Setelah kematian Pije dan Ibu Ani, Pak Roni pindah dari Tatara, entah ke mana. Jadilah aku makin kesepian. Hidupku benar-benar hanya di rumah, di sekolah, kadang di dermaga saat sore, dan di kontainer saat malam. Aku kembali menjadi penjaga kontainer ibu setiap malam. Ibu sempat melarangku, katanya, “Biarlah Jumat, Sabtu, Minggu saja.”
“Saya tak berkegiatan dan bosan kalau di rumah seorang diri, Ibu.”
Setelah itu ibu tak melarangku pergi bekerja dengannya. Aku bahkan diberi upah. Setiap pagi, ketika akan berangkat sekolah, pasti ada uang di meja makan, jumlahnya cukup banyak untuk anak SD sepertiku. Ibu tak pernah menyerahkannya langsung kepadaku atau bilang untuk apa uang itu, tapi kuanggap uang itu adalah upah menjaga kontainer.
Meski dari siang sampai malam aku kesepian, di sekolah aku masih punya Iyin. Setiap keluar main, aku dan Ririn tetap pergi jajan bersama seperti masih ada Pije bersama kami. Karena Iyin pula, masih ada sedikit warna dalam hidupku.
Sama seperti Pije, Iyin pun selalu bicara, dan aku tetap aku, mendengarkan mereka dengan penuh perhatian. Bedanya mereka, jika Pije terdengar sangat pintar, Iyin punya ‘sesuatu’ dalam suaranya, setiap bunyi yang keluar dari mulutnya terdengar seperti sebuah lagu tanpa akor minor yang dibumbui instrumen-instrumen musik disko Nusantara 80-an. Ada magis yang menularkan keceriaan kepadaku tiap kali aku mendengar Iyin bercerita, apa pun itu, bahkan sekadar nama boneka-boneka miliknya. Kalau Pije, kadang kalau ia sudah terlalu lama bicara, aku bosan.
Namun, semua keceriaanku di sekolah hanya bertahan sampai aku kelas 6 SD saja. Suatu sore sebelum kami lulus dan masuk SMP, Om Toto datang ke rumah, seperti biasa, masuk ke kamar bersama ibu, kemudian duduk di dapur untuk minum teh.
Selama percakapan minum teh mereka, aku menguping di balik dinding.
“Sepertinya saya dan Ririn akan pindah dari Tatara. Ririn sebentar lagi masuk SMP, dan saya kira Ririn harus masuk SMP yang lebih baik.”
“Pindah ke mana, Mas Toto?”
“Kabupaten. SMP di sini kurang baik bagi Ririn. Lagi pula, saya juga akan memulai usaha di sana. Tatara masih terlalu kecil saat ini. Belum terlalu ramai untuk mulai berdagang.”
Saat itu aku sangat kecewa mendengar berita dari Om Toto, tapi sekarang aku bersyukur Iyin pindah dari Tatara. Iyin sangat cerdas di sekolah, selalu jadi juara kelas, jadi dia tak pantas mengandung pada usia belasan seperti kebanyakan perempuan yang tumbuh dewasa di Tatara. Keputusan Om Toto sangat tepat.
Dan Om Toto juga benar soal Tatara yang masih terlalu kecil saat itu, tapi tak lama setelah beliau pergi meninggalkan Tatara, pemerintah di Pulau Besar membuat satu kebijakan penting yang mengubah Tatara dari pulau tempat tinggal ngengat menjadi tempat tinggal para pejabat.
*
Sesudah kami dinyatakan lulus SD, sehari sebelum Ririn dan Om Toto meninggalkan Tatara, mereka sempat berkunjung ke rumahku. Saat mereka tiba, seperti biasa, wajah para tetangga perempuan langsung sinis, kening mereka mengerut, cemberut, serupa wajah orang kedekut yang terkejut karena makanannya dipenuhi semut.
Om Toto tanpa malu memarkirkan motornya di depan pagar rumah dan memegang tangan Iyin masuk ke pekarangan, sementara itu, aku dan ibu menunggu di teras, kami terlihat seperti keluarga yang saling menyambut.
Di ruang tengah sore itu kami berempat basa-basi seperti biasanya kerabat yang akan saling meninggalkan.
Sesaat sebelum ayah-anak itu meninggalkan rumah kami, di teras, Iyin memelukku. “Kalau libur, Iyin pasti ke sini menemui Kak Yatno.”
Saat itu air mataku hampir saja menetes tapi aku menahannya dengan cara menggigit bibir bawahku sekuat-kuatnya.
Om Toto sempat memegang kepalaku, beliau berkata, “Jaga ibumu! Kau juga harus sekolah sampai SMP!”
Ketika mereka sudah berada di atas motor, Iyin tersenyum serta melambaikan tangannya dan Om Toto sempat menganggukkan kepala ke arah aku dan ibu. Aku dan Om Toto sempat tukar pandang sekian detik, dan dapat kulihat pada wajahnya yang dipenuhi jenggot dan kumis itu sebuah senyuman terukir; aku membalas senyuman Om Toto sejurus menundukkan kepalaku sebagai tanda hormat.
Dalam menunduk, aku berkata dalam hati, “Tuhan, aku jarang meminta sesuatu, kupikir hanya dua kali saja aku pernah meminta. Pertama, aku minta Kau membunuh Cik Eda tapi Kau malah membunuh suaminya. Kedua, aku minta Kau menjadikan Om Toto sebagai ayahku tapi tak Kau kabulkan juga. Mulai sekarang, aku tak akan pergi beribadah lagi!”