Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #20

di Babale

Peristiwa kebakaran Diskotek Raditsa menjadi buah ribuan bibir di Tatara, angin-angin yang kudengar, banyak yang yakin kebakaran itu berasal dari korsleting alat-alat musik dan salon di dalam diskotek. Karena itu, pemilik diskotek yang berasal dari Pulau Besar tak memperpanjang urusan, ia menyerah di Tatara. Diskotek Raditsa tutup selamanya. Kami, para pelaku, aman.

Sari sempat keberatan, katanya, “No, kau harus janji tak akan berbuat jahat lagi.”

“Kulakukan itu untuk ibuku. Kami susah karena Raditsa.”

Sari diam, pasrah, meski ketidaksetujuannya jelas sekali tampak lewat wajahnya. Aku sebaliknya, perbuatan itu membuatku merasa jantan sekali di depan Sari. Baru kurasakan dan kumengerti kenikmatan yang Pije rasakan kala berusaha menjadi lelaki paling jantan di depan Iyin.

“Aku harap—.”

“Saat ini aku sudah jadi lelaki dewasa!” Aku sigap memotong ucapan Sari yang kedengarannya akan menasihatiku. “Jangan melarangku seolah-olah kau ibuku!” Kataku pada Sari.

Selanjutnya, dia tak pernah bicara lagi soal kebakaran Raditsa.

 

*

 

Tiga hari setelah kami membakar Raditsa, Om Nus dan Om Sefnat datang lagi ke rumah. Rinto tak ikut serta. Kali itu mereka membawa Cikam (Ciu Kampung), minuman alkohol tradisional khas orang Tatara dan sekitarnya. Kami berempat berembuk di ruang tengah, ibu dan kedua pria itu minum Cikam bersama di ruang tengah.

Awalnya aku duduk saja mendengar mereka bertiga bercakap-cakap, sampai kemudian Om Sefnat menawariku botol Aqua yang berisi Cikam. “Minum, No?”

Aku menatap ibu.

“Yatno sudah besar sekarang. Terserah,” kata ibu.

“Laki-laki dari Tatara harus bisa minum.” Om Sefnat tersenyum.

Mungkin karena mendengar percakapan Cikam, Sari muncul dari dapur, melintasi ruang tengah lalu masuk ke dalam kamar, sekian detik itu aku dan Sari sempat tukar pandang. Sari tak bersuara tapi bola matanya menyala seperti mata singa; tatapan mata itu sama seperti tiga hari sebelumnya saat aku akan pergi bersama Rinto dan Om Sefnat menuju Raditsa.

“Kalau kau sudah bisa minum Cikam, kau sudah bisa punya istri,” kata Om Sefnat membuyarkan lamunanku tentang Sari. Tatapanku lepas dari pintu kamar yang baru Sari masuki dan memalingkan muka kepada Om Sefnat.

“Minum!” Om Sefnat memberi gelas kepadaku.

Aku meraihnya dan menenggaknya. Rasanya sulit kujelaskan, manis-pahit-asam-pekat bercampur jadi satu, panas minuman itu membuat langit-langit mulut dan tenggorokanku perih, cairan itu seolah menjelma jarum yang menikam rongga-rongga mulutku. “Aaaggghhh.”

Ketiga orang dewasa di sekitarku tertawa melihatku.

“Rokok?” Kata Om Sefnat.

Aku menggeleng. Aku menolak bukan karena aku masih SMP, tapi karena Pije, aku tak ingin mendiang kawanku menganggapku munafik.

“Jangan!” Kata ibu menolak pemberian itu untukku. Mungkin karena ibu juga tak merokok.

Selanjutnya percakapan tiga orang dewasa di ruang tengah berkisar tentang rencana mereka sebelumnya, yakni ibu, Om Nus, dan Om Sefnat akan mendirikan diskotek atau warung minum baru di dekat pasar. Rencana itu sudah sangat matang. Ruko tempat kami mengambil bensin malam itu ternyata telah disewa. Orang yang memodali itu pun sudah ada. Malam itu adalah pertemuan terakhir mereka sebelum Juragan pemilik modal dari Kabupaten datang dan tak lama lagi diskotek yang dikelola ibu, Om Nus, dan Om Sefnat resmi berdiri.

“Kau sudah dapat perempuan-perempuan untuk jadi pramuria?” Kata Om Sefnat kepada ibu.

“Sudah. Tapi saya punya rencana untuk mencari beberapa lagi yang lebih muda. Kalau pramurianya muda-muda, pasti tamu akan lebih betah dan tempat kita akan lebih laku.”

“Boy, maukah kau jadi pramusaji di sana?” Om Nus tersenyum kepadaku.

Aku menatap ibu.

“Terserah Yatno,” kata ibu.

Aku mengangguk kepada Om Nus.

Lihat selengkapnya