Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #19

menjadi laki-laki

Sesudah ibu minta maaf, kami bertiga makan malam dalam diam, canggung, dan tegang. Selama beberapa menit kami di meja makan, hanya terdengar dencing piring dan sendok sampai ibu bilang, “Yatno sebentar lagi akan masuk SMA. Apa rencana Yatno ke depan?” Kata ibu memecah hening.

Saat itu aku sudah kelas 3 SMP dan umurku 16 tahun, beberapa bulan lagi aku akan masuk SMA, tapi karena di Tatara belum ada SMA, tak pernah terpikir olehku akan SMA di mana, aku tak menjawab pertanyaan ibu.

Ibu berkata lagi, “Tahun depan akan dibikin SMA di sini. Yatno masuk SMA itu saja, bagaimana? Supaya Yatno tidak perlu keluar Tatara.”

Aku mengangguk.

Ibu tersenyum kepadaku lalu menatap Sari tanpa senyum. “Adikmu yang di kabupaten itu juga akan masuk SMA, bukan?” Air muka ibu berubah ketika bertanya soal adiknya Sari.

Sari mengangguk dengan tatapannya terpaku pada piring.

“Tanah milik ayah dan ibumu di Pulau Babale itu jadinya mau diapakan? Apakah tidak terpikirkan untuk menjual saja tanah itu?”

Sari menggeleng, kelihatannya dia masih takut menatap mata ibu.

“Jika dijual, itu bisa membantu biaya sekolah adikmu sampai perguruan tinggi.”

Sari tak menjawab.

“Apakah keluarga ayahmu masih enggan menjual tanah itu?”

“Saya tidak tahu, Tante.”

“Tapi tanah itu milikmu dan adikmu, bukan?”

“Saya tidak tahu, Tante.”

“Lebih baik dijual saja. Kalau kau mau, nanti kita bertiga pergi ke Babale untuk melihat kondisi tanah itu.”

Sari tak langsung menjawab, cukup lama dia diam. “Terserah Tante,” katanya ragu-ragu.

Ibu tersenyum.

Mendengar percakapan mereka, aku sempat heran, mengapa ibu ikut campur urusan keluarga Sari. Tapi, kalimat terakhir ibu membuat aku gembira sebab kami mungkin akan jalan-jalan ke Babale, artinya aku akan keluar dari Pulau Tatara untuk pertama kalinya. Seterusnya kami bertiga sibuk dengan piring masing-masing.

Sesudah makan malam ibu berkata, “Jangan dulu tidur! Ada orang yang akan datang.”

Aku melihat jam dinding, hampir jam 1 pagi. Aneh.

Tak lebih dari 10 menit setelah ibu melarang kami tidur, terdengar bunyi ketukan dari pintu belakang rumah kami. Ibu sendiri yang berdiri untuk membukanya.

Om Nus, Om Sefnat, dan Rinto yang muncul. Rinto adalah tangan kanan Om Sefnat, ia selalu membuntuti Om Sefnat ke mana-mana, termasuk dulu ketika mereka masih menagih uang pada para pelacur di kontainer, dan ia lebih tua dariku, mungkin sebaya Sari.

Aku bingung. Mengapa mereka bertamu larut malam dan mengapa pula lewat pintu belakang.

 

*

 

“Bagaimana rencananya?” Kata ibu setelah kami berlima duduk di ruang tengah. Sari tetap di dapur untuk membuatkan teh.

“Rencananya besok. Saya sudah pergi ke sana dan ternyata mereka tutup setiap hari Senin,” kata Om Nus lantas mengembuskan asap sigaret keluar dari mulutnya. “Tapi kami kekurangan orang. Kau bisa ikut, Boy?”

Empat orang yang ada di situ seketika menatapku.

Aku makin bingung.

“Tugasnya apa?” Kata ibu.

“Yatno akan mengawasi saat kami bekerja.”

Ibu menatapku, seolah meminta jawaban.

“Ikut ke mana?” Kataku, tak mengerti.

“Besok kau akan tahu, No. Yang pasti demi ibumu,” kata Rinto.

Aku menatap ibu yang duduk di sampingku. “Kalau ibu izinkan saya, saya akan ikut,” kataku dengan yakin meski tak jelas apa yang kami bicarakan.

Ibu tersenyum.

Sari tiba-tiba muncul di ruang tengah dengan nampan berisi tiga gelas teh, berlutut di dekat meja plastik yang kami berlima kelilingi sambil meletakkan gelas-gelas itu di meja. Kami tak bicara selama itu untuk mengawasi gerak-gerik Sari. Ketika Sari selesai dan berjalan kembali ke dapur, hanya Rinto yang masih menatap Sari, matanya tak lepas dari bokong Sari yang malam itu mengenakan rok hitam. “Itu siapa?” Kata Rinto kepada ibu.

Lihat selengkapnya