Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #23

wanita baik-baik

Keinginan Sari agar kelak aku bisa bersama seorang ‘wanita baik-baik’ bukan sesuatu yang asal ucap, Sari benar-benar memaksudkannya.

Pada suatu sore, sebelum kami bertiga berangkat ke warung, tiba-tiba Om Toto muncul di teras rumah kami. Ibu tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya melihat Om Toto. Aku, Om Toto, dan ibu lantas duduk mengobrol di ruang tengah. Setelah basa-basi soal perjalanan Om Toto dari kabupaten, Om Toto berkata kepadaku, “Yatno, besok, datanglah ke rumah saya! Temui Iyin!”

“Saya, Om, saya akan datang,” kataku, berbohong. Sebenarnya aku takut sekaligus malu menemui Iyin. Selain kami tak pernah tatap muka selama hampir tiga tahun, aku takut Iyin yang bukan bocah lagi, sudah berubah. Di pikiranku saat itu, Iyin remaja pasti malu bergaul dengan anak sundal sepertiku.

“Iyin ingin bertemu denganmu,” Om Toto tersenyum. “Nanti—.” Perkataan Om Toto tak habis, disela kedatangan Sari membawa nampan dan menaruh secangkir teh di atas meja. Saat itu Sari sudah berpakaian sundal, separuh tubuhnya telanjang; paha, lengan, dan dadanya sudah terpampang; bahkan ketika Sari membungkuk untuk menaruh cangkir, baju sesaknya tertarik ke atas sehingga memamerkan perutnya.

 “Silakan,” kata Sari kepada Om Toto dengan mata yang seolah-olah ingin memangsa Om Toto hidup-hidup, mata berahinya seolah-olah bicara, “Kalau kau ada uang, tiduri aku malam ini!”

Aku sangat ingin menampar Sari saat itu. Dia merendahkan Om Toto dengan bersikap tak sopan. Lebih-lebih, saat dia akan berdiri, tangannya langsung menuju paha Om Toto sebagai tumpuan. Baru satu detik tangannya mendarat di paha Om Toto, ibu membentaknya, “Sari! Mas Toto tamu saya!”

Air muka Sari berubah seketika, barangkali sadar akan kesalahannya, Sari seketika melepaskan tangannya dari paha Om Toto, berdiri, dan langsung kembali ke dapur dengan kepala tertunduk.

Kutatap ibu, mukanya sudah sekeras batu. Ibu mungkin akan menampar Sari setelah Om Toto pulang, pikirku.

Om Toto hanya tersenyum, beliau tampak tak masalah dan tak peduli pada Sari. Beliau menatap Sari cuma sekali ketika Sari mempersilakan beliau minum. Om Toto bahkan tak bertanya siapa Sari. Biasanya, ketika Sari sedang menaruh cangkir teh, apalagi sudah berpakaian sundal, mata para tamu pria di rumah kami akan terpaku pada batang pahanya yang sedang jongkok. Setelahnya pria-pria itu akan menatap ibu sambil mengirim isyarat lewat mata, “Berapa harga kemenakan perempuanmu?”

 

*

 

Esoknya, saat kami bertiga sedang makan siang di dapur, terdengar suara dari teras, “Selamat siang!” Suara Om Toto. Dan detik itu juga, ibu langsung bangkit dari kursi untuk menyambut Om Toto. Selang sejenak, ibu berteriak dari ruang tengah, “No! Ada Ririn.”

Saat itu, aku terkejut bukan main, tak kusangka Iyin akan sudi datang ke rumah kami lagi. Iyin bukan bocah lagi, dia pasti tahu pekerjaan ibu yang sebenarnya, dan pasti jijik pada keluarga kami, dan sikapnya padaku pasti akan lain. Karena itu, aku tak langsung pergi ke ruang tengah dan malah melamun menatap piring di hadapanku.

“No, kau dipanggil,” kata Sari. 

Tak kujawab, aku tetap menunduk.

Tiba-tiba, tirai pintu yang membatasi ruang tengah dan dapur tersibak, “Kak Yatno!” Kata Iyin menggebu-gebu, dengan senyuman serta keceriaannya yang dulu.

Sontak aku mengangkat muka. Sekian detik aku sempat terpaku menatap gadis yang berdiri di ambang pintu ruang tengah. Iyin telah menjadi remaja, gadis yang manisnya luar biasa, bukan lagi gadis kecil menggemaskan dengan rambut bercabang dua seperti saat pertama kali kami bertemu, ketika dia dan Om Toto menghampiriku yang sedang menangis karena dihina Cik Eda pada hari pertama kami di SD.

Hari itu Iyin mengenakan celana jin panjang warna biru dan kaus berlengan panjang warna kuning. Selayang pandang, kutatap Sari dan membandingkan penampilannya dengan Iyin, penampakan mereka jauh berbeda. Pakaian yang Iyin gunakan benar-benar berfungsi, sedangkan pakaian Sari mengumbar lengan, bahu, sampai dada; siang itu Sari mengenakan baju tidur tipis yang hanya berlengan sejari.

“Halo, Kak Yatno!” Iyin mengulang ucapannya karena aku sama sekali tak bicara.

“Halo,” kataku, tanpa intonasi lantas menunduk.

Iyin langsung duduk di meja makan, persis di sampingku; dari gerak tubuh, Iyin sebenarnya berniat memelukku, tapi karena aku tak bergerak dan tak menatap wajahnya, dia hanya menyerahkan tangannya. Kami jabat tangan. Canggung. Saat kami jabat tangan pun aku belum berani menatap wajah Iyin.

“Kak Yatno, apa kabar?” Iyin coba melelehkan suasana.

“Baik,” kataku, masih tanpa intonasi dan belum juga menatapnya.

Setelah itu, Iyin banyak bicara, seperti dulu; bedanya, aku hanya menjawab sekadar saja. Iyin pun terus menatapku, seperti dulu; bedanya, aku terus berusaha agar mataku tak bertemu mata atau wajahnya.

Aku benar-benar malu saat itu. Aku malu karena diriku, karena keadaan keluargaku, dan karena Sari, yang duduk di seberang meja. Dulu, meski di sekolah aku sering dihina sebagai ‘anak sundal’, aku yakin Iyin masih terlalu kecil untuk memahami pekerjaan ibuku. Tapi, saat itu Iyin pasti sudah tahu siapa ibu sebenarnya, lebih lagi, di hadapan kami ada Sari dengan penampilan sundalnya. Walaupun saat itu masih siang dan Sari belum berdandan sebagai sundal, aura yang Sari pancarkan adalah aura sundal, wanita nakal, gauk yang tak pantas berkawan dengan gadis polos seperti Iyin.

Selama beberapa menit aku dan Iyin bercengkrama, Iyin seolah-olah tak menganggap keberadaan Sari di hadapan kami. Sari di seberang meja pun terus makan sambil menatap kami dengan senyuman yang tak putus, sempat kulihat mukanya ceria sekali melihatku berinteraksi dengan Iyin. Sari mungkin kaget aku punya kawan dekat seorang perempuan. Kemudian, ketika percakapan satu arah antara aku dengan Iyin berjeda, Iyin baru menyadari keberadaan Sari, “Halo, Kak. Aku Ririn,” sambil menjulurkan tangannya membelah meja.

“Sari,” kata Sari, menyambut uluran tangan Iyin. Mereka pun bercakap-cakap seperti biasanya dua orang asing yang baru saja berkenalan.

Saat Iyin sedang serius bicara dengan Sari baru aku berani menatapnya lama-lama, dan ada rasa puas menatap wajah Iyin dari dekat setelah sekian lama, semua kenangan masa kecil kami terputar ulang di kepalaku, dan ada Pije di sana. Aku merindukan masa kecilku.

Menatap Iyin dari dekat, aku merasa Iyin masihlah Iyin yang dulu, kepolosannya masih tampak nyata saat dia bicara, juga cerewetnya, cerianya, wajah yang penuh lukis senyum, dan keayuannya. Secara fisik, aku menginginkannya; secara emosi, dia adikku. Saat itu, aku masih merasa Iyin sebagai gadis kecil yang kuidamkan sebagai adik kecilku. Saat itu, aku baru merasa bahwa aku merindukan Iyin teramat sangat.

Namun, saat aku menggerakan kepalaku sedikit untuk menatap Sari, rasa malu itu kembali, aku dan Sari seolah-seolah tak pantas berada di meja makan bersama Iyin. Kami orang-orang yang terlalu kotor untuk sekadar bicara dengan Iyin.

Iyin tampak biasa saja. Kami baru bertemu lagi dan Iyin baru saja bertemu Sari, tapi Iyin memperlakukan aku dan Sari seperti kakak-kakaknya. Ketika Sari menawarinya untuk makan bersama kami, Iyin dengan senang hati menerima piring itu. Aku ingin melarangnya, dia tak pantas untuk melakukannya. Iyin tak pantas makan makanan dari uang haram. Tapi, aku gagu.

Aku benar-benar jadi orang bisu selama Iyin ada di meja makan bersama kami, ketika Iyin bertanya, jawabanku cuma dua: geleng atau angguk, bahkan untuk pertanyaan yang sebenarnya bisa kujawab dengan suara.

“Kak Yatno akan SMA di mana? Sudah ada rencana?”

Setelah diam cukup lama, aku menggeleng.

Sari yang mewakilkanku untuk menjawabnya dengan suara, “Sepertinya Yatno akan tetap di Tatara, tahun ini akan ada SMA baru di sini.”

Iyin menatapku, meminta jawaban dari mulutku langsung, tapi aku hanya mengangguk untuk membenarkan ucapan Sari.

“Sebenarnya, aku berharap Kak Yatno masuk SMA di kabupaten denganku. Aku sudah minta kepada papa supaya Kak Yatno tinggal di kabupaten dengan kami, dan papa sudah izinkan,” kata Iyin, intonasi suaranya layu, kekecewaan terbungkus jelas dalam suaranya.

Seterusnya, barangkali karena kebisuanku, Iyin lebih sering bicara kepada Sari, karena itu dalam satu pertemuan saja Iyin dan Sari sudah sangat akrab. Mereka akhirnya menjadi sahabat. Lebih-lebih, selama dua minggu Iyin ada di Tatara, Iyin dan Sari semakin sering bertemu sebab Iyin tak punya kawan dekat lagi di Tatara. Aku tak tahu apa yang mereka lakukan atau bicarakan, yang jelas Iyin sudah tak menganggapku lagi sebagai kawan dekatnya, tempatku digantikan oleh Sari. Aku sebenarnya tidak terlalu suka Iyin bergaul dengan Sari, perubahan Sari yang semakin mirip dengan ibu membuat aku takut Iyin terpengaruh. Iyin itu orang baik, wanita baik-baik, adikku; sehingga aku tak ingin kelakuan Iyin menjadi seperti kelakuan orang-orang biadab seperti aku dan Sari. Aku ingin mengungkapkan ketidaksukaanku itu kepada Sari, tapi aku takut Sari menganggapku merendahkannya, dan lagi, aku terlalu banci untuk bicara di depan Iyin. Karena itu, setiap kali Iyin datang ke rumah, aku pasti keluar dari rumah, aku benci melihat Sari dan Iyin berinteraksi.

 

*

 

Jika Iyin lebih sering menghabiskan waktu bersama Sari di Tatara, aku justru lebih banyak menghabiskan waktu bersama Om Toto. Beberapa kali beliau mengajakku untuk bertemu dengan kawan-kawannya, bahkan sekali waktu aku dibawa untuk bertemu Camat. Aku bangga bukan main saat bertemu Camat sebab Camat adalah kedudukan paling tinggi di Tatara, saat itu bagi kami orang Tatara, duduk berhadapan dengan Camat sama saja dengan berhadapan dengan Kepala Negara. Ketika kuceritakan pengalamanku itu kepada ibu, ibu gembira sekali. Padahal, ketika duduk bersama Camat aku tak bicara sepatah kata pun, Camat pun tak menganggap kehadiranku.

Pertemuan dengan Camat tak berarti apa-apa dibandingkan dengan pengalamanku diajak ke Pelabuhan bersama Om Toto pada suatu pagi. Pagi yang cerah. Pagi itu Om Toto mengajakku ke pelabuhan, dan sedang kami berjalan bersisian dalam hening, tiba-tiba Om Toto berkata, “Yatno, kau laki-laki yang bisa dipercaya atau tidak?”

Aku terkejut mendengar pertanyaan itu, ada sedikit rasa takut. “Saya tidak tahu, Om.”

Lihat selengkapnya