Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #13

Tatara yang berubah

Sudah kukatakan, pada rentang tahun akhir aku di SD sampai tahun awal aku di SMP, pemerintah pusat di Pulau Besar mengeluarkan sebuah kebijakan penting yang mengubah Tatara dan Nusantara Timur secara umum. Kebijakan itu adalah penetapan Tatara dan beberapa wilayah di sekitarnya sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Beberapa wilayah di timur kebagian nama keren dalam bahasa Inggris, Kina-Iho Industrial Estate, Export Processing Zone of bla-bla-bla, Special Economic Zone of bla-bla-bla, dan seterusnya. Tatara sendiri kebagian nama: Tatara Free Port, dan di lingkungan pelabuhan—menghadap ke laut—berdiri sebuah papan nama seukuran rumah yang bertuliskan Selamat Datang di Kawasan Pelabuhan Bebas Tatara. Semua daerah yang kebagian nama-nama keren itu berada di bawah sebuah lembaga di Pulau Besar yang bernama Komando Tertinggi Operasi Ekonomi Laut, biasa disingkat KONTOEL. Aku tahu semua itu setelah dewasa, saat itu aku tak tahu sama sekali apa yang terjadi, yang kutahu, Tatara berubah.

Tak akan kujelaskan lebih dalam mengenai fungsi dari status baru Tatara sebagai Pelabuhan Bebas. Intinya, kapal asing yang akan masuk ke Tatara tak lagi dipajaki (bea masuk dan sebagainya); tujuan tampaknya, agar kapal-kapal asing semakin mudah parkir di Tatara, dan pada akhirnya kemajuan ekonomi dan ‘pemerataan’ dimungkinkan; tujuan terselubung sekaligus tujuan utamanya, agar orang Pulau Besar bisa merantau ke daerah, mengambil semua pekerjaan ‘bersih’, kemudian menjadi tuan di daerah orang. Arti pemerataan bagi orang Nusantara adalah pembangunan daerah tertinggal agar orang Pulau Besar bisa kerja di sana.

Tentu saja, setelah penetapan status baru Tatara, dan ada kemungkinan tambang doi (uang), baru pemerintah pusat sudi membangun daerah kami. Jalanan diperbaiki, banyak kantor berdiri, penginapan berdiri, warung makanan berdiri; dan segala macam infrastruktur itu demi investasi, bukan kemaslahatan pribumi. Seperti umumnya pola pemerataan pembangunan Nusantara: Kemajuan daerah-daerah tertinggal harus mengutamakan pendatang dari Pulau Besar. Pendatang pakai dasi, makan nasi; pribumi pakai goni, makan tai.

Mereka memulai semua pembangunan benda-benda mati itu tanpa sedikit pun memikirkan manusia di Tatara. Saat itu, SMA saja baru dibangun di Tatara beberapa tahun sesudah benda-benda mati untuk investasi jadi. Mungkin mereka takut manusia Tatara dan sekitarnya maju lalu merdeka.

 

*

 

Tatara maju sedemikian cepatnya. Namun, ada dampak buruk yang mungkin tak terbayangkan. Entah mengapa, Tatara bukan saja menjadi kawasan ekonomi bebas, tapi juga kawasan moral bebas. Dugaanku, karena orang Tatara pada dasarnya tidak terlalu religius sehingga tempat hiburan akhirnya berdiri secara resmi, lalu maksiat resmi, judi resmi, apa pun resmi.  Karena itu, pencari kerja dari Pulau Besar yang datang bukan saja pekerja ‘halal’, pekerja ‘haram’ pun berbondong-bondong ke Tatara.

Dampak buruk lain adalah seperti umumnya titik kumpul para perantau dari berbagai daerah: Tatara menjadi kolam perkelahian antar-suku. Pemicu utamanya adalah nasionalisme dan ekonomi. Para pendatang dari Pulau Besar menganggap orang Tatara adalah masyarakat terbelakang karena sedikit saja dari kami yang tamat SMA, dan tidak nasionalis karena berpihak kepada kemerdekaan Nusantara Timur. Sedangkan orang Tatara menganggap orang Pulau Besar adalah pencuri lapangan pekerjaan orang dan penjajah.

Masalah makin pelik ketika pos militer dibangun di Tatara dan para aparat mulai berdatangan, katanya, pelabuhan Tatara adalah salah satu jalur utama masuknya senjata untuk pemberontak di timur dan aparat loreng didatangkan untuk patroli di perbatasan Nusantara-NKM. Saat itu, tensi politik antara NKM dan Nusantara sedang panas-panasnya karena Nusantara menganggap Pemerintah NKM secara diam-diam mendukung gerakan separatisme di Nusantara Timur.

NKM atau Negara Konfederasi Mafili (Malaysial-Filipinas) adalah dua negara tetangga Nusantara yang bersatu setelah gejolak politik selama puluhan tahun sejak tahun 1963. Pada tahun 1963, Pemerintah Nusantara di Pulau Besar, Pemerintah Filipinas, dan Pemerintah Malaysial punya gagasan untuk membentuk Konfederasi satu pemerintahan. Pendek kata, setelah perundingan alot yang dibumbui demonstrasi di seluruh Nusantara yang menentang dan mendukung Konfederasi itu; akhirnya orang-orang besar di Pulau Besar memustuskan bahwa Nusantara tak jadi bergabung. Akhirnya, diresmikanlah Negara Konfederasi Mafili dengan pemerintahan tunggal yang baru tanpa Nusantara. Namun, orang-orang Tatara dan Nusantara Timur kecewa dengan keputusan pejabat di Pulau Besar karena kami mendukung Konfederasi itu, kami akan lebih mudah mengakses barang-barang pokok dari kota-kota di Mafili yang lebih dekat daripada harus berharap dari Pulau Besar. Karena kekecewaan itu, mulai muncul beberapa kelompok Separatis di provinsi dan kabupaten sekitar Tatara yang ingin memisahkan diri dari Nusantara untuk bergabung dengan Konfederasi Mafili.

Kebanyakan anggota aparat loreng yang didatangkan ke Tatara adalah orang Pulau besar. Sesudah pos militer berdiri, pasukan datang, pasukan mulai sok jagoan, pasukan mendiskriminasi pribumi, lalu puncaknya terjadi saat tiga nelayan ditangkap karena dugaan penyeludupan senjata dan satu dari ketiga nelayan itu mati di penjara militer. Peristiwa itu menjadi pemicu Kerusuhan Tatara yang terkenal itu. Kuceritakan kemudian.

Pada akhirnya, orang-orang Tatara dan Nusatara Timur mulai membenci aparat dan orang dari Pulau Besar.

Gesekan yang tadinya hanya menyoal daerah, menjadi pertentangan suku-bangsa. Dari situ, kobar nasionalisme Nusantara Timur membara lebih lagi. Awalnya, hanya satu dua kelompok yang mendukung kemerdekaan, berjalannya waktu, hampir semua orang Tatara mendukung kemerdekaan. Seorang kawan pernah bilang kepadaku saat aku dewasa, “Nasionalisme sebenarnya cuma ilusi, apa yang nyata itu perut. Kalau orang dibiarkan lapar, susah cari makan, susah listrik, susah bensin untuk melaut, dan dibiarkan melarat selama-lamanya negara berdiri, maka tunggu waktunya rakyat melarat itu sampai pada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa di depan pintu gerbang kemerdekaan. Coba kau lihat sejarah dunia, ada, tak, wilayah yang rakyatnya makmur terus mereka ingin merdeka? Kalaupun ada, mungkin hanya didukung segelentir orang. Semua bangsa yang berdiri sendiri sebagai negara pasti dilandasi penderitaan yang berkepanjangan dan ketidakadilan yang dibiarkan. Sekarang pemimpin-pemimpin kita dianggap penjahat dan dipenjara oleh Nusantara. Tapi, tunggu waktunya saja. Kusno tukang kawin itu pun dulu dipenjara orang Holan.”

 

*

 

Awalnya penetapan status baru Tatara dikira akan membawa kemakmuran, nyatanya perlahan-lahan muncul api permusuhan dari bara yang sebelumnya ada, dan berjalannya waktu api itu semakin besar kobarnya. Aku saksinya, aku bahkan melihat pertentangan itu sampai ke kawasan pelacuran.

Sejak pembangunan Tatara yang dipercepat, perempuan-perempuan muda mulai berdatangan untuk menjual diri atau didatangkan untuk dijual di Tatara, bukan saja lonte kaki lima, lonte bintang lima pun makin banyak berdatangan ke Tatara. Akhirnya, sundal yang berkeliaran di Tatara, dan masalah baru di antara para sundal pun muncul sebab ibu dan kawan-kawan sundalnya makin banyak saingan. Perkelahian antara para sundal Tatara dan sundal pendatang, khususnya sundal Pulau Besar, terus-terusan terjadi. Sebab perkelahian itu macam-macam: perebutan tamu, perebutan kontainer, bahkan ada yang baku hantam tanpa alasan sama sekali. Saat ditanya, jawaban sundal yang berkelahi: “Saya tidak suka lihat muka lonte itu.”

Lihat selengkapnya