perlu, Zara bisa pulang jalan kaki. Lagian kan jarak antara rumah Anya dengan rumah Zara tak begitu jauh. Anya masih saja memaksa, namun demi melihat Zara yang benar-benar tak mau diantar, akhirnya Anya menyerah. Di sepanjang jalan, zara masih memikirkan banyak hal. Entah mengapa, ketika ia menatap langit gelap dengan awan tebal, Zara tersenyum-senyum sendiri. 

                     ********

     Pagi hari. Setelah Zara mandi dan make up, ia duduk di kasurnya. teringat kembali kalimat-kalimat Bu Andini semalam, tersenyum tipis. Entah mengapa hatinya terasa gembira dengan kalimat Bu Andini itu. Semalam ia sudah pikir matang-matang dan di pagi ini ia telah menemukan jawabannya. Pagi ini juga, ia harus pergi ke rumah Anya dan menyampaikan jawaban itu. Kalian tahu apa jawaban yang disiapkan oleh Zara? tentu saja Zara menyetujuinya. Itu kabar baik untuk Bu Andini dan tentunya Angga.

      Zara berhambur ke depan kaca. Menatap sebentar wajahnya, kemudian merapikan pakaian merah mudanya. la tak berhenti tersenyum melihat wajah cantik yang tak akan kalah anggun jika nanti bersanding dengan Angga di pelaminan. Fikirannya terus melayang-layang menembus semua resah kesah hatinya. Hari ini, ia lebih bersemangat. Beberapa saat kemudian, ia bangkit dengan wajah yang benar-benar cantik. Tak lupa, ia mengambil Sepatu dan membawanya. Dengan hati yang masih terasa riang gembira, ia melangkah pelan menghampiri pintu kamar, ingin segera pergi ke rumah Anya dan menyampaikan betapa ia sangat setuju dengan tawaran Bu Andini.

Namun, ia tertegun ketika tangan kanannya menyentuh gagang pintu. Di luar, terdengar suara teriak-teriak adu mulut. Suara-suara itu membuat rasa gembira hatinya berangsur menghilang dan akhirnya pergi setelah sepasang telinganya menangkap suara yang membuatnya harus berfikir keras.

"Tapi yaah...! seharusnya kan ayah tak segampang itu menyetujuinya. Itu sebenarnya sudah dapat dinalar, tak mungkin mau putri-putri ayah menikah dengan seorang laki-laki yang sudah berusia 53 tahun. Walaupun aku adalah anak yang tertua dan sudah berusia 27 tahun, aku tetap enggak sudi menikah dengan kakek-kakek! Balas budi itu enggak harus menuruti permintaannya. Hal lain masih banyak untuk membayar budinya!"

Zara menarik pelan tangan yang menyentuh gagang pintu. Perkataan kak Farah membuat hatinya berubah. la terdiam dan akhirnya berfikir. Mengapa ayah memaksa kak Fara menikah dengan lelaki yang sudah berusia 53 tahun? Mengapa ayahnya tega dengan kakaknya? Pertanyaan-pertanyaan mulai melayang-layang di dalam kepala Zara.

"Kalau kamu enggak mau dan semua putriku juga tak ada yang mau, lebih baik aku pergi dari rumah ini daripada harus menanggung malu! Dia sudah banyak sekali membantu kita dan tak pernah sekalipun kita balas membantunya! Keluarga macam apa kita ini! Ayah sangat kecewa dengan kalian!" Ando bersungguh-sungguh. Lelaki itu tak pernah main-main jika ia terlihat marah.

Pernah suatu ketika, ketika beliau marah dan mengancam akan pergi dari rumah, malam harinya, ia benar-benar pergi dari rumah. Zara yang akhirnya menemukan ayah dan membujuknya untuk kembali. Meski pada awalnya benar-benar tak mau, namun demi melihat Zara menangis, memohon, akhirnya ia kasihan dan menuruti permintaan putrinya.

"Ayah egois! Ayah hanya mementingkan kemauan ayah saja! Coba rasakan yah, rasakan jika ayah berada di posisi kami. Rasakan jika ayah disuruh menikah dengan lelaki yang jauh lebih tua dari kami. Apakah ayah akan senang menerimanya!?"

"Kamu juga egois! Kalau kamu berada di posisi ayah, tentu kamu tak akan ngomong begitu! Anak macam apa kau ini! Tak pernah patuh dengan ayahnya! Selalu mengecewakan! Sudahlah! Ayah pamit! Ayah akan pergi dan jangan harap ayah akan kembali! Buat apa tinggal bersama orang-orang yang selalu menyakiti hati orang tuanya!" Kata terakhir Ando, lantas mengambil jaket cokelat lusuhnya,melangkah menuju pintu rumah.

Zara tak akan membiarkan ayahnya pergi dari rumah untuk kesekian kalinya. Salah satu penyebab mengapa ia-ando- suka sekali pergi dari rumah adalah karena Fara. la anaknya yang suka sekali membuat hatinya bersedih dan kecewa. Sementar Zara, adalah anak perempuanya yang baik hati dan satu-satunya yang bisa menenangkan hatinya. Zara sangat menyayangi ayahnya. Ia tak akan rela jika ayahnya pergi. Tangannya tergenggam erat. la menata hati dan secepatnya mengambil sebuah keputusan.

Bersama hembusan nafas sesak, ia menarik kenopi pintu.

"Ayah jangan pergi. Biar Zara aja yang menikah dengan lelaki sahabat ayah itu." Perkataan itu mengalir begitu saja dari mulut Zara. Entah benar berasal dari hati atau hanya dari mulutnya saja.Yang jelas, ia tak mau kehilangan ayah. Kehilangan ibu sudah cukup membuatnya harus menderita. Apalagi juga kehilangan ayah. la benar-benar tak mau jika itu terjadi.

Fara terkejut mendengar ucapan adiknya. Bagaimana mungkin ia semudah itu menerimanya? "Tapi Zara!" Suara Fara tercekat, bingung dengan adiknya.

"Sudah enggak papa kak. Lagian kan itu buka sebuah keharaman. Zara enggak ingin ayah pergi tinggalkan kita lagi, kak. Zara enggak mau kehilangan ayah." Zara mendekati kakaknya dan berusaha menjelaskan maksud hatinya.

"Tapi Zar, kamu ini gadis cantik, mengapa harus mau menikah dengan kakek-kakek. Apa kamu juga sudah lupa denganAngga idamanmu itu. Jangan mengambil keputusan yang kamu sendiri tak yakin dengan keputusan itu. Jangan naif Zara! Aku yakin hatimu berat?!" Fara mencoba membujuk adiknya. la benar-benar tak rela dengan keputusan Zara.

"Sudah enggak papa, kak! Aku yakin, aku yakin seyakin-yakinnya dengan keputusanku untuk mempertahankan orang yang selama ini telah memelihara kita sejak kecil sendirian, tanpa ibu! Aku enggak mau kehilangan orang tua lagi, kak. Aku enggak ingin menyakiti hatinya, kak. Aku tak ingin." Zara keras kepala. Namun, ia berada di jalan yang terbaik dengan keputusannya.

Fara terdiam. Tak sepatah kata pun yang terfikir untuk diucap. Dan sedikit ada rasa bersalah dalam hatinya. Terlihat ia menghela nafas berat, menatap prihatin ke adiknya.

"Zara pamit dulu. Masih ada urusan yang harus kuselesaikan." Zara menghapus air mata. Menegarkan hati dan mencoba tersenyum.

Perlahan Zara menghampiri ayahnya, sejenak menatap wajah lelaki yang sudah mulai mengeriput itu dan akhirnya memeluknya. "Ayah jangan pergi. Zara sayang ayah. Apapun yang ayah inginkan, jika itu membuat hati ayah tak bersedih, akan Zara lakukan. Asalkan ayah tetap bersama kami." Zara tersedu di pelukan ayahnya.

Ando memeluk putrinya erat. Air matanya mengalir.

"Maafkan ayah, nak."

Zara hanya menganggukkan kepalanya berulang kali. Larut dalam isak tangisnya.

Zara pergi tinggalkan rumah beberapa saat setelah menenangkan hati ayahnya. Senyum palsu yang ia tampakkan didepan ayah dan kakanya sudah tak ada lagi. Yang ada sekarang hanya suara tangis yang tak tertahankan. Bukan menangis karena akan menikah dengan lelaki sahabat ayahnya dan akan meninggalkan lelaki yang dicintainya. Tapi ia menangisi hatinya yang tak bisa lapang saat menjalani takdir yang telah ditentukan oleh tuhan.

"Maafkan hambamu ini, Tuhan" Bersama kesiur angin, desisan pelan itu terlepas.

******

Lihat selengkapnya