Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #27

uang dan keangkuhan

Uang adalah akar dari segala kejahatan. Kalimat itu sangat berkesan untukku sebab kalimat itu selalu mengingatkanku pada Ibu Ani. Jika tak keliru, kalimat itu kudengar dari seorang pengkhotbah saat diajak pergi ke tempat ibadah oleh Ibu Ani. Pertama kali aku mendengarnya, aku tak menganggapnya penting; ayat-ayat agama sudah sewajarnya berisi kata-kata bijak, lagi pula saat aku mendengarnya, aku masih bocah dan belum terlalu fasih berurusan dengan uang; sampai kemudian, saat tahu apa itu uang, aku mengalami sendiri lalu mengamini kata-kata bijak itu. Uang adalah akar dari segala kejahatan bukan saja kata-kata bijak atau sekadar peringatan, itu adalah hukum umum kehidupan.

 

*

 

Hubunganku dengan Sari membaik begitu saja. Sari menegurku pada suatu sore, aku menanggapinya, dia bertanya tentang sesuatu, kami bicara, dan segalanya kembali seperti biasa, seolah-olah tak ada yang terjadi, aku bahkan sempat lupa pada penolakannya yang membuatku sakit hati. Mungkin karena kami tinggal serumah, dan selayaknya saudara dekat yang tinggal satu atap, pertengkaran dan rekonsiliasi adalah siang dan malam, sudah sewajarnya terjadi hari-hari. Namun, seminggu setelah rekonsiliasi kami, Om Toto datang lagi ke Tatara untuk mengurusi pengiriman bisnis kopra pertamanya. Dan itu adalah awal dari segalanya.

Aku diajak ke sana-sini agar paham bagaimana bisnis tersebut bekerja, dengan harapan nantinya aku bisa menangani sendiri tanpa beliau. Beliau sudah mempersiapkan segalanya, termasuk gudang penampungan dekat pelabuhan. Juga sudah ada dua karyawan lain yang siap bekerja, tugas dua orang itu adalah tukang catat proses timbang-menimbang kopra. Selain itu, ada beberapa orang lagi yang bekerja di gudang, mereka adalah buruh kasar yang dibayar harian menurut jumlah karung kopra yang mereka pikul. Aku sendiri bertugas menunggui meja dan melakukan segala aktivitas yang berhubungan dengan uang. Sebagai tangan kanan Om Toto, ketika tak ada beliau, akulah yang paling berkuasa di gudang, dua karyawan tadi dan para buruh sangat patuh kepadaku.

Pada bulan ketiga usaha Om Toto berjalan, kami sudah memonopoli pengiriman kopra di Tatara, bahkan para petani kopra dari pulau-pulau di sekitar Tatara pun menjual kopranya kepada kami. Aku menganggumi cara berbisnis Om Toto, khususnya cara beliau mengakali biaya transportasi untuk menekan biaya tanpa mengorbankan petani. Mungkin zaman sekarang apa yang Om Toto lakukan adalah hal biasa, tapi zaman itu, di tempat terpencil, di wilayah kepulauan, hanya beliau yang melakukannya, selain tentu, orang Cina. Sampai beliau akhirnya wafat, beliau sudah menjual kopra langsung ke Pulau Besar, bukan lagi ke Provinsi. Saat aku mengisahkan cerita ini, aku sedang berusaha mewujudkan mimpi beliau untuk menjual kopra-kopra kami langsung ke luar negeri.

 

*

 

Kesuksesan usaha Om Toto juga berdampak langsung padaku, membuat aku jadi orang kaya dalam waktu singkat, pada usia yang sangat muda. Dan sewajarnya anak muda tanpa pengalaman memegang banyak uang, aku berubah seketika, daguku tak pernah turun lagi saat berjalan, aku menjadi sangat angkuh.

Keangkuhanku dimulai di sekolah. Meski sibuk bekerja, aku tetap masuk SMA yang baru dibuka di Tatara. Tapi, aku jarang sekali datang ke sekolah karena kesibukanku di gudang. Aku sebenarnya ingin berhenti sekolah mengingat apa yang Om Toto katakan, “Laki-laki tak perlu sekolah tinggi.” Sayangnya, ibu tak sepakat, dan mau tak mau aku tetap menjadi siswa di SMA itu. Agar segalanya berjalan lancar, agar pendidikan tak menganggu pekerjaanku, aku menyuap hampir semua engku dan encik di SMA.

Selain itu, aku juga berhenti bekerja di warung. Meski begitu, aku masih sering datang ke sana untuk minum-minum. Tujuan kedatanganku ke warung bukan untuk minum-minum saja, aku juga berniat memamerkan kekayaanku sekaligus mengejek dan merendahkan Rinto saat kesadaranku sudah dirampas alkohol. Suatu ketika, hanya karena ia menumpahkan minuman di meja dan setetes minuman itu mengenai kausku, aku membentaknya, “Oi, tolol! Kau buta? Idiot! Anjing! Babi!” Lalu aku meludahi wajahnya.

Rinto tak bisa apa-apa, aku tamu di sana.  

Saat itu perhatian semua orang langsung tertuju kepadaku. Termasuk ibu dan Sari yang ada di sana. Ibu tak melakukan apa-apa, tapi Sari yang ada di meja sebelah bersama tamu lain langsung menghampiriku, dan menarik tanganku keluar dari warung.

Di luar warung, sedang kami berhadapan, Sari menamparku. “Kenapa kau berlaku seperti binatang? Rinto itu manusia, No! Kau tak dididik seperti ini, mengapa kau jadi seperti ini?” Sari lalu bicara panjang lebar, tapi aku sudah tak menyimak lagi kata-katanya karena penglihatanku semakin oleng.

Sari terus bicara sampai entah mengapa dia mulai menangis. Seketika itu kesadaranku kembali. Walaupun kami berdiri di depan warung yang remang dan berisik karena suara musik disko, tampak jelas basah wajah Sari. Aku iba, karenanya aku coba memeluknya, tapi dia mendorongku dan langsung masuk lagi ke dalam warung. Aku pulang ke rumah dengan sempoyongan.

 

*

 

Esoknya, ketika aku sudah benar-benar sadar, ibu tak berkata apa-apa tentang perlakuanku pada Rinto. Mungkin karena ibu sudah terlalu sering berurusan dengan pria angkuh dan keparat macam aku. Lebih lagi, ibu sering kuberikan uang untuk biaya keperluan rumah. Entah diamnya ibu saat itu karena dia menganggapku sudah dewasa, entah karena penghasilanku adalah yang terbesar di rumah, entah karena ibu tak peduli padaku lagi. Aku tak tahu.

Sari agak berbeda, kelihatannya dia menyimpan marah sehingga dia mendiamkanku sampai beberapa hari setelahnya. Tak seperti sebelumnya ketika hubungan kami merenggang dan dia yang lebih dulu bicara lalu kami rekonsiliasi tanpa kata maaf, kali itu Sari sepertinya marah sekali padaku. Dia tak pernah lagi membangunkanku pada pagi hari untuk berangkat ke sekolah, tak pernah lagi menawariku kopi, dan selalu menghindariku.

Awalnya aku maklum dan membiarkannya, tapi akhirnya aku jengkel juga.

Pada suatu sore, saat aku tiba di dapur dan ada Sari di sana, seketika dia berdiri dari bangku untuk meninggalkan dapur. Sudah puluhan kali Sari melakukan itu dalam beberapa hari saja, dan itu menjengkelkan. “Kau kenapa?” Kataku kepadanya yang sudah membelakangiku. “Kau masih marah gara-gara Rinto biadab itu?”

Sari tiba-tiba balik badan. “Kau masih merasa benar, eh? Kau tidak mau minta maaf pada Rinto? Masih juga kau tanya apa aku marah? Apa kau tak merasa bersalah, No?”

“Sari, aku melakukannya karena aku masih tak terima cara dia memperlakukanmu waktu itu, waktu dia datang ke sini dan merendahkanmu di depan aku, ibu, Om Nus, dan Om Sefnat!”

Sari diam. Aku menatap matanya tapi dia menghindari mataku. Beberapa saat lewat, dia akhirnya menatap mataku. Cukup lama kami saling tatap tanpa ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Akhirnya aku mendekatinya, kami berhadapan dekat sekali, dan aku memegang bahunya, “Aku minta maaf. Dan aku janji, aku juga akan minta maaf pada Rinto, tapi jangan salahkan aku kalau ia tak mau memaafkanku.”

Sari tetap bisu.

Aku meremas bahunya dengan lembut. “Sari, lelaki yang mencintai perempuannya tak akan diam saja melihat perempuannya direndahkan. Kalau saja adikmu di kabupaten itu melihat kau direndahkan, ia mungkin juga akan melakukan apa yang aku lakukan.”

Mungkin karena aku menyebut adik sialannya itu, keras hati Sari mengendur, dia akhirnya buka mulut. “No, aku cuma mau kau belajar untuk menghargai orang, seberapa pun banyaknya hartamu.”

Aku mengangguk untuk mengiakan apa yang diucapkannya, untuk menyenangkannya saja; sebenarnya aku tak peduli pada nasihatnya itu. Saat itu aku berpikir apa yang Sari ucapkan adalah omong kosong. Dia tak lebih baik dariku, dan mana mungkin setan mendengar nasihat bijak setan lain.

Setelah itu Sari menawariku kopi, aku mengangguk, dan dia membikinkan secangkir untukku.

“Mau biskuit, No?” Katanya sesudah meletakkan cangkir di hadapanku.

Lihat selengkapnya