Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #17

cinta tiba-tiba tiba

Sulit menerka cinta, mungkin baris itulah yang paling tepat untuk mengungkapkan perasaanku saat itu dan apa yang kualami selama tinggal berdua bersama Sari, aku tiba-tiba saja tertarik pada Sari secara emosi, meski fisik tak terlalu.

Semuanya terjadi begitu saja, entah sebabnya apa. Barangkali karena waktu-waktu yang kami habiskan bersama membuat kami semakin dekat, membuat kami lebih sering bicara, dan akhirnya mengenal satu sama lain. Aku, yang awalnya tak berniat mencari kawan baru, malah berkawan dengan Sari. Aku seolah-olah merasa menemukan Pije yang baru. Tapi, semakin kupikirkan tentang perasaanku itu, sepertinya kurang tepat jika menempatkan Sari sebagai pengganti Pije, sebab aku merasa, mungkin saja, mencintai Sari.

Hari-hari itu sangat indah. Kami berdua saja di rumah dan kegiatan sehari-hari kami begini: Sari membangunkanku pagi-pagi sekali, lalu menyuruhku mandi air panas yang sudah dia sediakan; selanjutnya aku pergi sekolah, di mana aku malah selalu ingin pulang agar berjumpa dengan Sari; setelah itu, bila aku sudah berada di rumah, aku biasanya membantu Sari mengerjakan pekerjaan rumah, memasak dan sebagainya; sorenya, setelah semua pekerjaan rumah tangga sudah beres, kami biasanya menyanyi di dapur sampai waktu tidur tiba dan kami masuk ke kamar masing-masing. Meski hanya di rumah dan kegiatan kami begitu-begitu saja, kebersamaanku dengan Sari terus menabrak hari di depan kami, menjadikan kebersamaan hari ini sebagai ampas yang berguna untuk dikenang pada masa datang.

Sari sangat senang bernyanyi. Salah satu lagu kegemarannya adalah lagu yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Franky Sahilatua tapi menjadi masyhur oleh Iwan Fals, yakni Kemesraan. Awalnya aku tak terlalu menyukai lagu itu, tapi karena Sari selalu menyanyikannya, aku jadi suka. Lebih lagi, syairnya seolah selalu mewakili kata hatiku: aku tak ingin waktu-waktu bersama Sari cepat berlalu.

Lewat percakapan-percakapan kami, aku pun akhirnya tahu banyak tentang asal-usul dan kehidupan Sari sebelum datang ke Tatara. Nama kampungnya adalah Babale, sebuah pulau terpencil yang jaraknya tiga jam dari Tatara. Satu-satunya transportasi menuju Babale adalah sampan kecil bermesin seperti sampan milik Om Nus.

Sari hanya bersekolah sampai kelas 6 SD saja karena di Babale tidak ada SMP atau SMA. Sebenarnya dia berencana untuk sekolah tinggi-tinggi, tapi karena saat lulus SD ibunya meninggal dan ayahnya mulai sakit-sakitan, dia terpaksa putus sekolah. “Kalau saja aku masih sekolah, aku mungkin sudah lulus SMA,” kata Sari dengan senyuman yang merekah, tapi matanya sayu.

“Kau pernah bilang kau punya adik. Dan kau juga bilang kalau ayahmu baru meninggal sebelum kau datang ke sini, terus adikmu bagaimana?” Tanyaku penasaran.

Sari diam cukup lama, matanya yang sayu itu berair.

“Dia juga meninggal?” Kataku lagi, tak tahu diri.

“Tidak. Dititipkan ke orang.” Suara Sari parau dan dia menunduk.

Karena dia cukup lama tak mengangkat muka, dan aku tahu dia mungkin akan menangis, aku berusaha mengalihkan pembicaraan. “Berarti ibuku juga berasal dari Babale?”

“Tidak. Ayahku yang orang Babale. Ibumu dan ibuku memang bersaudara, tapi aku tak tahu asal mereka dari mana.”

“Ibu kita bersaudara kandung, bukan?” Kataku, ingin memastikan, sebab ibu tak pernah bercerita banyak soal keluarganya.

Sari mengangguk. “Dulu waktu kau kecil, ibumu, Tante, sering datang ke Babale mengunjungi ibu. Tapi setelah ibu meninggal, Tante tak pernah datang lagi ke Babale. Setelah ayah meninggal baru Tante menyuruhku datang ke sini tinggal bersama kalian. Tante itu orang baik, Yatno.”

Saat itu aku mengangguk, mengaminkan perkataan Sari. “Apa kita punya kakek atau nenek? Maksudku, orang tua dari ibumu dan ibuku.”

“Aku tak tahu. Ibu tak pernah pulang kampung,” kata Sari.

“Ibuku juga, sebelum sering pergi seperti sekarang, ibuku tak pernah ke mana-mana. Dia baru sering pergi setelah tempat kerjanya dibongkar. Aku saja baru tahu kalau dulu dia sering keluar Tatara, ke Babale.”

Sari hanya tersenyum.

“Adikmu sekarang kelas berapa?”

“Adik lelakiku itu sebaya denganmu, Yatno. Andaikata keluarga yang merawatnya bisa menyekolahkannya dengan baik, sekarang ia mungkin kelas 2 SMP.”

“Tapi aku terlambat sekolah, aku seharusnya sudah SMA sekarang.”

Sari diam. “Kau terlambat sekolah?”

Aku mengangguk.

“Mengapa?”

“Panjang ceritanya. Adikmu itu sekarang di mana?”

“Di kabupaten.”

Lihat selengkapnya