Sebelum kuceritakan kelanjutan hubunganku dengan Sari, ada baiknya kuceritakan dulu percakapanku dengan Om Nus yang disaksikan patung Raja Tatara. Percakapan ini sebenarnya adalah peringatan semesta yang tak kuhiraukan.
*
Sore itu aku baru saja pulang dari gudang dan sedang minum kopi di dapur, melamun memandang ke pekarangan belakang, di luar mulai remang; tiba-tiba Om Nus muncul, ia masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam dan tanpa tanya kabar; ia muncul, duduk di hadapanku, dan berkata, “Ikut aku, Yatno!”
“Ke mana?”
“Ikut saja!”
“Tapi—.”
“Jangan mentang-mentang kau sudah jadi orang kaya, kau tak lagi menghargaiku.”
Aku terkejut bukan main. Walaupun aku sudah punya cukup uang dan tak bekerja lagi di warung, aku berusaha untuk bersikap seperti dulu kepada Om Nus. Ia sangat baik kepadaku, sekaya-kayanya aku, aku tak ingin ia menganggapku berubah. Ia itu satu dari sedikit orang baik yang pernah kukenal. “Ya sudah, Om. Aku minta izin dulu sama ibu sebelum mereka pergi—.”
“Tak perlu, ibumu tak ada di rumah.”
Aku mengangguk lantas bangkit dari kursi.
“Kutitip ini di sini, boleh?” Om Nus menyerahkan tali kapal warna coklat. Tali itu biasa dipakai untuk mengikat sampan agar tak hanyut saat ditinggalkan di dermaga. Om Nus baru saja pulang dari pulau sebelah.
Aku mengambil tali itu dan menaruhnya di bawah kompor.
*
Om Nus memboncengiku dengan motor baru miliknya. Saat itu banyak orang Tatara sudah punya motor, kebanyakan karena hasil jual tanah, tapi Om Nus membeli motor itu dari hasil warung.
Kami menuju belakang pulau dan berhenti di Taman Raja Tatara, taman itu dibangun di sekitar patung Raja yang kuceritakan sebelumnya. Tempat itu terang sekali, banyak lampu-lampu sudah terpasang dan ada banyak bangku baru di sekitar taman. Tempat itu telah menjadi tempat orang-orang menghabiskan malam, termasuk orang Tatara, penjajah, dan para wisatawan yang saat itu mulai banyak berkeliaran.
Baru saja kami duduk di salah satu bangku taman, Om Nus buka suara, “Ada dua hal yang ingin kubicarakan denganmu, Yatno.” Wajah Om Nus sangat serius ketika itu, ia juga tak tersenyum seperti biasanya. Lebih-lebih, ia menyebut namaku, bukan ‘Boy’.
Aku langsung merapikan dudukku.
“Aku akan menikah sekitar dua minggu lagi. Kuharap kau datang.”
“Mengapa tergesa-gesa sekali?”
“Tina bunting.” Om Nus akhirnya tersenyum.
“Selamat, Om. Ada yang bisa kubantu?”
“Datang saja ke rumahku untuk membantu kami mempersiapkan semuanya.”
“Maksudku uang, Om.”
Om Nus menggeleng. “Terima kasih! Aku masih bisa membiayai pernikahanku sendiri.” Senyumannya terhapus lagi. Jelas sekali ia tersinggung.
“Maaf, Om. Aku tidak bermaksud untuk—.”
“Ini yang membuat aku berpikir kau berubah, Boy.” Om Nus menggeleng lagi. Kali itu wajahnya tampak sedih. “Aku tahu bagaimana kau merendahkan Rinto saat itu, aku tak ada di sana, tapi orang-orang membicarakannya. Aku ingin bicara denganmu tentang itu.” Om Nus diam tiba-tiba. Cukup lama. Kebetulan saat itu kami duduk menghadap patung Raja yang tinggi itu. Dan selama diamnya, Om Nus menengadah memandangi wajah Raja Tatara.
“Aku tahu kau membenci Rinto. Tapi, aku tak bisa terima caramu merendahkannya dengan meludahi wajahnya tanpa meninjunya. Aku kecewa sama kau, Boy.”
Om Nus melepaskan tatapannya dari wajah Raja Tatara lantas menatap wajahku, “Saat di rumahmu waktu itu, kau meninjunya, apakah aku marah?”
Aku menggeleng.
“Ya, aku tak marah, aku senang. Apa yang kubilang waktu itu?”
“’Bagus, Boy! Jangan pernah biarkan orang lain menghina perempuan di dalam rumahmu,’” kataku mengulangi ucapan Om Nus yang dulu.
“Tapi apa yang kau lakukan pada Rinto di warung waktu itu kurang ajar, Boy. Jujur saja, aku sangat-sangat kecewa. Andaikata waktu itu kau meninjunya, aku mungkin lebih senang daripada kau meludahinya dan merendahkannya dengan kata-kata dan memperlakukannya seperti binatang. Aku kecewa, Boy. Aku mungkin seusia ibumu, tapi kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri, Boy. Dan mendengar orang membicarakan sikap angkuhmu, aku sedih. Aku kecewa bukan main, Boy. Kau sering melihatku meninju orang sampai babak belur, dan mungkin saja kau anggap nasihatku ini omong kosong. Tapi, Boy, kau perlu tahu, memar perasaan seseorang bertahan 100 kali lebih lama daripada memar fisik karena ditinju. Sakit karena ucapan lebih abadi daripada sakit ditinju, Boy.”
Hening sebentar.
“Aku kecewa, Boy. Aku—.”
“Maaf, Om Nus,” kataku menukasnya. “Aku minta maaf karena membuat Om Nus kecewa.” Seusai mengucap maaf, aku ingin menangis. Aku menunduk. Aku menunduk cukup lama agar air mataku tak tumpah. Sampai kemudian, saat aku mengangkat muka lagi, mata Om Nus juga berkaca-kaca. Aku ingin tertawa saat itu, tapi kutahan. Sangat ganjil, melihat raksasa itu sedih.
“Kendalikan dirimu, Boy. Belajarlah kendalikan dirimu! Sepengalamanku, kurasa kemampuan mengendalikan diri itu penting sekali, mungkin yang paling penting. Sayangnya, itu juga yang paling sulit untuk dipelajari. Dulu, aku keluar masuk penjara karena aku tak bisa mengendalikan diri. Dan aku tak ingin kau hidup macam aku ini. Kau paham, Boy?”
“Paham.”
Kami diam lagi. Tatapan Om Nus kembali kepada patung Raja, lalu kepadaku lagi. “Boy, omong-omong soal pernikahanku. Aku senang bukan main, Boy. Aku akan menikah, Boy. Aku tak akan mati sendiri, Boy.” Wajahnya ceria. “Dulu kupikir aku akan mati seorang diri.”
Kami tertawa.
“Kau pasti tahu tentang kisah hidup Raja, bukan? Kau tahu tentang kegagahannya, kekayaannya, kecerdasannya, dan kebijaksanaannya, bukan?”