Kegiatan sehari-hariku berubah sejak aku masuk SD: pagi berangkat sekolah; siang sampai sore bermain dengan Pije atau nongkrong di dego-dego; dan malamnya aku tetap di rumah untuk belajar gitar dengan Andi—sejak sekolah aku hanya menjaga kontainer ibu setiap hari Jumat, Sabtu, dan Minggu saja, atau hari-hari ketika aku libur sekolah. Karena itu, kian hari kemampuan bermain gitarku kian membaik.
Jika Andi kebetulan datang ke rumahku sebelum matahari tenggelam, Andi kadang mengajakku pergi ke pelabuhan untuk menikmati sore. Di dekat tumpukan kontainer bekas, kami berdua duduk di sebuah bangku kayu. Jelas terlihat penampakan pelabuhan yang sibuk, dermaga dan kapal-kapal besinya yang terapung. Aku dan Andi kadang menyanyi, kadang bercakap-cakap, kadang melakukan entah sambil menunggu langit petang yang meremang sekaligus menikmati sepoi angin sore mengelus lembut wajah kami. Kenangan itu terpaku erat dalam kepalaku.
Pada saat-saat di dermaga itu, Andi sempat menciptakan sebuah lagu, katanya, “Ini tentang seseorang yang kucintai, No.” Syair yang Andi tulis itu masih kuingat persis:
Rintik sepi ini menghitung detik sebelum pagi
Sebelum kuungkap isi hati kepadamu juwita
Barangkali kau ragu, tapi sudah kuuji
Ampas waktu telah bicara
Cinta dan waktu tak perlu kata
Cinta dan waktu perlu kita
Senja di dekat dermaga
Kita berdua
Telah cukup jadi bukti
Aku pergi
Satu yang tak kukira, baru kemudian jelas, syair itu ternyata dituliskannya untuk seorang yang kubenci.
Tiap pagi ke sekolah dengan Pije, menghabiskan waktu dengan Andi, dan mendengarkan grup musik kegemaranku—Black Sweet—dari salon lalu mempelajari lagu-lagu mereka bisa kusebut sebagai salah satu periode paling indah dalam hidupku. Malang nasibku, masa-masa indah itu berlangsung sebentar saja.
Beberapa bulan setelah aku mulai sekolah, sesuatu terjadi pada suatu Sabtu malam ketika aku menyertai ibu ke tempat kerjanya.
*