Kebersamaan dengan Sari semakin menyenangkan setelah ibu pulang dua minggu kemudian, sebab ibu memperlakukan Sari sama seperti ibu memperlakukanku, seolah kami berdua adalah anaknya, dan itu membuat hari-hari di rumah serasa di surga. Sayangnya, baru beberapa hari tinggal di rumah, ibu pergi lagi selama dua minggu, lalu pulang, lalu pergi lagi. Berulang terus seperti itu.
Setiap kali ibu pulang dari kabupaten, ibu terlihat ceria bahagia. Selama di rumah, ibu sering memutar lagu lewat salon, dan tersenyum-senyum sendiri. Ibu juga kelihatan lebih makmur setiap kali pulang dari kabupaten. Kami tak lagi kesulitan secara ekonomi.
Sempat sekali waktu aku mendengar percakapan ibu dengan kawannya, dan nama Om Toto di kabupaten disebut-sebut. Dugaanku, ibu mungkin bekerja untuk Om Toto, tapi entahlah, aku sudah tak penasaran lagi ibu ke kabupaten untuk apa. Yang paling penting, masa-masa itu hidupku terasa indah di angan, layak dikenang, bahagia dijalankan.
Hubunganku dengan Sari berlangsung sempurna, aku tak pernah membuat Sari marah atau membuatnya sedih. Begitu pun Sari, selain cerita tentang adiknya yang membuatku kesal, Sari selalu baik padaku. Karenanya, kian hari aku merasa cintaku pada Sari kian besar saja, dan saat itu tak ada sama sekali rasa ganjil atau merasa bersalah mencintai sepupuku sendiri.
Saat itu, aku bertanya-bertanya dalam hati, dan aku bingung pada perasaanku.
Apakah boleh menikah dengan sepupu? Entahlah.
Apakah cintaku itu ‘rasa cinta’ yang menginginkannya sebagai kekasih seperti Pije pada Iyin? Entahlah.
Ataukah ‘rasa cinta’ Om Nus kepada Tante Tina? Entahlah.
Ataukah ‘rasa cinta’ yang ingin menginginkannya sebagai saudara seperti aku pada Iyin? Entahlah.
Sama sekali, saat itu aku tak tahu. Sebagai anak SMP yang tak punya kawan sebaya yang bisa kumintai pendapat, aku hanya tahu aku menyukai Sari dan nyaman di dekatnya, itu saja. Kalau saja Pije masih hidup, ia pasti memberiku penjelasan tentang cinta selama berjam-jam.
*