Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #31

pembalasan

Tujuanku adalah warung. Om Sefnat pasti ada di sana.

Sepanjang perjalanan sejak keluar dari rumah, keadaan Tatara bak pulau yang baru saja jadi tanah perang. Semua orang yang kutemui di jalan adalah pria bersenjata, tak ada perempuan, bahkan di teras-teras rumah pun. Beberapa rumah, toko, dan tempat makan milik Orang Pulau Besar tampak baru saja dijarah. Yang terdengar di sepanjang jalan adalah teriakan, beberapa orang minta tolong, beberapa orang mencaci-maki. Tapi, semua itu sudah tak kupusingkan lagi. Di dalam kepalaku hanya ada Om Sefnat si jari buntung laknat. Setiap kali wajahnya terlintas, kueratkan genggaman pada gagang parang di tangan kananku dan pisau di tangan kiriku.

Keadaan di sepanjang Jalan Nasional lebih parah, hampir semua bangunan di kiri-kanan jalan sudah terbakar, termasuk Kantor Camat dan rumah dinas Camat. Batu, kayu, pecahan kaca, dan banyak sekali benda bertebaran di aspal. Dan saat itu beberapa orang tampak sedang melempari gedung-gedung yang tampaknya masih baru. Sebuah bangunan setengah jadi yang rencananya akan menjadi hotel pertama di Tatara pun sudah rata dengan tanah. Keadaan kaos, api di mana-mana. Namun, warung adalah satu-satunya bangunan yang penampakannya seperti biasa, meski banyak pecahan kaca, batu, dan kayu yang bertebaran di depannya. Pada pintu utama warung yang terbuka sedikit, ada papan bertuliskan: Milik Pribumi Tatara.

Tak ada manusia di dalam warung. Beberapa botol minuman dan kartu-kartu judi masih ada di atas meja-meja. Hening.

Kira-kiran lima menit aku mengamati suasana mati di dalam warung, tiba-tiba terdengar percakapan dari arah belakang, dari bilik-bilik tempat pramuria melayani tamu, tempat Sari ditahbiskan sebagai sundal.

Aku melangkah ke sana, dan Rinto dan Om Sefnat-lah yang kutemui di sana. Sejurus kemunculanku, mata mereka langsung menuju ke arahku, tampak jelas mereka terkejut aku ada di sana. Kami saling tatap untuk sekian detik saja, lalu Om Sefnat melepaskan tatapannya dari mataku menuju parang yang tergenggam di tangan kananku; sedetik saja, tatapannya berpindah pada pisau di tangan kiriku. Tangan Om Sefnat mendadak terkepal dan Rinto melangkah mundur perlahan-lahan.

Tanpa bicara, aku melangkah maju dengan tangan kanan terangkat, dan seketika parang terayun ke arah Om Sefnat, aku berteriak, “Mati kau, Babi!”

Ia menangkis dengan tangan kirinya. Parangku lepas jatuh ke lantai bersama darah yang berceceran.

“Aaaaaaann-jing!” Ia berteriak menatap empat jarinya yang menggelantung hampir putus. Ia mundur ke belakang dan tersandar di tembok.

Kupindahkan pisau ke tangan kananku. Mendekatinya. Dan mulai menikam tubuhnya secara membabi-buta, detik itu juga tubuh Om Sefnat menjadi sumber mata air sekaligus air mancur yang mengeluarkan darah, seketika lantai di sekitar kami memerah dan tubuhku langsung bermandikan darah. Cairan merah kental itu membuat tubuhku hangat. Selama sekian detik saja, puluhan tusukanku mendarat di tubuhnya, perut dan dadanya bocor, beberapa lubang kubuat di sana. Ia tak sempat melawan sampai akhirnya ia roboh perlahan-lahan, dan tersungkur di kakiku.

Kuremas rambutnya, dan menyeret tubuh yang sudah tak bergerak itu ke tengah ruangan lalu membaringkannya menghadap langit-langit dan aku duduk di atas dadanya. Begitu pantatku mendarat di atas dadanya, aku mulai meninju mata kirinya sampai darah baru keluar dari sana. Dapat kurasakan tulang pipinya patah sampai remuk oleh tinjuku, pada mulanya tulang itu terasa sekeras batu, sampai kemudian pada tinju yang kesekian puluh aku merasa sedang meninju apel busuk yang telah hancur.

“Om Sefnat sudah mati, Yatno!”

Lihat selengkapnya