Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #25

selangkangan dan perasaan (penghabisan babak)


 

Aku dan Sari saling hindar selama beberapa hari, kami hanya berdekatan saat makan malam atau makan siang, itu pun karena ibu. Beberapa hari itu, aku selalu berangkat ke warung seorang diri dan lebih awal, bahkan kadang aku berangkat saat matahari belum tenggelam. Karenanya, aku selalu tiba saat warung masih kosong.

Suatu hari, saat aku baru tiba di warung dan memulai pekerjaanku, tiba-tiba Desi muncul. Desi adalah seorang pramuria sekaligus sundal warung.

Saat melihatku, dia langsung bertanya, “Om Nus atau Om Sefnat sudah datang?”

“Belum.”

“Ibumu?”

“Masih di rumah.”

“Syukurlah!” Desi lalu mendekatiku. Saat itu lampu di dalam warung belum kunyalakan, remang di dalam warung, tapi tampak jelas busana sundal Desi: rok pendek yang hampir saja mempertontonkan selangkangannya, serta kaus tipis yang sesak itu membuat bola dadanya ngontal-ngintul kala berjalan. Muka Desi berminyak sekali, belum dipupuri, dan tampaknya belum mandi. Aku tahu, Desi baru saja melayani tamu di luar.

Saat itu banyak sekali pramuria yang diam-diam melayani tamu di luar warung karena kalau mereka melayani tamu di warung, akan ada potongan 25% sebagai biaya ‘sewa kamar’. Mereka melakukannya diam-diam karena Om Nus, Om Sefnat, dan ibu pasti berang ketika tahu ada sundal warung yang melayani tamu di luar. Biasanya para pramuria ‘bekerja di luar’ pada sore hari sebelum datang ke warung. Tamu-tamu yang biasa memanggil mereka adalah orang kapal yang tak ingin mabuk dan main judi, tapi ingin zina.

“No, temani aku ke belakang, bisa?”

“Untuk apa?”

“Aku mau mandi,” kata Desi lalu dengan paksa menarik pergelangan tanganku.

Aku tak bisa berbuat apa-apa selain mengikutinya menuju kamar mandi di belakang warung. Letak kamar mandi cukup jauh dari warung, Desi mungkin takut.

Sebelum Desi masuk ke dalam kamar mandi, ia sempat memintaku untuk membukakan ritsleting roknya yang ada di bagian belakang. Sesudahnya, tanpa sungkan Desi membuka rok, kaus, dan kutangnya di hadapanku lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi, membelakangiku dengan tubuh telanjangnya. Saat itu, aku adalah pekerja paling muda di warung sehingga para sundal di sana masih menganggapku sebagai bocah atau adik bungsu, mereka tak pernah sungkan melakukan apa pun di hadapanku. Saat melihat Desi setengah telanjang, berahiku sama sekali tak terpancing, sebagai anak seorang sundal yang hidup di antara para sundal selama bertahun-tahun, aku sudah terbiasa melihat tubuh setengah telanjang perempuan. Seingatku, meski saat itu tubuhku sudah dipenuhi bulu, aku jarang sekali terangsang melihat perempuan, kecuali saat bersama Iyin di dermaga.

Sesudah mandi, Desi keluar dari kamar mandi tanpa sehali benang pun pada tubuhnya, benar-benar telanjang bulat, semua pernak-pernik tubuhnya nyata di mataku, tapi dia tak merasa sungkan sama sekali, seolah aku adalah suami atau anaknya. Celanaku langsung sesak pada detik pintu kamar mandi terbuka. Aku memang sudah terbiasa berada di sekitar sundal yang setengah telanjang, tapi baru malam itu aku melihat dengan mata kepala seorang perempuan telanjang di hadapanku, terlebih usia Desi lebih tua sedikit saja dibanding Sari sehingga lemaknya belum banyak. Desi memang telah bersuami dan beranak, tapi bentuk tubuhnya masih singset.

Sejak melihat Desi telanjang, kemaluanku tak kunjung mengendur. Selama aku bekerja malam itu, tubuhku benar-benar lain rasanya, kedua kakiku lemas saat berdiri; saat duduk, aku seperti cacing kepanasan, pantatku gelisah ke kiri dan kanan. Sampai kemudian, Sari bertingkah dan berahiku benar-benar mencapai puncaknya.

Malam itu Sari dan ibu terlambat datang. Sudah banyak tamu ketika mereka tiba, dan munculnya Sari langsung membuat para tamu heboh, beberapa pria memperebutkan Sari, bahkan dua orang pria hampir saja baku hantam karena Sari, diawali dengan adu mulut sampai saling remas kerah baju. Nama binatang, kutukan, sampai segala makian yang paling kasar terdengar. Suasana semakin panas ketika kawan-kawan dua pria itu berdiri dan baku hantam antar-kelompok siap kejadian. Namun, sebelum sempat baku hantam kelompok itu pecah, Sari dengan sigap berdiri di tengah dua pria itu dan berkata, “Tenang! Aku yang akan ambil keputusan. Begini saja,” Sari tanpa sungkan langsung memegang selangkangan kedua pria itu secara bersamaan, “Yang paling besar akan kutemani.”

Lihat selengkapnya