Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #6

aku dan lagu

Beberapa hari setelah pertemuan pertamaku dengan Andi, suatu sore kawanku Pije menghampiriku dengan senyum tak berputus. “No, nanti sore mau, tak, kita pergi ke tempat adu ayam si Koh yang baru? Tempat itu buka hari ini!”

“Tempatnya di mana?”

“Di belakang pulau. Semua laki-laki pergi ke sana, No, seperti waktu itu. Kau tahu, tak? Hari ini, saudara-saudara Cina si Koh dari pulau sebelah akan datang, ada juga yang datang dari kabupaten. Pasti ramai sekali, No.”

Aku termenung sesaat. “Aku takut ibuku tak mengizinkan. Ibuku harus bekerja nanti malam. Kalau aku terlambat pulang, bagaimana?”

“Tidak perlu izin. Aku saja tak izin pada ibuku. Lagi pula, No, dego-dego pasti sepi nanti sore. Beberapa hari lalu waktu pertandingan kekerabatan saja ramainya bukan main, No. Kau rugi kalau tak pergi.”

“Aku harus minta izin dulu. Aku takut dimarahi ibuku.”

“Ya, sudah. Sekarang kau pulang! Minta izin! Tapi jangan sebut namaku, aku takut ikut dimarahi ibumu. Jangan lama! Kalau kau kembali ke sini dan aku sudah tak ada artinya aku pergi tanpa kau, No.”

Aku mengangguk dan langsung melenggang ke rumah menemui ibu. Cukup lama aku mondar-mandir di dapur mengumpulkan keberanianku untuk minta izin. Sayangnya, saat aku berani bicara, terkaanku kenyataan. Ibu marah. “Mau apa kau pergi ke sana? Tempat itu isinya orang dewasa. Tidak boleh!” Ibu membentakku.

Aku langsung lari ke kamar, membenamkan kepala ke dalam bantal, dan menangis. Dalam tangis itu, aku berjanji pada diriku untuk pergi ke tempat adu ayam bersama Pije saat aku sudah cukup besar nanti. Kalau nanti aku minta izin dan ibu marah lagi, maka aku akan pergi diam-diam.

Aku menangis cukup lama. Sampai kemudian pikiranku mulai membayangkan masa depan andaikata aku dan Pije bisa pergi ke tempat adu ayam itu. Kami akan tertawa-tawa di sepanjang jalan ke belakang pulau, kami akan berteriak bersama puluhan orang dewasa ketika seekor ayam terbang dan mencakar ayam lain, dan kami akan pulang beriringan ketika warna langit menjadi oranye, sisa lembaran cahaya matahari yang sudah sangat tua sedang memenuhi kaki langit ujung barat.

Membayangkan pergi ke tempat adu ayam bersama Pije pada masa depan saja, air mataku berhenti mengalir dan aku tersenyum.

Bertahun-tahun kemudian, tempat adu ayam itu menjadi legenda dan kenangan manis untuk orang Tatara. Saat dewasa aku pernah diwawancarai oleh wartawan televisi yang datang ke Tatara untuk membuat sebuah film dokumenter tentang sejarah perjudian di Tatara. Tempat adu ayam milik Koh yang baik hati itu adalah tempat judi ‘resmi’ pertama di Tatara sebelum tempat-tempat judi lain menjamur dan Tatara mendapat julukan Mini Makau.

“No, pergilah bermain!”

Aku seketika tersadar dari lamunanku.

Kutengok asal suara, ibu sudah berdiri di ambang pintu kamarku.

Aku bangkit, menyeka ujung mataku yang berair dan menghampiri ibu.

“Pulanglah sebelum gelap!” Suara ibu sangat lembut. Mungkin dia merasa bersalah karena telah membentakku.

Kuturuti perintah ibu meski aku tak tahu harus bermain ke mana. Pije pasti sudah pergi dan dego-dego pasti sepi. Tapi akhirnya kuputuskan tetap pergi ke dego-dego, dan berharap akan bertemu Andi di sana, ia pernah bilang bahwa ia tak suka adu ayam. Setelah pertemuan pertamaku dengan Andi di dego-dego, kami bertemu hampir setiap hari, dan hubungan kami pun akhirnya seperti kakak-adik.

Dan benar, dego-dego sangat sepi ketika aku tiba sehingga puluhan menit kemudian kuhabiskan seorang diri, celingak-celinguk memandang sekeliling; sekitaranku terlihat seperti kampung mati, jalan dan gang-gang di sekitar dego-dego kosong melompong, hening pening, tak ada seorang manusia pun di sekitar situ, mungkin saja ibu-ibu pun turut pergi ke tempat adu ayam. Bahkan tokonya Koh di seberang jalan yang tak pernah sepi itu juga tutup; tak terlihat karung beras atau terigu di emperan toko seperti biasanya. Cik Eda pasti ikut pergi ke pembukaan tempat adu ayam suaminya sehingga toko mereka harus tutup.

Aku mengamati suasana mati di sekitarku dengan cermat, sampai plang yang digantung pada sebuah tiang di depan tokonya Koh pun menarik perhatianku, di sana tertulis tiga kata yang sulit kubaca saat itu. Walaupun aku belum sekolah, Pije, Andi, dan kadang-kadang ibu sudah mengenalkan huruf kepadaku. Sambil mengingat nama huruf-huruf itu, aku mengejanya: “U-D K-a-w-a-n B-e-r-s-a-”. Sedang asyik-asyiknya aku mengeja dan menebak-nebak bunyi dari gabungan huruf-huruf itu, tiba-tiba pintu toko di bawah plang itu terbuka, Andi muncul dari pintu itu, mata kami bertemu, Andi tersenyum dan langsung menyeberang menghampiriku.

“Dari tadi, No?”

“Saya.”

“Tak pergi nonton adu ayam?” Ia duduk di sampingku.

“Ibu marah.”

Lihat selengkapnya