Kepergian Andi yang tiba-tiba sempat membuat aku bingung, seolah-olah aku kehilangan ayah dan kakak pada saat yang sama, rasa-rasanya ada lubang menganga dalam hidupku tanpa Andi.
Tanpa menyinggung pertemuan terakhirku dengan Andi, aku sempat bertanya kepada ibu tentang Andi. Ibu menjawabku, “Andi itu orang baik, tapi jangan sebut nama Andi lagi!” Aku tak terus bertanya mengapa dan tak pernah menyebut nama Andi lagi setelahnya di depan ibu.
Hidup terasa amat membosankan ketika itu, sebab selama beberapa saat setelah kematian Koh—yang dipercaya dimatikan maling, para orang tua sempat melarang bocah-bocah di Tatara untuk keluar rumah. Saat itu muncul desas-desus bahwa selain maling, para penculik bocah pun sedang berkeliaran di Tatara. Karena itu, aku jarang pergi ke dego-dego lagi, bahkan aku jarang keluar rumah kecuali saat pergi ke sekolah. Jadinya, aku jarang bertemu Pije.
Selama beberapa minggu di rumah tanpa Andi membuat semangat bermain gitarku sempat mengendur, yang kulakukan hanya memandangi gitar miliknya yang ia titipkan di rumahku saat pelajaran gitar terakhir dan tak sempat ia bawa. Gitar itu kupandangi saja tanpa niat menyentuhnya. Bila kurenungkan lagi, aku sadar, mimpi atau hasrat akan sesuatu di masa datang bisa saja layu jika digantung pada apa yang ada di luar. Tapi, semesta kadang baik, kala mimpi itu memasuki musim kemarau, ada saatnya semesta turut bekerja untuk memekarkan lagi hasrat itu.
Andi menghilang berarti pemain gitar di dego-dego tinggal aku seorang, dan karena aku sudah tak muncul selama beberapa hari di dego-dego, suatu sore Om Nus datang ke rumah. Om Nus adalah seorang gali atau preman pelabuhan yang tinggal di sekitar dego-dego dan menjadi penunggu tetap di sana. Om Nus adalah seorang ‘banci suara’, suka sekali menyanyi di depan orang meski suaranya jauh dari pas-pasan. Biasanya jika ada Om Nus di dego-dego maka hanya ialah yang akan punya kesempatan bernyanyi dengan iringan gitar, penunggu lain baru boleh bernyanyi ketika ia penat. Hanya satu orang yang bisa melawan Om Nus, ialah Om Sefnat. Kuceritakan kemudian soal dua gali pelabuhan itu.
Suatu sore Om Nus datang ke rumah. “Boy, ayo ikut aku ke dego-dego! Sudah tak ada lagi orang yang mahir main gitar.”
“Aku takut dimarahi ibu, Om.”
“Mana ibumu?” Kata Om Nus, santai, ia memang cukup akrab dengan ibuku.
Setelah Om Nus bicara dengan ibu, aku diizinkan. Sejak saat itu Om Nus akrab denganku. Sejak saat itu pula kedatanganku di dego-dego selalu dinanti para penunggu. Aku dipuja-puja dan diperlakukan bak raja karena gitar. Kepergian Andi membuat aku jenuh pada musik, tapi kerja semesta membuat aku sadar, saat itu aku merasa musik adalah panggilan hidupku.
Hasratku pada musik memang mekar lagi. Sayangnya, untuk kedua kalinya aku menggantungkannya pada sesuatu yang ada di luar diriku. Dan ketika musim kemarau hasrat datang, aku jenuh lagi, sebab hasrat bermusikku muncul hanya karena aku ingin dipuja-puja. Aku menggantungkan mimpiku pada sesuatu yang ada di luar untuk kedua kalinya. Dan, semesta tak lagi membantuku, malah semesta yang turut mengubur mimpiku.
*
Setelah desas-desus penculik anak hilang dan Pije sudah boleh berkeliaran lagi, ia terheran-heran melihat cara para penunggu memperlakukanku. Setiap kali aku muncul di dego-dego, semua orang pasti menyapaku, “No, dari mana?” Aku seorang saja yang dibegitukan, Pije yang bersamaku didiamkan.
Melihatku punya reputasi di kalangan para lelaki dego-dego, Pije kelihatannya cemburu. Suatu ketika, ia berkata kepadaku, “No, ajari aku main gitar. Bisa?”
“Bisa. Mengapa kau ingin main gitar?”
“Aku cuma ingin saja, No.”
Aku tahu Pije berdusta. Pije adalah bocah yang tak pernah ingin disebut bocah, ia selalu menganggap dirinya orang dewasa. Sudah kuceritakan bahwa hobinya pada masa kecil kami adalah bergabung dengan kerumunan orang dewasa yang sedang bercakap-cakap, dan setiap ada gosip hangat di kalangan para pemuda dan bapak-bapak yang ia dengar, ia selalu menceritakan ulang kepadaku.
Aku tahu, Pije ingin belajar bermain gitar agar diterima sebagai orang dewasa di dego-dego. Tapi, setelah beberapa minggu mengajari Pije, aku bertanya-tanya, apakah aku guru yang buruk atau Pije murid yang buruk? Jawabannya kemudian, seiring waktu berjalan, setelah berbulan-bulan kami latihan dan kemampuan Pije begitu-begitu saja, maka aku mengambil kesimpulan: Pije murid gitar yang buruk. Kalau Andi menyebutku ‘peka nada’, mungkin Pije sebaliknya, ‘buta nada’.
Pije memang tak berjodoh dengan gitar dan musik. Akan tetapi, Pije adalah salah satu manusia paling cerdas yang pernah kutemui. Ia tahu lebih banyak dariku. Tak hanya soal sekolah, tapi soal apa pun di Tatara. Dan semakin ia bertambah umur, semakin pengetahuannya bertambah luas. Aku yakin, jika Nusantara Timur merdeka dan semesta menghendakinya, Pije sangat layak menjadi salah satu pemimpin kami.
*
Karena Andi, aku menyukai suasana sore di pelabuhan, bertahun-tahun setelah kepergiannya pun aku masih sering pergi ke dekat dermaga untuk menikmati sepoi angin sore dan kerja langit meremangi diri seperti yang dulu sering kulakukan bersama Andi.
Pije adalah pengganti Andi, setiap kali aku ingin pergi ke pelabuhan pada sore hari, aku selalu mengajak Pije. Jika aku bersama Andi, Andi-lah yang bermain gitar, maka ketika aku bersama Pije, akulah yang bermain gitar.
Pije sangat menyukai Ebiet G. Ade, dan lagu kegemarannya adalah Nyanyian Rindu. Ketika bersamaku di mana pun, kapan pun, ketika aku sedang memegang gitar maka Pije pasti memintaku menyanyikan lagu itu.
Suatu waktu pada usia kami sekitar 11 tahun, ketika kami berdua duduk di pelabuhan sampai hari sudah benar-benar gelap, Pije meminta aku menyanyikan lagu Nyanyian Rindu untuk kesekian kalinya. Namun, saat itu tak segera kuturuti. “Mengapa kau suka sekali lagu itu?” Aku bertanya lebih dulu.
Pije diam cukup lama, tatapannya terpusat pada titik cahaya kerlap-kerlip di pulau seberang. “Aku suka syairnya.”
Aku mengangguk dan mulai memetik gitar.
Pije berkata lagi, “Lagu itu—.” Ucapannya sengaja tak ia teruskan.
Aku berhenti memetik gitarku dan menatapnya, menunggu Pije meneruskan ucapannya.
Tatapan Pije telah berpindah, ke atas menuju langit, pada bintang-bintang yang mulai berpijar dan bulan sabit yang menampakkan diri di ujung langit biru kehitaman di atas kami. Tiba-tiba, Pije bicara, “Lagu itu membuat aku ingat pada Iyin. Syairnya, kapan lagi kita akan bertemu? Meski hanya sekilas kau tersenyum, selalu mengingatkanku pada Iyin. Aku menyukai Ririn, No.” Pije lalu mencurahkan isi hatinya kepadaku, tentang Ririn seorang.
Selama Pije bercerita, aku terkesima, aku terkejut, bukan karena tahu Pije menyukai Ririn, kalau soal itu semua orang pun tahu. Tapi, yang mengejutkanku adalah betapa perasaan Pije yang sebegitu dalamnya pada Ririn diutarakan dengan bahasa yang terlampau dalam pula. Sebagai bocah, sulit kucerna apa yang ia maksud saat itu, tapi aku mengerti. Aku mengerti sebab malam itu matanya berair kala bercerita kepadaku, dan pada matanya yang berkaca-kaca itu memantul sinar bulan, seperti sinar itu menghampar di atas hitamnya air laut di hadapan kami. Melihat kawanku begitu, aku sebagai bocah lebih-lebih terkesimanya. Terkesima. Terkesima. Pada saat yang sama, perasaanku pun melebur bersama suasana saat itu. Aku mendadak syahdu selama Pije bercerita.
“Aku mungkin mencintai Iyin, No,” itu kata penutup Pije setelah bicara panjang lebar. Dan itu kali pertama aku mendengar seseorang berkata bahwa ia mencintai seorang lain. Dan sampai detik ini, aku masih tak habis pikir Pije bisa mengikat kalimat-kalimat indah yang menyedapkan telinga. Kalau aku tak keliru, mungkin seperti sekumpulan puisi penyair yang menganggap diri mereka ‘elit’, indah bunyinya, tak kumengerti isinya.
Aku tak ingat lagi kata-kata Pije yang indah itu, yang pasti, aku masih bisa merasakan getarannya setiap kali melihat cahaya bulan dan aku seolah-olah kembali pada kenangan malam itu. Seseorang pernah berkata kepadaku, “Di hadapan emosi, kata-kata tak ada artinya. Kata-kata itu cuma sekumpulan aksara perantara makna, paling jauh bunyinya bisa menyedapkan telinga jika ditaruh sedikit rima di ujungnya. Tanpa emosi, makna dalam kata tak berdaya guna. Dengan emosi, makna dalam kata hidup selamanya.”
*
Ada banyak sekali kenangan sore hariku bersama Pije di kawasan pelabuhan. Kami membicarakan banyak sekali hal, dan pada saat-saat itulah Pije mendoktrinku agar aku membenci Negara Nusantara. Pije yang lebih banyak bicara karena ialah yang paling berpengetahuan, ia bisa bicara apa saja, dari nama-nama ikan, mengapa semakin hari semakin banyak tentara di Tatara, sampai hal-hal yang sebenarnya tak berguna bagi bocah seperti kami—misalnya rute perjalanan dari Tatara ke Pulau Besar.
“Kapal-kapal besi yang ada di sini semuanya kapal barang, No, jadi kalau kau mau ke Pulau Besar, terlebih dahulu kau harus naik kapal kayu dari sini ke kabupaten. Kapal-kapal itu biasanya datang setiap hari Selasa, Kamis, Sabtu, dan Minggu. Perjalanannya 4 jam sampai ke kabupaten. Di kabupaten Kina-Iho, kau harus naik KM Sirip Samudera, jadwal berangkatnya itu cuma setiap hari Rabu dan Jumat. Kalau berangkat kau harus hati-hati dan waspada, banyak sekali orang jahat yang suka mencuri barang-barang di atas kapal. KM Sirip Samudera itu nanti berkeliling dulu, ke Provinsi dulu, ke beberapa kabupaten dulu, baru nanti ke Pulau Besar. Perjalanannya 7 hari baru kau tiba di Pulau Besar, No.”
“Kau pernah ke Pulau Besar?”
“Belum,” kata Pije. Jelas, semua informasi itu adalah hasil menguping percakapan orang dewasa di dego-dego.
Terlalu Banyak hal yang kami bicarakan untuk kutuliskan di sini. Lebih-lebih, Pije kadang terlalu banyak bicara, dan aku bosan mendengarkannya. Namun, tak kusangka semua yang Pije bicarakan saat itu sangat berguna untukku pada masa datang.
*
Jika di lingkungan rumah aku menghabiskan waktu hanya bersama Pije, di sekolah kami berdua bergaul dengan Ririn dan kawan-kawannya. Berkat Ririn-lah aku bisa diterima beberapa bocah perempuan di SD. Aku dan Pije tak bergaul dengan bocah lelaki lain di sekolah sebab aku tak diterima oleh mereka sehingga Pije pun terpaksa tak bergaul dengan mereka. Aku pernah bilang kepada Pije, “Kalau kau ingin main bola kaki di lapangan sekolah bersama bocah-bocah lain, bermain saja! Aku masih bisa bermain dengan Iyin dan kawan-kawannya.”
Pije malah menjawab, “Aku tak mau main bola kaki. Aku tak ingin kakiku berdebu, dan aku akan dimarahi ibuku kalau pulang sekolah dan seragamku seperti babi.” Pije berdusta. Aku tahu alasannya bukan itu, ia tak mau bermain bola kaki bersama kawan-kawan lain karena tak ikhlas meninggalkanku, dan tentu, karena ia ingin selalu bersama Ririn. Cuma di sekolah ia bisa dekat-dekat Iyin.
Akhirnya, aku dan Pije hanya bisa melihat bocah-bocah lain bermain bola kaki di lapangan sekolah. Kadang, aku dan Pije malah ikut dalam permainan bola tangan bersama Ririn dan kawan-kawannya.
Pendek kata, di lingkungan rumah kami menjadi lelaki, di sekolah kami menjadi perempuan.
Pije adalah seorang yang sangat setia kawan. Ada satu peristiwa yang dapat membuktikannya. Peristiwa itu terjadi pada hari Sabtu, saat kami datang ke sekolah hanya untuk berolahraga dan bermain. Saat itu, di lapangan sekolah, para bocah lelaki sedang main bola kaki. Pada saat yang sama, para anak perempuan—termasuk aku dan Pije—bermain bola tangan di sebagian kecil lapangan, persis di sudut lapangan tempat para bocah lelaki main bola kaki; wilayah permainan kami masing-masing hanya dipisahkan sebuah garis. Dan jika ada anak perempuan yang masuk ke lapangan bocah lelaki, maka pasti ada yang berteriak dan menyuruh cepat-cepat keluar dari sana.
Saat bola tangan kami tak sengaja masuk ke dalam wilayah laki-laki, aku dengan segera berlari untuk mengambilnya, dan dengan tergesa-gesa keluar dari sana sebelum diteriaki. Namun, karena bola kami terlalu sering masuk ke dalam lapangan mereka sehingga aku sering masuk ke lapangan mereka, tiba-tiba, ada yang berteriak dengan kesal, “Oi, Sundal, jangan masuk ke lapangan!” Kutatap bocah yang berteriak, itu Toni, anak kelas 6 gendut yang berat badannya mungkin setara gabungan berat badan aku dan Pije. Toni adalah seseorang yang paling ditakuti di SD kami.
Tak kusangka, setelah Toni berteriak, Pije berlari ke arah Toni dan langsung mendorongnya.
Toni tersungkur.
“Mau apa kau?” Kata Pije menantang Toni yang terbaring di lapangan.