Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #22

si gauk

Sari menjawab permintaan maafku dengan segaris senyum kepasrahan dan sorot mata yang tak mengisyaratkan apa pun. Dari air mukanya, Sari terlihat seperti mayat berdiri. Wajahnya pucat, pupur yang sebelumnya menyelimuti telah terhapus—mungkin oleh keringat dan liur si kapten bangsat. Aku tahu, Sari menderita, tapi ia tak bicara, tak juga menangis, dan tak tampak emosi apa pun pada wajahnya.

Dalam diam aku dan Sari lalu berjalan bersisian kembali ke dalam warung.

Ibu yang menyambut kami, “Sari ada yang memintamu!” Ibu menunjuk ke salah satu meja, kali itu bukan meja minum tapi meja judi.

Sari langsung menuju meja itu.

Aku mematung, tak tahu harus bilang apa. Kerlap-kerlip lampu disko dan berisik musik membuat pikiranku semakin kacau. Aku tak tahu mengapa aku sangat pasrah malam itu, aku tak berdaya mengalahkan keadaan, bahkan mungkin aku tak punya keinginan untuk melawan keadaan, dalam arti tak ada niatku sama sekali untuk melindungi Sari, mencegahnya agar tak jadi sundal. Bila kukira-kira sekarang, mungkin karena aku dibesarkan oleh seorang sundal jadi aku mengganggap menjadi sundal adalah hal wajar. Aku memang marah, aku memang cemburu, aku memang kecewa, tapi aku hanya bisa pasrah pada keadaan.

 

*

 

Setibanya kami di rumah subuh itu, aku langsung pergi ke kamar, aku takut Sari mengajakku bicara.

Aku sulit tidur subuh itu, batinku bergejolak, ada yang mengganjal, tak tahu apa. Kian lama aku kian gelisah di atas ranjang, telentang, menelungkup, balik kiri, balik kanan, sampai akhirnya aku bangun dari pembaringan dan duduk di ujung ranjang sambil merenung, dan saat itu mulai jelas apa yang kurasakan, muncul rasa sesal karena bukan aku yang menjadi orang pertama yang meniduri Sari. Memang, tak pernah ada keinginan selangkanganku untuk menghampiri Sari, berahiku tak pernah muncul ketika melihatnya mengenakan pakaian sependek apa pun, bahkan saat aku membayangkan andaikata melihat Sari telanjang, celanaku tak melebar, mungkin rasanya akan sama saja seperti melihat ibuku. Namun, penyesalan aneh itu entah kenapa memenuhi pikiranku dan keinginan untuk meniduri Sari pun muncul, dan niat itu semakin besar semakin lama kupikirkan, seolah-olah.

 

*

 

Beberapa minggu kemudian, kelihatannya segalanya telah menjadi biasa untuk Sari, dia langsung terbiasa dan langsung lihai menjadi sundal. Matanya tak pernah sayu lagi, dia terus ceria, dan dia tampak bahagia dengan pekerjaan barunya. Aku sebaliknya, aku belum bisa menerima setiap kali melihat Sari dibawa ke kamar oleh pria lain. Aku juga marah pada Sari karena dia tampak nyaman dengan pekerjaannya. Dia tak sungkan menggoda hampir semua pria yang ada di hadapannya untuk menidurinya. Namun, semua kemarahan pada Sari dan pada semua pria yang menidurinya kusimpan sendiri dalam hati.

Suatu hari, saat aku, ibu, Om Nus, dan Om Sefnat sedang duduk-duduk di ruang tengah sambil bercakap-cakap soal warung, Sari muncul dari dapur untuk membawakan teh, dia lalu jongkok di dekat meja persis di samping Om Sefnat sambil meletakkan cangkir di atas meja, dan saat akan berdiri dia dengan tak sopan memegang paha Om Sefnat sebagai tumpuan untuk berdiri, tapi beberapa detik setelah memegang paha Om Sefnat, Sari tak segera berdiri, dia meremas paha Om Sefnat dulu; saat itu juga, dia tersenyum kepada Om Sefnat sambil menggigit bibir bawahnya. Dan seperti yang diduga, hari itu Om Nus pulang dari rumah kami seorang diri. Om Sefnat pergi ke kamar dulu bersama Sari.

Lihat selengkapnya