Setelah kematian Pije, aku punya sahabat baru, namanya kesendirian. Hidupku jadi lebih sunyi, aku tak punya kawan sebaya lagi di lingkungan rumah.
Sore hari, sesekali aku tetap pergi ke dermaga. Jika sebelumnya bersama Andi, lalu bersama Pije, maka pada akhir masa SD-ku, aku seorang diri saja menunggu langit meremangi diri di dermaga. Aku selalu pulang sesudah gelap, dan setiap kali tampak bulan, aku selalu ingat Pije dan matanya yang berkaca-kaca.
Saat dewasa, aku sendiri pun agak sangsi jika mengingat masa-masa itu, bagaimana bisa bocah seumuranku saat itu bisa bersedih sedemikian, tapi itulah yang kurasakan, aku sangat terpukul ketika kehilangan Pije. Ia adalah satu-satunya kawan masa kecilku, dan setelah Pije aku tak pernah punya kawan dekat lagi.
Aku terus sekolah sampai lulus SD. Setiap pagi Pak Roni masih menjemputku untuk berangkat bersama seolah-olah Pije masih hidup.
Kerinduanku pada Pije sedikit terobati ketika aku diundang datang ke rumah Pije untuk membantu Pak Roni memangkas rumput atau mencuci motor, seolah-olah Pije masih hidup.
Setiap kali aku tiba di rumah Pije dan masih berdiri di ambang pintu, dan Pak Roni yang menyambutku, beliau selalu menyambutku dengan cara yang sama, “Dari mana, No? Sudah makan, No? Ayo makan, No!” Pak Roni masih bersikap seolah-olah Pije masih hidup. Dan itu memedihkan hati, bahkan untuk bocah seusiaku.
Ibu Ani berbeda, perubahan beliau jelas sekali. Beliau sangat-sangat terpukul, beliau jadi pemurung, beliau jarang makan, sakit lambung beliau jadi sering kambuh, dan semakin hari beliau semakin kurus. Aku kasihan melihat Ibu Ani yang mulia itu. Aku tahu beliau sangat kesepian dan sangat merindukan putranya, sebab beberapa kali beliau tak sengaja menyapaku ‘Dek’, panggilan sayangnya untuk Pije. Lebih-lebih, saat itu Kak Anita sudah pergi keluar Tatara untuk melanjutkan sekolah.
Pak Roni dan Ibu Ani terlihat senang sekali setiap kali aku berkunjung dan selalu menyerahkan uang kepadaku sebelum aku pulang, selalu, meski selalu juga kutolak.
Ibu Ani adalah juga seorang pengasuh di Sekolah Minggu (ibadah untuk para bocah), jadi tiap hari Minggu pagi beliau pasti mengajakku pergi bersamanya. Dan untuk menyenangkan hati beliau, aku dengan senang hati ikut pergi, meski harus dengan susah payah aku bangun pagi karena baru tidur beberapa jam setelah semalaman bekerja menjaga kontainer. Setelah Sekolah Minggu, aku lalu ikut bersama Ibu Ani dan Pak Roni pergi ke ibadah orang dewasa. Katakanlah, aku jadi pengganti Pije.
Ibuku tak masalah, dia menyokongku untuk melakukan apa saja yang keluarga Pije minta, termasuk pergi ke rumah ibadah. Tiap hari Minggu pagi, ibu yang selalu membangunkanku.
Saat-saat itu aku bingung agama ibuku sebenarnya apa, terlebih karena pengalaman ibu menolak mendoakanku saat hari pertamaku sekolah, sampai suatu hari aku menemukan sebuah kitab di dalam lemarinya, kitab itu telah menguning dan beberapa lembar telah sobek. Aku tahu ibu sering membacanya karena ada beberapa coretan pena di dalamnya.
Ibu pernah bilang, “Orang seperti ibu ini tak pantas punya Tuhan.”