Kegiatan belajar gitarku dengan Andi berlangsung setiap hari di rumahku, Andi biasanya datang pada jam 4 sore dan baru pulang kira-kira jam 7 malam atau ketika ibu pergi kerja. Porsi latihanku selalu dibuka dengan senam jari; belajar kunci dan pasangannya; kemudian ditutup dengan latihan kepekaan telinga, yaitu ketika Andi memainkan kunci atau nada tertentu untuk kutebak. Setiap kali aku berhasil menebak Andi pasti bilang, “Telingamu bagus, No. Kau tak buta nada.” Dan ibu sangat gembira setiap kali mendengar Andi memuji kepekaan telingaku.
Setelah aku cukup mahir memainkan beberapa kunci, Andi akhirnya mengajariku lagu. Titip Rindu Buat Ayah adalah lagu pertama yang diajarkan Andi, dan lagu itu pula yang membuatku mengesankan Andi sebagai ayahku.
Latihan gitar bersama Andi kulalui dengan gembira dan bersemangat. Seberapa lama pun bersama gitar dan Andi selalu terasa singkat untukku; sampai-sampai aku mulai melupakan sekolah, keinginanku untuk masuk SD perlahan-lahan terkikis dengan bunyi petikan gitar Andi yang teramat sedap mengiang di telinga. Lagi pula, usiaku saat itu sudah 8 tahun, sudah sangat terlambat untuk masuk SD. Ibu pun kukira tak akan menyekolahkanku sehingga lebih baik aku tekun saja bermain gitar seperti Andi. Akan tetapi, sedang-sedangnya aku tergila-gila pada musik dan gitar, aku mendengar ibu bicara tentang sekolahku.
Pada suatu sore, Om Toto datang ke rumah dan langsung masuk ke kamar ibu seperti biasanya. Om Toto adalah salah satu dari sedikit ‘langganan’ yang ibu terima di rumah, bukan di kontainer.
Sore itu, setelah urusan mereka selesai, ibu lebih dulu keluar dari kamar dengan hanya berdaster dan langsung menuju dapur untuk bikin teh. Tak lama Om Toto muncul dari dalam kamar bertelanjang dada. Ketika berpapasan denganku di ruang tengah beliau sempat tersenyum, kemudian menyusul ibu ke dapur. Kebiasaan mereka sesudah dari kamar adalah minum teh berdua sambil mengobrol macam sebelum Om Toto pamit. Karena ruang tengah dan dapur hanya terhalang dinding kayu, aku kadang menguping pembicaraan mereka, dan sore itu pembicaraan mereka tentang sekolahku.
“Yatno itu usianya berapa?”
“Delapan, Mas Toto.”
“Sekarang ia kelas tiga?”
“Yatno belum sekolah.”
“Mengapa belum kau sekolahkan? Kau tak mau menyekolahkannya?”
Ibu diam cukup lama, “Bukan begitu. Saya ingin sekali ia sekolah tapi ...,” selanjutnya ibu bercerita tentang ketakutannya bila di sekolah nanti aku cuma jadi bahan hinaan anak-anak lain lantaran statusku sebagai anak sundal. Karena itu, rencana ibu, aku baru akan masuk SD ketika berusia 10 tahun supaya tak ada teman sebaya di kelasku, supaya tak ada yang berani menghinaku. Ibu juga bercerita kepada Om Toto bahwa dia sempat berpikir untuk menyekolahkanku ke kabupaten saja seperti anak-anak sundal lain, katanya di kabupaten aku bisa tinggal bersama Tante Ira, teman lama ibu yang dulunya juga seorang sundal di Tatara. “... Tapi saya tak ingin Yatno hidup dengan orang lain. Saya takut,” itu kata-kata ibu yang paling kuingat.
Aku paham maksud ibu, memang kebanyakan sejawat ibu menyekolahkan anaknya di luar Pulau Tatara. Pada usia 5 atau 6 tahun, kebanyakan anak yang lahir dari rahim wanita sundal pasti dipindahkan ke tempat asal sang ibu atau sang ayah, atau sekalian ke kabupaten untuk mulai bersekolah. Itu yang menyebabkan aku tak punya banyak kawan bermain, mengingat sebayaku yang bukan anak sundal emoh bermain denganku. Kecuali, Pije.
“Sebentar lagi tahun ajar baru dimulai, sekolahkan saja Yatno di sini, tidak perlu kau pikirkan omongan orang lain. Begini saja, anak perempuan saya masuk sekolah tahun ini. Nanti saya pesankan untuk berkawan dengan Yatno,” kata Om Toto.
“Terima kasih, Mas Toto. Tapi, anaknya Eda juga masuk sekolah tahun ini. Itu yang paling saya takutkan.”
“Kau tak perlu takut. Yatno itu memang pendiam, tapi ia laki-laki. Saya yakin ia bisa membela diri. Nanti saya daftarkan nama Yatno.”
Ibu tak menjawab lagi.
Dalam ingatanku, kelihatannya orang yang paling ibu hormati adalah Om Toto. Ibu tak pernah membantah atau bicara sinis kepada beliau. Apa yang beliau sarankan, pasti ibu laksanakan. Aku tak tahu apakah ibu mencintai beliau atau tidak, tapi hubungan mereka masa itu terlihat seperti suami-istri. Hanya Om Toto yang selalu ibu bikinkan teh atau makanan sesudah urusan kamar selesai. Om Toto pun tak seperti tamu ibu yang lain, yang selalu sembunyi-sembunyi ketika masuk dan keluar dari rumah kami, Om Toto selalu datang dan pulang lewat pintu depan tanpa sungkan, tanpa peduli omongan orang tentangnya yang suka datang ke rumah seorang sundal. Satu lagi, cuma Om Toto yang ibu panggil ‘Mas’ saat bercakap-cakap. Tamu yang lain biasa ibu panggil ‘Sayang’, sapaan khas wanita sundal pada tamunya.
O, ya, Om Toto adalah seorang duda beranak satu. Karenanya, aku pernah menuntut kepada-Nya agar Om Toto menjadi ayahku, sayangnya, tak pernah ada putusan dari Yang Di Atas mengenai tuntutan itu, meski beberapa kali pledoi—berisi melaratnya hidupku dan aku butuh sejumput kebahagiaan—sudah kukirim lewat doa.
Setelah Om Toto pulang dari rumah kami malam itu, aku langsung menghampiri ibu di dapur untuk kami makan berdua. Selama duduk berhadapan denganku di meja makan kayu itu, ibu tak bicara, tak ada percakapan tentang lagu-lagu atau pelajaran gitarku seperti biasanya. Selama itu, aku terus-terusan menunduk, perhatianku terpaku nasi dan ikan goreng di piring ibu.
Saat piring ibu sudah bersih—tersisa tulang ikan serta beberapa butir nasi lagi—dan ibu hendak berdiri, aku menghentikannya, “Ibu!”
Ibu berdiri, mematung menatapku.
Sama sekali aku tak berani mengangkat muka, kerlingan mataku yang mengawasi gerak ibu. “Saya ingin sekolah,” kataku ragu-ragu.
“Tapi, No. Ibu rasa—.”
Sebelum ibu meneruskan, aku memotong, “Nanti Andi yang antar saya ke sekolah. Cik Eda akrab dengan Andi. Cik Eda tak akan marah pada saya, tak akan hina saya. Saya ingin sekolah, Ibu.” Kata-kataku keluar dari mulut selekas kilat karena takut dimarahi.
Saat itu aku berdusta, keinginanku untuk sekolah sudah tak ada lagi, tapi karena aku tahu ibu ingin aku sekolah, maka aku mau menyenangkan hatinya.
Ibu tak menjawabku, dia langsung menuju tempat cuci piring di belakang rumah.
Esoknya saat Andi datang ke rumah untuk memberi pelajaran gitar. Ibu berkata kepadaku, “Yatno, sebelum kalian mulai, ibu mau bicara dulu dengan Andi. Kau tunggu di teras dan jangan menguping pembicaraan orang dewasa!”
Aku patuh.
Pendek kata, tiga minggu setelah ibu dan Andi mengobrol, aku akhirnya bisa sekolah. Ibu membelikan dua pasang baju seragam untukku, dua buku tulis, satu pensil, dan satu sempoa plastik yang kuminta. Kata Pije, pada saatnya para siswa akan diminta membawa sempoa.
Sehari sebelum hari aku masuk sekolah untuk pertama kalinya, malam itu ibu tak pergi kerja. Esok paginya, aku dibangunkan jam 5 pagi, dibikinkan air panas oleh ibu, dan mandi sekitar jam setengah 6 pagi. Tepat jam 6 pagi, Andi muncul di rumahku. Andi berkemeja dan rambut panjangnya diikat. Meski cuma bersandal, Andi rapi sekali pagi itu.
Tengah-tengah kami bertiga minum teh di meja makan kayu, ibu berkata, “Andi, kau bisa berdoa?”
“Be ... Berdoa?” Andi terkejut ditodong seperti itu.
“Berdoalah untuk sekolah Yatno hari ini.”
“Saya tak bisa, Bunda. Agama saya beda,” kata Andi, coba berdusta.
“Jangan berdusta! Agama kita sama.” Ibu terus mendesak.
“Saya tidak pernah berdoa, Bunda,” kata Andi.
“Ya sudah, tutup mata! Masing-masing berdoa dalam hati!” perintah ibu.
“Mengapa bukan ibu saja yang berdoa untuk saya?” Kataku.
“Tutup matamu, No! Berdoa dalam hati saja. Berdoalah supaya hari ini kau baik-baik saja di sekolah.”
Kami bertiga tutup mata, dan hening seketika.
Saat itu aku tak tahu sama sekali cara berdoa. Ibu tak pernah mengajariku tentang agama, dan aku juga tak pernah lihat ibu pergi ke rumah ibadah. Tapi, aku ingat Pije, ia pernah bilang, “Tuhan itu baik, kalau kau berdoa, anggap saja Ia ada di hadapanmu, bilang saja apa yang kau mau, nanti diberi.”
Berdasarkan omongan Pije, aku berkata dalam hati, “Tuhan, buatlah Cik Eda mati hari ini supaya nanti aku tak bertemu dengannya di sekolah.” Itu isi dan mau hatiku.
Sesudah berdoa, ibu menyertai aku dan Andi sampai di teras, dan sebelum kami keluar dari teras, ibu berlutut di hadapanku lalu memegang kedua pundakku, “Hati-hati di sekolah, No. Sekolah yang benar supaya nanti bisa bawa ibu jalan-jalan naik kapal. Semoga kau jadi insinyur suatu saat nanti.” Karena wajah kami begitu dekatnya, aku dapat melihat setitik air di ujung mata ibu. Selama aku SD, ibu sering mengucapkan kata-kata itu kepadaku setiap pagi.
Aku dan Andi berangkat ke sekolah ketika matahari mulai merangkaki tangga langit. Kami jalan kaki bersisian keluar dari gang rumahku, sampai di perempatan dego-degosebelum kami belok kanan menuju selatan, para pemuda menyapa Andi, “Rapi sekali, Bos. Mau jadi camat?”
Andi hanya tertawa membalas mereka.
Sampai di perempatan berikutnya (perempatan Puskesmas) kami belok kanan lagi menuju timur, menyusuri Jalan Nasional.
Pada masa itu, Jalan Nasional adalah jalan paling ramai di Tatara di mana ada pasar (pusat kota), Toko Nasional (toko serbaguna terbesar di Tatara), Toko Wijaya Makmur (toko bangunan satu-satunya di Tatara), Puskesmas, dan Kantor Pos. Mentari pagi yang membalut kota Tatara menciptakan kemilaunya di sepanjang Jalan Nasional yang kami susuri. Seolah-olah memantul samar cahaya oranye pada kaca-kaca dan plang toko, pada atap-atap becak, pada atap-atap rumah, bahkan pada wajah-wajah ratusan manusia yang tampak di sepanjang jalan itu. Aku sampai harus menaruh telapak tangan kananku di dekat kening agar silau cahaya matahari tak membatasi pandang.