Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #21

malam penahbisan

Kami pulang dari Babale dengan tangan kosong, tanah warisan itu tak jadi dijual padahal sudah ada orang yang bersedia untuk membelinya, keluarga besar ayahnya Sari menolak untuk menyerahkan tanah itu dengan alasan adat. Angin-angin yang kudengar di Tatara, Pulau Babale dan alamnya yang begitu memikat sudah masuk dalam rencana para penjajah dari Pulau Besar untuk menjadikannya tempat wisata kelas wahid selanjutnya. Beberapa juragan sudah melobi orang Babale agar menjual tanah mereka di Babale. Namun, tak ada satu pun orang Babale yang bersedia menjual tanahnya dengan alasan adat. Saat itu orang Babale yang masih cukup tradisional dalam segala aspek kehidupan, tak mau menjual peninggalan moyangnya.

Sedikit intermeso, saat aku mengisahkan cerita ini, pemerintah Nusantara sudah berhasil menguasai seluruh Pulau Babale dengan menggunakan undang-undang. Dalam undang-undang yang dibuat kemudian untuk kepentingan para investor, dinyatakan bahwa tanah yang berada di pulau yang terklasifikasi sebagai Pulau Mikro Berpenduduk* seluruhnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat [*pulau dengan luas tertentu dan jumlah penduduk kurang dari 1000 jiwa]. Karena itu, semua orang Babale yang telah ratusan tahun hidup di Pulau Babale tidak berhak memiliki tanah di Pulau mereka. Pemerintah kemudian secara paksa mengusir semua orang Babale keluar dari Pulau Babale demi para investor wisata. Setelahnya, pemerintah Nusantara laknat itu menyerahkan hak kelola tanah di Pulau Babale untuk para juragan atau investor wisata. Masalahnya tak sampai di situ, beberapa tahun kemudian investor kulit putih beda bahasa pun diizinkan menjadi pengelola asal hak kelola itu atas nama orang lokal. Berjalannya waktu, kelakuan orang-orang barat bak tai saja, pernah suatu ketika di sebuah pulau di Nusantara Timur, seorang usahawan asing mengadakan sayembara untuk mencari wanita lokal untuk dikawini. Tak masalah memang, tapi persyaratannya wanita lokal itu harus tolol, dalam arti buta huruf. Orang barat itu kawin dengan wanita lokal hanya demi administrasi pengelolaan tanah. Dan ujungnya, setelah sekian tahun menikah dengan wanita lokal buta huruf dan si barat sudah jadi jutawan, wanita lokal tolol itu diceraikan dan si barat bansat itu kembali ke negara asalnya dengan uang haramnya. Aku tak punya masalah dengan orang barat, tapi setelah melihat banyaknya wanita dan anak-anak terlantar karena karena para bule laknat, aku sudah bersumpah darah bahwa keturunanku tidak boleh kawin dengan orang beda bahasa, apalagi orang barat. Satu yang ingin kusampaikan: “Menjadikan satu wilayah sebagai destinasi wisata internasional lebih banyak rugi daripada untung bagi orang lokal. Untung banyak hanya untuk negara, investor, dan bule kaya; sementara rugi banyak untuk orang desa. Sebut nama daerah yang mendapat manfaat maksimal ketika daerahnya jadi destinasi wisata internasional! Aku yakin, mungkin hanya 1 dari 100 daerah. Ibarat isi kaleng Khong Guan, para usahawan mendapat jatah seisi kaleng, sementara orang lokal hanya kebagian remah-remah wafer di dasar kaleng. Tuhan tidak menciptakan alam untuk wisata orang kaya!”

 

*

 

Beberapa minggu setelah kepulangan kami dari Babale, warung remang-remang yang dikelola ibu dan kawan-kawan akhirnya dibuka. Pembangunan warung itu berlangsung hanya satu minggu, tepatnya bukan membangun tapi mengisi perabotannya. Seperti yang sudah kukatakan, segalanya sudah direncakan dengan matang. Penampakannya seperti diskotek pada umumnya, ada meja tempat orang minum sambil meraba paha dan meki pramuria, ada meja judi, ada panggung untuk mereka yang ‘banci suara’, serta beberapa bilik di bagian belakang untuk para tamu dan pramuria ‘bercengkrama’.

Tempat itu tak boleh disebut diskotek, kata Om Sefnat, “Supaya orang-orang Tatara tak sungkan datang ke sini. Orang Tatara itu sungkannya berlebihan, tempat bersih sedikit langsung dihindari.” Jadi, kami menyebutnya Warung Minum Tatara atau lebih seringnya warung saja. Karena Raditsa tak dibuka lagi, artinya warung kami adalah tempat maksiat satu-satunya di Tatara, karenanya ramai sekali setiap malam.

Lantaran kami pulang dari Babale dengan tangan kosong, Sari benar-benar mengikuti usul ibu untuk jadi sundal, sementara aku menjadi pramusaji di warung. Pramusaji di warung itu hanya aku dan Rinto, kami berdua yang melayani pesanan para tamu, juga bertugas menunggu kasir secara bergantian. Pramurianya cukup banyak, termasuk ibu dan Sari. Om Nus dan Om Sefnat menjadi petugas keamanan yang kerjanya lebih banyak duduk-duduk saja.

Bir adalah satu-satunya minuman keras resmi yang kami jual di warung, sisanya adalah minuman keras seludupan dari NKM, tapi warung kami aman dari gangguan aparat. Di Tatara masa itu, hukum hanya tertulis di buku-buku pelajaran sekolah sebab para penegak hukum pun sering kongko di warung kami. Lagi pula, penegakan hukum seperti apa yang diharapkan dari para penegak hukum lulusan SMA lantas ikut pelatihan selama 9 bulan?

 

*

 

Hari pertama Sari menjadi pramuria tak bisa kulupakan, itu terjadi pada hari pembukaan warung dan hari pertamaku bekerja. Saat itu malam Minggu dan ada kapal yang baru saja sandar sehingga banyak sekali pengunjung yang datang, ditambah lagi banyak pria Tatara yang penasaran membuat keadaan warung bak pasar saja.

Sari berpakaian seperti ibu, dia mengenakan celana jin pendek sekali yang menampilkan seluruh paha bahkan kulit pantatnya pun kelihatan sedikit, sementara bagian atasnya adalah blus tipis tanpa lengan yang menampilkan garis di tengah-dengah dadanya; bibirnya berlukis gincu merah menyala, pipinya berbalut pupur murahan milik ibu, dan rambutnya dibiarkan terurai. Pendek kata, penampilan Sari malam itu sama seperti kebanyakan sundal yang sudah siap ditiduri kapan saja asal ada uang. Meski begitu, dia amat menarik. Jujur saja, aku tertarik pada fisiknya, enak sekali dipandang, meski aku tak sampai berahi.

Malam itu ibu tak memperbolehkan Sari membawa tamu ke dalam kamar, kata ibu kepada Om Nus dan Om Sefnat, “Sari itu yang paling muda di sini, kita biarkan satu atau dua minggu dia tidak disentuh dulu. Kalau ada yang tanya, bilang saja dia tidak bersedia. Kita bikin orang-orang penasaran dulu padanya, kalau sudah ada 10 orang yang berminat baru kita mainkan harga pelan-pelan.”

“Tidak apa-apakah begitu? Saya takut orang-orang tidak tertarik lagi,” kata Om Nus.

“Saya sudah jadi sundal sebelum Sari lahir, jadi percaya saja sama saya,” kata ibu dengan entengnya.

Om Nus hanya mengangguk.

Lihat selengkapnya