Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #16

hari-hari bersama Sari

Seminggu pertama Sari menetap di rumahku, kami belum terlalu akrab. Kami hanya bicara pada pagi hari saat dia membangunkanku untuk berangkat ke sekolah, lalu siang hari ketika aku baru pulang, dia selalu bertanya, “Sudah pulang, No?” Dan malam hari, ketika kami beranjak ke kamar masing-masing Sari selalu mengucapkan selamat malam. Sari tidur bersama ibu sebab rumah kami hanya ada dua kamar.

Dua tiga hari pertama Sari di rumahku, aku sama sekali tak tertarik padanya, secara fisik maupun emosi. Alasannya mungkin dia tak menarik secara fisik di mataku dan dia juga pendiam sepertiku, jadi tak ada yang buang kata basa-basi lebih dulu sebelum kami bisa mengobrol lebih jauh. Lebih-lebih, aku juga tak berniat mencari kawan baru, jadi kalau dia tak bicara, jangan harapkan aku.

Seminggu itu kupikir Sari hanya datang dan menetap sebentar di rumah sebab saat itu ibu sering pergi keluar rumah selepas makan siang dan baru kembali menjelang matahari tenggelam, entah ke mana. Karena itu, Sari-lah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai memasak, menyapu, dan sebagainya. Saat malam, kami selalu makan malam bertiga dilanjutkan dengan nongkrong bertiga di dapur, mendengar cerita ibu sambil sesekali aku bertanya, dan Sari diam di tempat mengamati kami. Semuanya berjalan normal dan bahagia sekali dalam penglihatanku, aku pun lama-lama mulai terbiasa dengan keberadaan Sari meski belum ada ketertarikanku untuk berkawan dengannya.

Suatu malam, sedang kami makan, ibu berkata, “Yatno, besok ibu akan pergi lagi. Kau di sini sama Sari, jangan macam-macam lagi seperti kemarin lalu.”

“Sebenarnya ibu pergi ke kabupaten untuk apa?”

“Kau tidak perlu tahu urusan orang tua.”

Aku tak meneruskan lagi.

“Ibu pergi hanya sebentar,” kata ibu kepadaku, lalu ibu menatap Sari. “Sari, jaga rumah dan jangan biarkan Yatno macam-macam lagi.”

Sari hanya mengangguk.

Lepas itu, kami beranjak ke kamar masing-masing.

Dalam tidurku malam itu, aku memimpikan Sari, tapi hanya suaranya saja. Dalam mimpiku, aku sedang duduk di teras, tiba-tiba, suara rintihan Sari terdengar dari dalam kamar, rintihannya tak terdengar seperti rintihan rasa sakit tapi rintihan kenikmatan. Aku yang duduk di teras, ingin masuk untuk tahu apa yang terjadi tapi aku seolah-seolah dipaku di atas kursi teras itu dan aku tak mampu beranjak ke dalam rumah. Aku ketindihan.

 

*

 

Esoknya, hari Sabtu, aku bangun sekitar jam 8 pagi dan langsung beranjak ke dapur untuk minum, tapi aku terkejut bukan main saat melangkahi ambang pintu dapur dan langkahku terhenti karena memergoki Sari sedang menangis. Dia duduk membelakangiku, tapi suara tangisnya jelas sekali terdengar. Aku mematung cukup lama, tak tahu harus apa. Sampai kemudian, Sari balik badan dan mendapatiku sedang berdiri di ambang pintu. Dia buru-buru membersihkan wajahnya yang basah, dan berkata, “Sudah bangun, No?”

Aku mengangguk canggung.

“Kubikinkan teh, mau?”

Aku mengangguk lagi.

Sari bangkit dan meraih termos. “Duduk, No!”

Aku baru beranjak dari ambang pintu lalu duduk di kursi meja makan. Aku masih merasa canggung, tapi Sari sudah bersikap biasa, walau sesekali dia masih menyeka wajahnya yang basah dengan ujung lengan bajunya.

Sementara Sari menuang air panas dari termos ke gelas, entah apa dorongannya, aku bertanya, “Mengapa kau menangis?”

Sari diam. Dia terus menuang air ke dalam gelas sampai penuh, menutup termos itu lagi, memasukkan gula ke dalam gelas, mengambil sendok, mengaduk gelas itu agar gula itu larut, dan menyerahkannya kepadaku.

“Terima kasih, Sari.”

Sari tersenyum lalu menyeka sekali lagi wajahnya dan merapikan rambutnya.

“Mengapa kau menangis?”

Sari duduk, kami duduk berhadap-hadapan di antara meja makan yang menengahi.

Sari tetap bungkam beberapa saat. “Aku baru saja kehilangan ayahku beberapa bulan lalu, aku merindukannya.”

Lantaran bingung harus bilang apa, kualihkan pembicaraan, “Ibu sudah pergi?”

“Ibumu pergi pagi-pagi sekali.”

Aku mengangguk canggung.

“Selaaamat Paaagi!” Seseorang berteriak dari teras.

Sari langsung berdiri hendak menyambut si tamu tapi aku berkata, “Di dapur, Om Nus. Masuk!”

Om Nus muncul lagi, wajahnya penuh binar-binar cinta yang tampak nyata sekali pada mata, kening, tulang pipi, bahkan lobang hidungnya. Raksasa itu tampaknya sedang bahagia.

“Terima kasih, Boy. Terima kasih.” Ia meremas kedua bahuku.

“Terima kasih untuk apa?”

“Aku akan berkencan dengan Tina. Namanya Tina, Boy.”

“Bidan itu?”

Om Nus mengangguk, dan saat itu ia baru menyadari keberadaan Sari, ia menatap Sari dengan air muka penasaran. Barangkali malu ditatap begitu, Sari segera menunduk.

“Siapa, Boy?” Kata Om Nus memastikan.

Lihat selengkapnya