Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #29

berahi dan emosi

Aku sempat menolak saat Om Nus mengajakku pergi ke warung, tapi karena Om Nus terus memaksa, aku ikut.

“Aku harus membeli air minum dulu, Om,” kataku saat Om Nus sedang memarkir motor.

“Ya, sudah, aku masuk dulu.”

Saat Om Nus masuk, aku langsung berjalan menuju rumah. Malam itu aku lelah sekali, aku hanya ingin tidur. Lebih-lebih, aku tak ingin bertemu Sari di warung. Kami masih bersitegang karena hendaknya menikahi seorang sarjana. Agar lebih cepat sampai di rumah, aku berjalan pulang lewat jalan belakang, menyusuri pekarangan belakang rumah penduduk.

Pekarangan belakang rumah orang Tatara biasanya tak berpenerang tapi karena malam itu sinar purnama cukup terang, aku dapat melihat hingga jarak beberapa meter ke depan. Saat itu tak kutemui siapa pun yang sedang beraktivitas di pekarangan belakang. Sampai kemudian, tak sengaja dari jauh tampak seseorang sedang berdiri di samping sumur, dia telanjang dan membelakangiku; aku segera tahu kalau itu adalah tubuh perempuan karena rambut panjangnya yang terurai serta bentuk tubuh telanjangnya menampilkan garis pinggang khas perempuan. Perempuan telanjang itu sedang menggosok-gosok tubuhnya, menyabuninya barangkali.

Untuk sebentar aku mematung–terpesona pada tubuhnya yang kemudian seolah-olah menjadi magnet yang menarik tubuhku untuk mendekatinya dan memeluknya dari belakang dan memperlakukannya seperti binatang. Sekian detik lewat, tanpa sadar kakiku mulai melangkah ke depan mendekati sebuah pohon, dan di balik pohon itu aku berlindung selama beberapa menit untuk memandangi perempuan telanjang itu. Cahaya purnama yang memantul pada tubuh basahnya membuat bahu, pinggang, bokong perempuan itu seolah membiru dalam remang purnama; menciptakan sensasi berbeda yang menggelorakan berahi, membikin lutut dan jari-jari kakiku lemas seketika. Karena itu, entah apa isi pikiranku, kutempelkan selangkanganku pada batang pohon di depanku dan menekannya kuat-kuat, membuat aku mendesis, menikmati kenikmatan yang taranya tak ada. Aku sempat ingin beranjak karena takut keberadaanku diketahui, tapi kakiku rasa-rasanya sudah terpaku di tanah tempat aku berdiri. Sesudah dia menggosok-gosok badannya dengan sabun lalu mengeramasi rambutnya, perempuan telanjang itu menyirami tubuhnya dari kepala; air mengalir turun dari pundak ke pinggang ke kaki membuat tubuhnya mengilap seketika dan tubuhku pun menggelinjang tak karuan. Namun, tiba-tiba saja, dia memutar badannya menghadap ke arahku. Meski terlindung batang pohon, dan aku yakin dia tak melihatku, aku tersentak sadar seketika, balik badan dan berjalan ke arah sebaliknya, memilih jalan lain menuju rumah.

Sisa perjalananku ditemani bayang-bayang perempuan telanjang di samping sumur. Saat-saat itu, entah karena emosi atau apa, aku merasa aku gampang sekali berahi, bahkan setiap kali aku melihat perempuan yang pakaiannya sedikit terbuka saja, kemaluanku langsung keras; tak jarang pakaian dalamku sampai basah, persis yang terjadi saat kutempelkan kemaluan di batang pohon itu. Penampakan yang membuat berahiku muncul pun kadang terlalu sembarangan dan tak kenal tempat. Pernah sekali waktu aku secara tak sengaja melihat seorang ibu-ibu di atas becak yang duduk dengan kedua paha yang sedikit terbuka, aku langsung berahi. Aku kebingungan dengan berahiku. Aku berahi melihat perempuan lain tapi tak pernah berahi melihat Sari. Padahal itu yang kuinginkan.

 

*

 

Aku tiba di rumah sekitar jam 10 malam dan langsung menuju dapur untuk memanaskan air mandi. Dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati Sari sedang duduk di dapur. Aku seketika buang muka ketika kami tukar pandang. Keberadaannya di rumah tak kuduga sama sekali, dia seharusnya sudah berada di warung. Apalagi hari itu hari Sabtu, malam Minggu, banyak pelanggan yang siap menggelarinya di atas ranjang.

Tubuh perempuan telanjang di samping sumur langsung terhapus dari pikiranku karena melihat muka Sari. Saat-saat itu, setiap kali berada di sekitarnya kekesalanku dan amarahku pasti memuncak dan sulit dikendalikan.

Menghadap kompor, membelakangi Sari, aku mempersiapkan air panasku sendiri, Sari tak menawarkan diri untuk membikinkan air panas untukku. Sesekali aku curi-curi pandang padanya, dia duduk di meja makan dengan kain panas melilit badannya, di balik kain itu dia juga mengenakan jaket tebal; kain dan jaket itu ukurannya lebih tebal dari tubuhnya, membuat ukuran tubuh Sari tampak segemuk gajah. Walaupun begitu, samar kelihatan tubuhnya gemetar, kedinginan; wajahnya pucat dan bibirnya biru, dia memegang gelas dengan kedua telapaknya, seolah sedang mencekik gelas itu. Kelihatannya dia sedang sakit.

Meski mengkhawatirkan keadaannya, tak kupusingkan. Aku terus saja dengan kegiatanku, memanaskan air dan pergi mandi tanpa menyapa atau menatapnya dengan sengaja. Dia pun berlaku seolah aku tak ada di sana. Perang diam kami tetap. Karena sikapnya, tekadku untuk mengabaikannya pun semakin menjadi-jadi. Aku akan menyapanya kalau dia yang lebih dulu menyapaku.

Selama aku menyiram tubuhku yang letih, pikiranku kembali banyak lagi: soal percakapanku dengan Om Nus, soal kondisi Sari, dan tentu, wanita telanjang di samping sumur sebelumnya. Yang terakhir yang paling menggangguku, setelah sempat hilang saat berada di sekitar Sari, berahiku kembali lagi di kamar mandi, imajiku bertaji lagi sebab tubuh telanjang yang memantulkan cahaya purnama itu. Seolah biru dan menggairahkan. Setiap kali aku mengguyur tubuhku dengan air dan menutup mata, tubuh telanjang itu seolah berdiri di hadapanku, membikin pedang penghidupanku membatu sedemikian sangat. Baru kali itu aku bernafsu sebegitu.

 

*

 

Usai mandi aku langsung pergi ke kamarku, ganti baju, dan siap-siap tidur.

Beberapa menit berbaring dengan tubuh yang letih, terpikir agar aku onani saja untuk menenangkan berahiku. Setelah memeloroti celana dan memegangi sang pedang penghidupan, Iyin dan mimpi basah itu muncul dalam pikiranku. Sekuat tenaga kucoba membayangkan wanita lain, termasuk Sari dan si perempuan telanjang di samping sumur, tapi entah mengapa Iyin tetap di sana. Akhirnya, kuputuskan untuk berhenti. Aku berusaha tidur, tapi aku terus gelisah. Kucoba sekali lagi membuka celanaku dan memegang sang pedang penghidupan, Iyin datang lagi. Susah sekali memuaskan diriku sendiri tanpa Iyin. Saat celanaku tertutup, perempuan telanjang itu menggangguku; setelah kubuka celana dan memegang sang pedang penghidupan, malah Iyin yang muncul di kepalaku. Aku kesal pada diriku sendiri malam itu.

Tiba-tiba, suara dari kamar sebelah mengejutkanku, “Yaaat ... No ..., Yaaat ... No ..., Yaaatno.” Suara Sari teramat lirih dan serak seolah-olah tenggorokannya berpasir.

Aku melompat keluar dari ranjang seperti orang dibangunkan setan lalu berlari ke kamar sebelah. Berahiku dan perang diam kami tak kupusingkan lagi.

Telak menatap Sari terbaring tanpa daya di atas ranjang, aku teringat kejadian waktu aku hampir mati di kontainer bertahun-tahun sebelumnya. Dia masih berjaket tebal dan dililit kain panas garis-garis; wajahnya lesu, pucat, dan berminyaki keringat; Sari benar-benar seperti orang sekarat. “Kau kenapa? Kau kenapa?”

“Yaaatno, tolong ... ambilkan bajuku ... di lemari, aku pusing ... sekali, aku ... tak bisa bangun.” Telunjuknya diangkat perlahan-lahan lalu mengarah ke lemari kayu di sudut kamar.

Aku beranjak ke lemari, meraih sepotong baju, dan menyerahkannya kepada Sari. Sampai lima menit kemudian aku tetap berdiri di samping tempat tidur menatap Sari yang sedang bersusah payah bangun dari pembaringan. Tak tega, aku memegang lengannya untuk membangunkannya lalu membantunya membuka jaket dan bajunya yang sudah basah kuyup karena keringat. Sari tak berkata apa-apa, kelihatannya untuk bicara saja dia tak berdaya.

Sari sudah setengah telanjang, bagian tubuh bagian atas hanya tertutupi beha saja. Sekujur tubuhnya pucat dan basah, keringat mengalir dari semua pori-porinya membuat bercak air tampak pada beha putihnya.

“Tak kau ganti saja behamu?” Kataku.

Sari menggeleng.

“Sejak kapan kau sakit?”

“Pagi,” katanya, lalu melipat kedua kakinya agar duduk bersila.

Aku kembali menuju lemari dan menarik keluar sepotong beha warna biru muda lalu menaruhnya di pahanya. “Ganti saja! Kau sudah mandi keringat dari tadi!”

“Tolong ambilkan segelas air, No.”

Aku mengangguk lalu keluar kamar dengan tergesa, aku khawatir sekali dengan keadaannya saat itu. Sedang melintasi ruang tengah, aku sempat menengok jam dinding, saat itu hampir jam 12 malam dan jam dinding itu akan berbunyi sebentar lagi, jam itu selalu berdentang teng! teng! teng! Setiap pergantian hari.

Aku membawa gelas besar kosong di tangan kanan dan cerek kecil berisi air menuju kamar Sari. Sebelum membuka pintu kamar, aku menjepit gelas besar itu di ketiakku agar aku bisa memegang gagang pintu, bersamaan, jam itu berbunyi, aku terkejut bukan main dan hampir saja menjatuhkan gelas yang ada di ketiakku; untungnya jepitan di ketiakku cukup kuat.

Lihat selengkapnya