Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #24

saat pengungkapan

Suasana langsung canggung. Mungkin Iyin pun tak mengira bahwa aku akan menjauhkan pahaku saat dia hendak memegangnya. Dan kami diam cukup lama setelahnya, sampai kemudian Iyin yang memecah hening, “Kak, ayo pulang!”

Tanpa menjawab, aku berdiri, Iyin berdiri, kami berjalan bersisian dalam diam. Di gerbang, lagi-lagi Iyin memecah hening, “Kak, kita ke rumah kakak dulu, aku belum pamit pada Kak Sar. Besok aku pulang.”

Walaupun terkejut, aku hanya mengangguk dan tak bicara lagi sampai kami tiba di rumahku.

Perpisahan Iyin dengan seisi rumahku terjadi di ruang tengah. Perpisahan itu rasanya berbeda dengan perpisahan tiga tahun sebelumnya; bedanya, selain ada Sari, adalah sikap keterlaluanku.

Iyin menjabat tangan dan memeluk ibu terlebih dahulu.

“Hati-hati di jalan, Yin! Jangan lupa, sering-sering datang ke Tatara!” Kata ibu.

“Iya, Tante.”

Selanjutnya giliran Sari. “Yin, jangan lupakan aku! Di SMA nanti kau pasti bertemu kawan-kawan baru!” Kata Sari dengan mata berair lalu memeluk Iyin.

“Jangan bicara begitu, Kak Sar, jangan seolah-olah kita tak akan bertemu lagi.” Iyin tersenyum dengan mata yang juga berkaca-kaca. Mata Sari dan Iyin yang berkaca-kaca seolah jadi tanda bahwa mereka bisa menerka tingkah takdir. Pertemuan itu adalah pertemuan terakhir mereka. Iyin dan Sari tak pernah bertemu lagi sampai detik aku mengisahkan cerita ini.

Saat berhadapan dan jabat tangan denganku, Iyin hampir saja memelukku seperti waktu kami masih bocah, tapi aku sigap menghindarinya, sesudah melepaskan tanganku, aku buru-buru menggaruk punggungku agar Iyin tak punya kesempatan untuk memelukku. Wajah Iyin berubah karena tingkahku, dan aku langsung merasa bersalah, terang sekali kesedihan dan mungkin kemarahan pada wajahnya; tak ada lukis senyum pada bibirnya, seperti biasanya.

Entah mengapa rasa rendah diriku di hadapan Iyin semakin hari semakin keterlaluan, aku selalu merasa tak tenang, gugup, dan selalu mengkhawatirkan entah apa ketika berada di sekitarnya. Anehnya, saat air muka Iyin berubah di ruang tengah karena aku menolak pelukannya, aku merasa Iyin mulai menyukaiku. Masalahnya, aku tak mungkin mencintainya, dia adik kecilku. Terlebih, aku menghargai perasaan Pije dan tak ingin mengecewakan mendiang kawanku. Itu kata hatiku saat itu, dan itu hari yang kusesali. Hari yang berat.

 

*

 

Perpisahan dengan Iyin hanya satu dari dua kejadian yang kusesali hari itu. Hari itu, aku juga mengungkapkan perasaanku pada Sari. Tak kurencanakan sama sekali, pengungkapan itu terjadi begitu saja. Kejadiannya di dapur sesaat sebelum kami menuju warung untuk bekerja.

Saat itu, ibu sedang keluar rumah, Sari sedang mengganti pakaian serta mendandani diri sebagai sundal, sementara aku sedang minum kopi di dapur sambil menyesali perbuatan yang baru saja kulakukan kepada Iyin.

Dengan memegang gagang cangkir kopi yang berdiri di atas meja makan, aku duduk merenung, menatap pekarangan belakang lewat pintu belakang yang terbuka. Matahari telah tiada, cahaya yang semakin sedikit membuat penampakan pekarangan belakang seolah berwarna abu-abu, sebentar lagi malam. Sedang-sedangnya aku menatap pohon mangga besar milik tetangga, Sari muncul, sudah berpenampilan sundal seperti biasa: baju terusannya sangat ketat dan pendek, seluruh permukaan batang pahanya tampak; dadanya sesak dan terbuka jelas, belahannya dipertontonkan sedemikian rupa. Saking ketat busananya, Sari seolah-olah sedang dililit busananya sendiri. Penampilan Sari pasti memantik berahi semua lelaki yang melihatnya. Herannya, berahiku sama sekali tak berontak melihat Sari. Jujur saja, andaikata Iyin yang berpenampilan seperti itu, berahiku pasti berkelakuan tak karuan.

“Tante ke mana, No?”

“Sedang keluar, aku tak tahu ke mana.”

Sari lalu duduk di sebarang meja berhadapan denganku. Sekilas kuperhatikan, pupur murah yang dibeli di pasar sudah terpoles pada wajahnya. Kami tak bicara untuk sebentar, Sari sibuk membuat teh untuk dirinya sendiri.

“No, aku boleh tanya sesuatu? Aku penasaran.”

“Apa?”

Lihat selengkapnya