Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #30

seorang asing

Hening. Suasana mati menyelimuti kamar ketika aku bangkit dari ranjang dan memunguti handuk dari lantai. Di ranjang Sari telanjang, sedang meringkuk menghadap ke arah tembok, membelakangiku. Dia tak bersuara dan tak bergerak sama sekali.

Saat aku mulai membinatanginya, dia sempat melawan, berontak, menendangku, memukuliku, tapi setelah kutampar pipi kanannya satu kali dengan kekuatan raksasa, dia diam dan langsung menutup matanya. Dia diam sampai aku selesai, tak ada air mata, tak ada suara, tak ada gerak. Dia seolah jadi boneka. Pasrah selama aku jadi anjing. Dan ketika aku selesai, dia langsung meringkuk memunggungiku.

Aku berdiri cukup lama memandangi tulang belakangnya. “Aku akan tanggung jawab kalau terjadi apa-apa,” kataku, lalu memegang bahunya.

Sari sigap menjauhkan bahunya.

Aku keluar dari kamar dengan berat hati, satu sisi aku tak ingin meninggalkannya, di sisi lain aku malu, merasa bersalah, dan merasa berdosa berada di dekat seseorang yang baru saja kunodai.

Aku menuju kamarku, pakai baju, dan langsung keluar dari rumah. Saat itu sudah lewat tengah malam.

Aku tak tahu harus ke mana malam itu. Pikiranku kosong. Aku membiarkan kakikku membawaku ke mana saja. Sampai kemudian aku telah berada di pelabuhan. Aku terus menuju dermaga.

Di ujung dermaga, di dekat kapal-kapal besar, aku seolah-olah menjadi bocah lagi, bau air laut, bensin, solar, bunyi mesin yang berisik, angin malam, serta desir kepak ombak, juga pekatnya warna laut; membuat aku teringat kembali masa kecilku, ketika aku bosan menunggui kontainer milik ibu dan aku berjalan-jalan ke dermaga dengan jutaan mimpi di dalam kepalaku, mimpi seorang bocah tak berdosa.

Aku teringat akan mimpiku berkelana dengan kapal mengelilingi dunia lalu pada saatnya aku akan pulang dan membawa uang yang sangat banyak untuk ibu. Aku tersenyum ketika mengingat semua mimpi itu. Namun, ketika aku menatap permukaan air laut yang hitam pekat dan seberkas pantulan cahaya lampu yang di atasnya menyilaukan mataku, mendadak aku sedih. Aku merasa segalanya telah berubah. Aku bukan lagi seorang bocah lugu yang tak pernah berpikir untuk berbuat jahat. Aku sudah menjadi orang yang berbeda. Aku bukan manusia, aku binatang.

Sejenak lewat, aku balik badan dan melihat ke arah daratan, titik-titik lampu dari rumah-rumah di sepanjang bibir pantai membuat air mataku sebentar lagi akan menetes. Aku masih tak tahu mengapa aku sangat sedih, saat itu Sari belum kupikirkan sama sekali. Aku masih mempertanyakan diriku sendiri. Aku lalu berjalan mendekati bagian ekor sebuah kapal besar yang sandar di dermaga. Suara mesin kapal yang berada di ekor kapal itu nyaring sekali, aku tak mendengar apa-apa lagi selain suara mesin. Aku terpaku di sana situ selama beberapa menit sampai seseorang dari atas kapal berteriak kepadaku, “Oi, kau buat apa di situ?”

Aku tak menjawabnya, balik badan, dan berjalan pulang dengan setitik air mata yang jatuh membasahi pipiku. Saat itu, aku merasa aku baru saja menemui seorang asing dalam diriku, seorang yang tak kukenal, dan entah mengapa aku merasa, babak baru dalam hidupku, telah dimulai.

 

*

 

Di jalan pulang, sedang aku larut dalam sedih yang teramat-amat dan mata yang berkaca-kaca, saat melintasi dego-dego aku berpapasan dengan puluhan pria bersenjata tajam, parang, tombak, panah, linggis, dan sebagainya. Mereka berjalan menuju satu arah, dan arah itu seolah-olah adalah medan perang. Mereka berteriak dan menghasut.

“Penjajah!”

“Pembunuh!”

“Ayo! Usir Nusantara!”

“Ayo! Usir Nusantara si penjajah!”

“Nusantara pembunuh!”

“Kalau kau orang Tatara ikut kami! Kita usir penjajah!”

Kesedihanku segera berganti rasa penasaran. Karenanya, tanpa kuniati, aku tak terus menuju rumah, malah berjalan di belakang rombongan pria bersenjata tajam.

Pria-pria itu terus berteriak. Teriakan mereka membangunkan semua orang, dan sepertinya itulah niat mereka, mereka berkeliling untuk mengajak orang-orang bergabung. Para pria di dalam setiap rumah yang rombongan kami lewati, pasti langsung keluar dari dalam rumah dan bergabung dengan rombongan kami. Sementara perempuan dan anak-anak tetap berdiri di teras rumah masing-masing, mereka berteriak menyemangati kami.

Sampai saat itu, aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Bangun! Bangung! Ayo bergabung!”

“Kita perang dengan pencuri!”

“Pencuri! Orang Pulau Besar itu pencuri!”

“Usir orang Pulau Besar!”

“Kami keturunan Raja! Kami tidak takut! Kami ingin berperang!”

“Usir Nusantara dari Tatara!”

“Usir Nusantara!”

“Usir Nusantara!”

“Usir Nusantara!”

“Bangun! Bangun!”

Perjalanan rombongan kami berakhir di kantor camat, dan di depan kantor camat sudah berdiri ribuan bahkan ratusan pria, banyak orang berdatangan dari segala penjuru Tatara subuh itu.

Lihat selengkapnya