Aku cuma punya satu kenangan bersama ayahku. Sayangnya itu kenangan buruk. Kenangan itu menentukan jalan hidupku; membuat aku trauma, membuat aku melakukan kesalahan demi kesalahan, membuat hidupku berada dalam pusaran tragedi, membuat aku tak bisa memaafkan diriku, dan membuat aku hidup dalam semesta derita. Kenangan itu membuat aku benci penolakan.
Aku lupa tepatnya, mungkin saat usiaku 4 atau 5 tahun, sore itu aku baru saja bangun tidur siang, saat keluar dari kamar, aku mendapati ibu sedang duduk bersama seorang wanita di ruang tengah. Ketika aku muncul dari balik pintu kamar, ibu dan wanita asing itu langsung menatapku. Ujuk-ujuk, wanita itu tersenyum, dia berdiri, langsung menghampiriku, memelukku erat, menciumku secara membabi buta, dan berkata, “Yatno! Apa kabar? Yatno sehat?” Wanita itu seolah-olah kerasukan setan gembira, wajahnya semringah, bahagia, dan dia mengguncang-guncangkan tubuhku. Dia bersemangat sekali.
Aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Dekapan wanita asing itu erat sekali, seolah mencekikku, membuatku sulit bernapas. Aku terkejut bukan main, tubuhku kehilangan keseimbangan. Aku buru-buru meraih gagang pintu supaya tak roboh.
Lantaran bingung, aku sempat menatap ibu yang masih duduk di kursi ruang tengah. Muka ibu keras melihatku dipeluk dan dicium wanita asing itu, dari matanya saja dapat kurasakan amarah ibu melihat cara wanita asing memperlakukanku.
Wanita asing itu tak berhenti berkata, dia terus-terusan bertanya, “Yatno apa kabar? Yatno sehat? Yatno baik-baik saja, kan? Apa Yatno—.”
“Yatno, pergilah bermain! Pulanglah sebelum gelap!” Tiba-tiba, ibu langsung memotong ucapan wanita asing itu dengan bentakan.
Wanita asing itu menatap ibu dan tak berkata lagi.
Aku mengangguk pada perintah ibu, melepaskan tanganku dari gagang pintu, lalu berusaha melepaskan pelukan wanita asing itu. Sekian detik, aku sempat menatap wanita asing di hadapanku, air mukanya berubah sejak ibu memotong ucapannya. Senyum di atas bibirnya sudah pudar, kegembiraannya lenyap, wajahnya muram seketika. Namun, wajah muram wanita asing itu tak jadi pokok penasaranku, sebab aku sempat tertegun untuk sesaat, wajah wanita itu rasanya tak asing, aku merasa pernah bertemu dengannya. Yang paling kuingat dari potongan wajahnya adalah tahi lalat di ujung alis kirinya, kecil sekali, bahkan tahi lalat itu tak akan terlihat jika tak diperhatikan benar-benar, lebih-lebih karena warna hitam tahi lalat itu menyaru warna alis. Tahi lalat itu baru nyata terlihat ketika mata kita berada sesenti dari mata si empunya.
Aku menatap ibuku yang ada di kursi lalu menatap wanita asing itu, lalu menatap ibu lagi, lalu menatap wanita itu sekali lagi. Aku heran, wanita asing itu mirip ibuku.
Aku dan wanita asing itu tak pernah bertemu lagi sampai dia mati, tapi wajah wanita asing itu abadi di dalam ingatanku, sebab dia benar-benar mirip dengan ibu, dan tahi lalat kecil itu entah mengapa terpaku sebagai kenangan dalam ingatanku. Aku juga tak bisa lupa bahwa mata wanita asing itu berair ketika aku meninggalkannya bersama ibu di ruang tengah.
Saat melintasi teras, aku menemukan seorang pria sedang duduk di bangku dekat jendela. Layaknya anak kecil melihat orang asing di rumahnya, aku berhenti untuk mengamati pria itu. Rasa penasaranku semakin menjadi setelah melihat ada tato di lengan pria itu.
Pria itu membalas tatapanku tapi ia tak menunjukkan ekspresi sama sekali.
Aku berdiri, pria itu duduk di kursi; kami saling tatap dalam diam. Dalam ingatanku, wajah pria itu dipenuhi kumis dan janggut tipis; kulitnya coklat kehitaman, hidungnya besar, dan rahangnya besar. Pria itu mengenakan celana loreng aparat pendek dan kaus abu-abu tanpa lengan. Saat menatapku, rahang pria itu membatu, tatapannya tajam dan sinis, kelihatannya ia sedang marah. Tato laba-laba yang memenuhi lengan kirinya membuat ia terlihat semakin menyeramkan. Aku membenci tato sejak saat itu.
Tanpa kusadari, wanita asing yang mirip ibu sudah berdiri di sampingku lagi dan memegang pundakku, dia sengaja menyusulku ke teras, meninggalkan ibuku di ruang tengah. “Yatno, salam!” perintah wanita asing itu.
Awalnya aku takut, tapi akhirnya aku melangkah maju perlahan-lahan.