Pada siang hari keberangkatan ibu, sedang aku duduk di teras membaca sebuah karangan di dalam buku Pelajaran Bahasa Nusantara, seseorang berteriak. “Boy!”
Aku terperanjat.
Om Nus tertawa-tawa di pekarangan. “Ibumu sudah pergi ke kabupaten?”
Aku mengangguk lalu mempersilakannya duduk di bangku teras. Aku baru tahu, ternyata ibu pergi ke kabupaten.
“Mau minum kopi, Om?”
“Tak perlu, Boy. Terima kasih. O, ya, ibumu menitipkan kau sama aku, Boy. Tadi kau sekolah?”
Aku menggeleng.
“Besok pagi jam 7, aku akan datang ke sini, kalau kau belum siap-siap, apalagi berniat tak sekolah, kupecahkan bibirmu, Boy!” Om Nus tertawa lagi. Perawakannya memang menyeramkan, tapi saat bersamaku, raksasa gondrong itu suka sekali bercanda dan suka sekali tertawa.
Setelah kami basa-basi sebentar, Om Nus langsung menjadi dirinya seperti biasanya. “Ambil gitar, Boy! Kita menyanyi-menyanyi, Boy,” kata Si Raksasa Banci Suara.
Dan aku pun mengiringinya bernyanyi sampai matahari terbenam.
*
Esoknya jam 6 pagi, Om Nus benar-benar muncul di kamarku. Dan selama ibu tak di rumah dua minggu lamanya, setiap hari ia yang selalu membangunkanku. Om Nus pernah bilang, kata-katanya persis engku di sekolahku, “Sekolahlah! Supaya kau jadi orang pintar, Boy. Supaya kita cepat merdeka, Boy.”
Selain membangunkanku pada pagi hari, Om Nus sering datang ke rumahku untuk makan siang atau makan malam denganku. Sudah kukatakan, ia tak menikah jadi ia tinggal seorang diri di rumah kayu warisan orang tuanya. Selain sebagai gali pelabuhan, ia juga punya dua sampan kecil warisan dari ayahnya. Sampan-sampan itu diusahakannya sebagai alat transportasi yang melayani orang-orang dari pulau-pulau kecil di sekitar Tatara ke Tatara. Beberapa pulau itu tidak mempunyai sekolah sama sekali, juga tidak memiliki pasar, jadi penumpang sampan-sampan kecil adalah para anak sekolah dan mereka yang ingin berbelanja di Tatara. Kata Om Nus sampan-sampan itu cukup untuk menafkahi hidupnya.
“Mengapa Om Nus jadi tukang tagih?” tanyaku suatu hari.
“Itu kalau malam saja, Boy, kalau siang pekerjaanku halal. Sudahlah, tak usah banyak tanya, ambil gitar, Boy! Kita menyanyi-menyanyi, Boy.”
Selama kepergian ibu, hubunganku dengan Om Nus semakin hari semakin dekat, kami seperti paman dan kemenakan. Suatu siang, ia muncul di rumahku dengan wajah semringah, ia tampak bahagia sekali, ia juga membawakanku nasi kuning yang ia beli di pelabuhan.
“Makan, Boy!”
“Om Nus sudah makan?”
“Tak usah banyak tanya, Boy. Makan! Setelah itu kita menyanyi-menyanyi, Boy.”
Kami berdua duduk di meja makan, aku makan, sementara Om Nus melamun dengan senyum yang terus-terusan terukir pada wajahnya. Ia memandang langit-langit, tersenyum. Ia memandang kompor, tersenyum. Ia memandang pekarangan belakangan, tersenyum. Bahkan ketika memandang stoples di atas meja pun, ia tersenyum.
Kelakuan Om Nus siang itu kelihatan janggal. “Om Nus sakitkah?” Kataku, tak kuasa meredam penasaran.
Ia menggeleng, “Terus saja kau makan, Boy!”
Aku tak meneruskan lagi. Selama ibu tak ada di rumah, bisa dikatakan Om Nus-lah yang menafkahiku, ia selalu membawakan makanan untukku, jadinya uang yang ibu berikan sebagai peganganku di rumah, tak berkurang sama sekali. Karena itu, aku harus patuh padanya.
“Ambil gitar, Boy! Kita menyanyi-menyanyi, Boy.”
“Saya cuci tangan dulu.” Aku ke belakang, cuci tangan, lalu menuju ruang tengah dan kembali ke meja makan lagi dengan gitar.
“Bisakah kaupetikkan Koes Plus?”
“Yang mana?”
“Pelangi, Boy.”
“Itu lagu kisah-kasih, Om.” Saat itu lagu kisah-kasih atau lagu cinta dianggap para penunggu dego-dego adalah lagu perempuan sehingga jarang ada pria yang meminatinya, Om Nus pun jarang memintaku mengiringinya menyanyikan lagu macam itu.
“Aku sedang berbahagia,” kata Om Nus.
“Sebabnya?”
Om Nus diam, tatapannya terpaku pada kompor.
Tetap kutunggu, tak kan kubiarkan ia mengelak lagi.
“Kuceritakan nanti saja, menyanyi-menyanyi dulu kita sekarang.”
Mulailah kegiatan kami memetik gitar dan menyanyi, dimulai dengan Pelangi, seterusnya lagu-lagu kisah-kasih lain macam Pance dan sebagainya, sampai kemudian, di tengah-tengah lagu Tak Ingin Sendiri-nya Dian Piesesha, Om Nus menghentikan alunan sumbang suaranya dan menatapku. “Aku bertemu wanita cantik, Boy.”
Jari-jariku yang sedang memetik gitar pun mendadak berhenti, lalu kutatap raksasa di sampingku. Aku takjub untuk sekian detik melihat roma Om Nus, badannya besar, rambutnya gondrong ikal, kulitnya hitam pekat, tapi ia terlihat seperti seorang remaja akil balik lugu yang bahagia. Sekian detik lalu, aku jadi tertular tersenyum-senyum tanpa alasan.
“Yatno,” Ia membuka mulutnya lagi. Ketika Om Nus menyebut namaku, dan bukan ‘Boy’, berarti ia sedang serius. “Tadi pagi, ada seorang perempuan naik sampanku, ayu sekali. Katanya dia orang pulau sebelah yang baru pulang merantau dari kabupaten. Dia seorang bidan, dan janda. Dia baru saja menetap di sini, katanya ditugaskan di Puskesmas.”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku diam.
“Menurutmu bagaimana, Boy?”
“Bagaimana apanya?”